GUDANG MAKALAH

Thursday, 14 August 2014

ISLAM DAN KEMISKINAN



A.    Pendahuluan
Sejarah agama telah menempatkan dirinya sebagai penggerak perubahan karena Agama secara inheren memiliki nilai-nilai emansipasi. Karena dari komposisi masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius, ketertinggalan yang berarti kemiskinan merupakan tantangan yang harus diatasi dengan partisipasi dan keberpihakan agama. Namun potensinya belum tergali secara signifikan guna membebaskan masyarakat dari berbagai masalah.
Sebagai bangsa yang religius, kita perlu berpikir serius tentang tanggung jawab moral-sosial terkait apa yang dihadapi bangsa ini. Agama dengan iman dan kepercayaannya diharapkan ada pada garda terdepan perubahan sosial dan perbaikan derajat hidup dan kehidupan umatnya. Mungkin tidak berlebihan menempatkan nilai-nilai iman yang emansipatif menjadi obor penerang ritual sosial yang membangkitkan bangsa. Pada batasnya, tugas mulia hadirnya agama adalah untuk membangkitkan umat dari ketertinggalan. Ketertinggalan yang berarti kemiskinan dalam Islam dianggap sebagai persoalan serius sekaligus berbahaya, karena kemiskinan terkadang menjadikan tingkat keimanan menjadi terganggu dan justru dikhawatirkan hilang atau dengan kata lain menjadi kafir.[1]
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tidak hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota. Di balik kemewahan gedung-gedung pencakar langit di kota, misalnya, tidak terlalu sulit dijumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis dan gelandangan yang berkeliaran di jalan-jalan. Berbagai program sudah dilakukan untuk mengatasi persoalan sosial tersebut, tetapi anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru semakin bertambah. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia.[2]
Pada dekade terakhir ini, kemiskinan menjadi topik yang dibahas dan diperdebatkan di berbagai forum nasional dan internasional, walaupun kemiskinan itu sendiri telah muncul ratusan tahun yang lalu. Fakta menunjukkan pembangunan yang  telah dilakukan belum mampu meredam meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya negara-negara berkembang.
Diperkirakan ada yang kurang tepat dalam mamahami dan merumuskan serta implementasi kebijakan untuk memberantas kemiskinan dan memberdayakan penduduk miskin. Selama ini kemiskinan lebih sering dikaitkan dengan dimensi ekonomi karena dimensi inilah yang paling mudah diamati, diukur, dan diperbandingkan. Padahal kemiskinan berkaitan juga dengan berbagai dimensi lainnya, antara lain dimensi sosial, budaya, sosial politik, lingkungan (alam dan geografis), kesehatan, pendidikan, agama, dan budi pekerti. Menelaah kemiskinan secara multidimensional sangat diperlukan untuk memahami secara komprehensip sebagai pertimbangan perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan.
Tulisan ini mencoba menelaah kemiskinan dari segi normatif tekstual, baik menurut konsep agama (Islam)  maupun teori yang dikembangkan para pakar, dan dari segi empiris kontektual, yaitu mencoba memahami hasil-hali penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak. 
B.     Kemiskinan dari Segi Normatif Tekstual
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material.
Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsitif. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
Kajian tentang pemahaman kemiskinan yang hakiki dan komprehensip sangat diperlukan untuk memahami dan mencari penjelasan agar tidak terjadi salah urus ketika berusaha menanggulanginya. Dalam bab ini penulis mencoba mengkaji konsep tersebut, baik yang berkaitan dengan hakikat pengertian kemiskinan, faktor dan indikatornya, dan bagaimana konsep pemberdayaan dan pengentasannya dalam perspektif agama (Islam) maupun bagaimana realitas yang terjadi di masyarakat. Untuk yang terakhir ini penulis mencoba mengurai hasil-hasil penelitian yang pernah lakukan.
  1. Konsep Kemiskinan Perspektif Islam
a.  Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah akar kata dari miskin dengan awalan ke dan akhiran an yang menurut kamus bahasa Indonesia mempunyai persamaan arti dengan kefakiran yang berasal  dari asal kata fakir dengan awalan ke  dan akhiran an. Dua kata tersebut seringkali juga disebutkan secara bergandengan; fakir miskin dengan pengertian orang yang sangat kekurangan.[3] Al-Qur’an memakai beberapa kata dalam menggambarkan kemiskinan, yaitu faqir, miskin, al-sail, dan al-mahrum, tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an. Kata fakir dijumpa dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali dan kata miskin disebut sebanyak 25 kali,[4] yang masing-masing digunakan untuk pengertian yang bermacam-macam.
Tentang dua golongan yang pertama; fakir dan Miskin para ahli berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa dua golongan tersebut pada hakikatnya adalah sama. Demikian pendapat Abu Yusuf, pengikut Imam Abu Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Imam Malik.[5] Berbeda dengan pendapat sebagian besar ulama, sebenarnya keduanya adalah dua golongan tetapi satu macam, yakni dalam hal kondisi kekurangan dan dalam kebutuhan. Para ahli tafsir dan ahli fikih juga berbeda pendapat dalam memberi definisi kedua kata tersebut. Yusuf Qardawi memberikan perumpamaan bahwa kedua kata tersebut seperti Islam dan Iman, kalau dikumpulkan terpisah, yakni masing-masing mempunyai arti tersendiri, dan jika dipisah terkumpul, yakni bila salah satu disebutkan sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai arti buat kata lain yang sejajar.[6]
Raqib al-Isfahani (w. 502 H/1108 M)[7], ahli fikih dan ahli tafsir, menyebutkan empat macam pengertian fakir. Pertama, fakir dalam arti orang yang memerlukan kebutuhan hidup yang primer, yaitu makanan, minuman, tempat tinggal, dan keamanan. Kedua, fakir dalam arti orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer, tetapi ia dapat menjaga dirinya dari meminta-minta. Ketiga, fakir dalam arti fakir jiwanya. Ini termasuk golongan fakir yang paling buruk karena dapat mendorong orang itu kepada kekafiran. Keempat, fakir dalam arti orang yang selalu merasa butuh kepada petunjuk dan bimbingan Tuhan, sehingga orang tersebut tidak merasa sombong.
Pengertian fakir selanjutnya dibahas dalam ilmu fikih. Sayid Sabiq[8], ahli fikih dari Mesir, mengatakan bahwa yang tergolong orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta sebanyak satu nisab (sejumlah minimal harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakatnya dalam waktu tertentu). Ketentuan ini dapat dipahami dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Jabal : ”Diambil dari harta orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir.”[9] Dari hadis ini, ulama fikih memahami bahwa orang-orang yang memiliki harta sebanyak satu nisab zakat telah dinamakan kaya, sedangkan yang memiliki harta kurang dari satu nisab zakat dinamakan fakir.
Menurut Imam Abu Hanifah[10], fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nisab atau mempunyai harta satu nisab atau lebih tetapi habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun Imam Malik[11] mengatakan bahwa fakir adalah orang yang mempunyai harta yang jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam masa satu tahun. Imam asy-Syafi’i[12] mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta dan usaha tetapi kurang dari setengah kebutuhan hidupnya dan tidak ada orang yang berkewajiban menanggung biaya hidupnya. Imam Ahmad bin Hanbal[13] mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta tetapi kurang dari setengah keperluannya.
Sebagaimana kata fakir, kata miskin pun mengalami pengertian yang bermacam-macam. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang memiliki harta setengah dari kebutuhan hidupnya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
Dari segi kekurangan harta yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai salah satu penerima zakat tampak ada perbedaan. Sayid Sabiq[14] mengatakan bahwa fakir miskin disebut secara bersamaan dengan menggunakan huruf waw al’ataf (kata sambung), sebagaimana dijumpai dalam surat at-Taubah (9) ayat 60, menunjukkan bahwa miskin adalah bagian dari fakir, atau orang miskin itu pada hakekatnya adalah orang fakir juga, tetapi ia memiliki ciri-ciri yang khusus. Dalam hadis Nabi SAW dijelaskan bahwa di antara ciri-ciri orang miskin itu adalah orang fakir yang enggan meminta-minta kepada orang lain: ”Orang miskin itu bukanlah orang yang engkau berikan sebutir atau dua butir kurma, sesuap atau dua suap makanan, melainkan orang miskin itu adalah orang yang memilihara dirinya dari meminta-minta” (HR. Abu Dawud).[15]
Dalam kaitan ini terdapat pula istilah as-sa’il dan al-mahrum, sebagaimana terdapat dalam surat az-Zariyat (51) ayat 19 yang artinya : ”Dan dari pada harta mereka ada hak orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Kata as-sa’il pada ayat tersebut, menurut Syekh Muhammad Mustafa al-Maragi (1881-1945), ahli tafsir dari Mesir), adalah orang miskin yang meminta-minta, sedangkan kata al-mahrum adalah orang miskin yang tidak memiliki harta, tetapi ia tidak meminta-minta sehingga tidak diketahui di mana ia berada, dan karenanya ia tidak pula mendapat bagian dari zakat.
Dari 12 kata ”fakir” yang terdapat dalam al-Qur’an, terdapat 7 kategori yang terkait dengan hukum. 1) Fakir yang tergolong sebagai orang yang berhak memperoleh bagian  dari daging kurban yang dilakukan oleh orang yang mengerjakan beribadah haji (QS.22:28). 2) Fakir yang tergolong sebagai orang yang boleh memakan harta anak yatim yang diurusnya, dengan cara yang baik dan tidak melampaui batas (QS,4:6). 3) Fakir yang termasuk orang yang boleh menerima sedekah secara terang-terangan agar menjadi contoh bagi yang lain (QS,2:271). 4) Fakir yang tergolong sebagai orang yang berhak memperoleh santunan atau bantuan (QS,2:273). 5) Fakir yang termasuk salah seorang yang berhak menerima zakat (QS,9:60). 6) Fakir yang berhak mendapat bagian dari harta rampasan perang atau ganimah (QS,59:6). 7) Fakir yang berhak memperoleh pembelaan yang adil ketika ia melakukan pelanggaran yang tidak disengaja (QS,4:135).
Adapun orang miskin memperoleh hak-hak sebagai berikut. Pertama, orang miskin yang termasuk salah seorang yang berhak memperoleh harta dari fidyah atau denda orang yang tidak dapat melaksanakan kewajiban agama karena uzur (QS,2:184). Kedua, orang miskin yang berhak mendapatkan perlindungan atas hak-haknya (QS,17:26). Ketiga, orang miskin yang berhak mendapatkan dana yang diperoleh dari kafarat yang dibayar oleh orang yang melakukan zihar (perkataan suami terhadap isterinya yang mengandung maksud menyamakan isterinya dengan ibunya sendiri) (QS,58:3-4). Keempat, orang miskin yang mendapatkan dana yang diperoleh dari kafarat yang dibayar oleh orang yang melanggar sumpahnya secara sengaja (QS,5:58). Kelima orang miskin yang mendapatkan dana dari orang yang melanggar larangan pada waktu melakukan ihram (QS,5:95). Keenam, orang miskin yang termasuk salah seorang yang boleh menerima harta dari rampasan perang (QS,8:41). Ketujuh, orang miskin yang boleh menerima harta dari zakat (QS,9:60).

b. Faktor dan Indikator Kemiskinan
Menurut KH. Ali Yafie[16] terdapat petunjuk dari salah satu hadis yang mengungkapkan sebab-sebab kemiskinan, yang berbunyi:
 ” ... aku mohon supaya Engkau (Tuhan) melindungi aku dari kelemahan (al-’ajz), kemalasan, ketakutan, kepelitan, terlilit hutang dan diperas atau dikuasai sesama manusia.”

Di dalamnya tercantum hal-hal pokok yang menimbulkan kemiskinan yang memelaratkan, yaitu:
Pertama : Kelemahan. Apakah itu kelemahan hati dan semangat, atau kelemahan akal dan ilmu, ataukah kelemahan fisik. Semua itu mengurangi daya pilih dan daya upaya manusia sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai pencipta dan pembangun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua : Kemalasan. Tidak diragukan lagi bahwa sifat ini merupakan pangkal utama dari  kemiskinan. Penataan hidup sehari-hari yang diajarkan oleh Islam sangat bertolak belakang dengan sifat ini.
Ketiga : Ketakutan. Hal ini pun jelas merupakan penghambat utama untuk mencapai suatu sukses dalam pekerjaan dan usaha. Keberhasilan seseorang dalam merintis ataupun melanjutkan sesuatu atau tugas banyak tergantung dari keberanian yang ada pada dirinya.
Keempat : Kepelitan. Hal ini banyak bersangkutan dengan pihak si kaya, karena dengan sifat ini tanpa disadari kepelitannya itu membantu untuk tidak mengurangi kemiskinan, dan menempatkan dirinya menjadi sasaran untuk dibenci oleh si miskin.
Kelima : Terlilit hutang. Terdapat banyak peringatan dari ajaran Islam untuk berhati-hati jangan sampai terjerat hutang-utang, karena hutang itu adalah sangat membelenggu kebebasan, baik di dunia maupun di akhirat. Apalagi orang yang sudah terbiasa dengan membiayai hidupnya dari hutang-hutang sulit sekali mengangkat dirinya dari lumpur kemiskinan.
Keenam: Diperas atau dikuasai sesama manusia. Hal ini merupakan penyebab bagi timbulnya banyak penderitaan dan kemelaratan, baik pada tingkat perorangan maupun pada tingkat masyarakat, bangsa dan negara. Pemerasan manusia kuat menimbulkan sistem perbudakan, dan pemerasan manusia kaya menimbulkan sistem riba. Dan pemerasan pada tingkat masyarakat bangsa/negara menimbulkan sistem kapitalisme yang berkembang menjadi imperialisme. Kenyataan yang ada di negeri-negeri jajahan atau setengah jajahan membuktikan dengan jelas betapa besar kemiskinan yang memelaratkan masyarakat, berabad-abad lamanya sebagai akibat langsung dari sistem imperialisme itu.
Menurut Dr. Saad IH,[17] sebab-sebab terjadinya kemiskinan terkait dengan model interaksi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan alam dan dengan masyarakatnya. Sebab-sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi alam terjadi bila dilakukan pola destruktif antara manusia dan alam seperti eksploitasi alam tanpa melakukan analisa dampak lingkungan, kecenderungan untuk menghabiskan seluruh potensi alam, keengganan mengadakan peremajaan demi kelanjutan alam, dan sebagainya. Akibat lebih lanjut dari pola interaksi demikian ialah terjadinya kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak, baik generasi yang sedang eksis maupun generasi selanjutnya. Di sisi lain kondisi alam yang gersang dan tidak memiliki potensi yang bisa dikembangkan juga merupakan cobaan yang diberikan Tuhan kepada umat manusia sebagaimana yang dilukiskan al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 155.
Sedang sebab-sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi manusia itu sendiri adalah kurangnya percaya pada kemampuannya, keengganan mengaktualisasikan potensi yang ada dalam bentuk kerja nyata yang serius, serta keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu.
Sedang salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial, ialah terkonsentrasinya modal di tangan orang-orang kaya (konglomerat). Terkonsentrasinya modal di tangan mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya demi meraih prestasi di bidang ekonomi.
Loekman Soetrisno[18] mengutip pendapat Robert Chambers seorang ahli pembangunan pedesaan berkebangsaan Inggris, menyatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh rakyat negara sedang berkembang, khususnya rakyat pedesaan, disebabkan oleh beberapa faktor yang disebut sebagai ketidakberuntungan atau disadvantages yang saling terkait satu sama lain.
Menurut Robert Chambers ada lima “ketidakberuntungan” yang melingkari kehidupan orang atau keluarga miskin, yaitu:
Pertama, kemiskinan (poverty), situasi orang miskin mempunyai tanda-tanda sebagai berikut; Pertama, rumah mereka reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, tidak memiliki MCK sendiri. Ekonomi keluarga bercirikan gali lubang tutup lubang. Kedua, pendapatan mereka tidak menentu dan sangat rendah.
Kedua, fisik yang lemah (physical weakness); kelemahan fisik keluarga miskin disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak adanya seorang laki-laki sehat yang menjadi kepala keluarga, sehingga keluarga terpaksa dikepalai seorang perempuan yang di samping bekerja mengurusi pekerjaan rumah sehari-hari, juga harus bekerja untuk menghidupi keluarga. Akibatnya keluarga miskin lemah secara fisik akibat rendahnya gizi, beban kerja terlalu berat dan interaksi berbagai bibit macam penyakit akibat kemiskinan.
Ketiga, keterasingan (isolation). Kelompok miskin dapat terasing karena tempat tinggalnya yang secara geografis terasing, atau karena mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi.
Keempat, kerentanan (vulnerability). Dalam menghadapi paceklik keluarga miskin mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka dengan menjual barang-barang yang dimiliki dan laku dijual, utang pada tetangga yang lebih mampu, atau mengurangi makan mereka baik dari segi jenis atau frekuensinya. Keadaan darurat membuat tidak hanya keluarga miskin menjadi lebih miskin, tetapi juga rawan dari berbagai macam penyakit, yang tidak jarang dapat membawa kematian.
Kelima, ketidakberdayaan (powerlessness). Orang miskin tidak berdaya menghadapi rentenir atau orang-orang lain yang sering mengeksploitasi mereka. Mereka juga tidak berdaya menghadapi polisi atau aparat negara lain yang sering tidak ramah terhadap mereka.
Oscar Lewis[19] menyebutkan dalam kumpulan makalahnya bahwa kebudayaan kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah. Namun, lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam  masyarakat-masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi-kondisi seperti berikut: (1) sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah, meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politik secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan akhirnya (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Menurut teori development of underdevelopment[20] atau teori ketergantungan-dominasi (dominance-dependency) bahwa sebab-sebab kemiskinan dan keterbelakangan bukanlah sekedar faktor-faktor yang terdapat pada masyarakat yang bersangkutan seperti kurangnya modal, pendidikan yang rendah, kepadatan penduduk, kekurangan gizi dan lain sebagainya. Lebih dari itu faktor-faktor tersebut hanyalah merupakan atribut kemiskinan saja, tetapi kemiskinan itu sendiri berakar dari sejarah eksploitasi, terutama yang dilakukan oleh kekuatan kapitalis asing atau internasional yang melakukan penetrasi, dominasi dan pengerukan keuntungan dari daerah pinggiran ke pusat-pusat metropolis.

c.  Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan
Allah SWT sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka (Qs. ar-Rûm [30]: 40) dan (Qs. Hûd [11]: 6).
Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah SWT untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu.

C.    Upaya Islam mengatasi kemiskinan
1.      Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat. Sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah :

a)   Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya (Qs. al-Mulk[67]: 15). Dan banyak hadis Nabi SAW yang menaruh perhatian dalam anjuran bekerja untuk memenuhi kebutuha rumah tangganya. [21]
Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya (Qs. al-Baqarah [2]: 233) Dan  (Qs. ath-Thalâq [65]: 6).
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.
b)  Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya? Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka (Qs. al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.[22]
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya. Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya. [23]
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya.[24]



c)   Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. [25]
Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua. Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat (Qs. at-Taubah [9]: 60).
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d)  Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara kolektif (Qs. adz-Dzariyat [51]: 19).
Rasulullah Saw juga bersabda: “Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka.” [HR. Imam Ahmad].
“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” [HR. al-Bazzar].

Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.

D.    PKH Sebagai Wujud Negara untuk Membantu Rakyat Sangat Miskin
Dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial, Pemerintah Indonesia mulai tahun 2007 akan melaksanakan Program Keluarga Harapan (PKH). Program serupa di negara lain dikenal dengan istilah Conditional Cash Transfers (CCT) atau bantuan tunai bersyarat.
Program ini bukan dimaksudkan sebagai kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang diberikan dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. PKH lebih dimaksudkan kepada upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, program serupa sangat bermanfaat terutama bagi keluarga dengan kemiskinan kronis.
Pelaksanaan PKH di Indonesia diharapkan akan membantu penduduk termiskin, bagian masyarakat yang paling membutuhkan uluran tangan dari siapapun juga. Pelaksanaan PKH secara berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015 akan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs). Setidaknya terdapat 5 komponen MDGs yang secara tidak langsung akan terbantu oleh PKH, yaitu pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu melahirkan.
Dalam PKH, bantuan akan diberikan kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM) dan sebagai imbalannya RTSM tersebut diwajibkan untuk menyekolahkan anaknya, melakukan pemeriksaan kesehatan termasuk pemeriksaan gizi dan imunisasi balita, serta memeriksakan kandungan bagi ibu hamil. Untuk jangka pendek, bantuan ini akan membantu mengurangi beban pengeluaran RTSM, sedangkan untuk jangka panjang diharapkan akan memutus rantai kemiskinan antar generasi.
Tingkat kemiskinan suatu rumah tangga secara umum terkait dengan tingkat pendidikan dan kesehatan. Rendahnya penghasilan keluarga sangat miskin menyebabkan keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan, untuk tingkat minimal sekalipun. Pemeliharaan kesehatan ibu sedang mengandung pada keluarga sangat miskin sering tidak memadai sehingga menyebabkan buruknya kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan atau bahkan kematian bayi. Angka kematian bayi pada kelompok penduduk berpendapatan terendah pada tahun 2003 adalah 61 persen, sedangkan pada kelompok berpendapatan tertinggi tinggal 17 persen (SDKI 2003). Angka kematian ibu di Indonesia juga tinggi, yaitu sekitar 310 wanita per 100 ribu kelahiran hidup, atau tertinggi di Asia Tenggara. Tingginya angka kematian ibu ini disebabkan oleh tidak adanya kehadiran tenaga medis pada kelahiran, fasilitas kesehatan yang tidak tersedia pada saat dibutuhkan tindakan, atau masih banyaknya rumah tangga miskin yang lebih memilih tenaga kesehatan tradisional dari pada tenaga medis lainnya.
Rendahnya kondisi kesehatan keluarga sangat miskin berdampak pada tidak optimalnya proses tumbuh kembang anak, terutama pada usia 0-5 tahun. Pada tahun 2003, angka kematian balita pada kelompok penduduk berpendapatan terendah adalah 77 persen per 1000 kelahiran hidup, sementara pada kelompok penduduk berpendapatan tertinggi hanya 22 persen per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Pada tahun 2000-2005, terdapat kecenderungan bertambahnya kasus gizi kurang yang meningkat dari 24,5 persen pada tahun 2000 menjadi 29 persen pada tahun 2005. Gizi kurang berdampak buruk pada produktivitas dan daya tahan tubuh seseorang sehingga menyebabkannya terperangkap dalam siklus kesehatan yang buruk. Seringnya tidak masuk sekolah karena sakit dapat menyebabkan anak putus sekolah. Kondisi kesehatan dan gizi mereka yang umumnya buruk juga menyebabkan mereka tidak dapat berprestasi di sekolah. Sebagian dari anak-anak keluarga sangat miskin ada juga yang sama sekali tidak mengenyam bangku sekolah karena harus membantu mencari nafkah. Meskipun angka partisipasi sekolah dasar tinggi, namun masih banyak anak keluarga miskin yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke SMP/MTs. Kondisi ini menyebabkan kualitas generasi penerus keluarga miskin senantiasa rendah dan akhirnya terperangkap dalam lingkaran kemiskinan (Gambar 1).
Image
Gambar 1. Lingkaran perangkap kemiskinan
Berbagai indikator di atas menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan, terutama bagi RTSM perlu ditingkatkan sejalan dengan upaya pemerintah membangun sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan serta meluncurkan program-program yang ditujukan bagi keluarga miskin.
Masih banyaknya RTSM yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan disebabkan oleh akar permasalahan yang terjadi baik pada sisi RTSM (demand) maupun sisi pelayanan (supply). Pada sisi RTSM, alasan terbesar untuk tidak melanjutkan sekolah ialah karena tidak adanya biaya, bekerja untuk mencari nafkah, merasa pendidikannya sudah cukup, dan alasan lainnya. Demikian halnya untuk kesehatan, RTSM tidak mampu membiayai pemeliharaan atau perawatan kesehatan bagi anggota keluarganya akibat rendahnya tingkat pendapatan.
Sementara itu, permasalahan pada sisi supply yang menyebabkan rendahnya akses RTSM terhadap pendidikan dan kesehatan antara lain adalah belum tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau oleh RTSM. Biaya pelayanan yang tidak terjangkau oleh RTSM serta jarak antara tempat tinggal dan lokasi pelayanan yang relatif jauh merupakan tantangan utama bagi penyedia pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Dari sisi kebijakan sosial, PKH merupakan cikal bakal pengembangan sistem perlindungan sosial, khususnya bagi keluarga miskin. PKH yang mewajibkan RTSM menyekolahkan dan memeriksakan kesehatan anak-anaknya, serta memeriksakan ibu hamil, akan membawa perubahan perilaku RTSM terhadap pentingnya kesehatan dan pendidikan bagi anak-anaknya. Perubahan perilaku tersebut diharapkan juga akan berdampak pada berkurangnya anak usia sekolah RTSM yang bekerja. Sebaliknya hal ini menjadi tantangan utama pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi keluarga miskin, dimanapun mereka berada.
Salah satu tujuan akhir dari PKH adalah meningkatkan partisipasi sekolah baik itu sekolah dasar maupun sekolah menengah. Menurut data BPS masih terdapat banyak anak usia sekolah yang tidak berada dalam sistem persekolahan. Untuk meningkatkan tingkat partisipasi sekolah maka keikutsertaan mereka yang berada di luar sistem persekolahan harus ditingkatkan. Sebagian besar dari mereka yang pada usia sekolah tidak berada dalam sistem persekolahan biasanya mereka menjadi pekerja anak dengan jumlah yang cukup besar.
Untuk meningkatkan partisipasi sekolah PKH harus dapat menjaring mereka yang berada di luar sistem persekolahan termasuk mereka yang menjadi pekerja anak. Pendamping PKH, terutama untuk daerah yang diduga banyak terdapat pekerja anaknya akan dibekali dengan pengetahuan berkaitan dengan bimbingan kepada pekerja anak dalam rangka mempersiapkan mereka kembali ke bangku sekolah.
Dengan demikian, PKH membuka peluang terjadinya sinergi antara program yang mengintervensi sisi supply dan demand, dengan tetap mengoptimalkan desentralisasi, koordinasi antar sektor, koordinasi antar tingkat pemerintahan, serta antar pemangku kepentingan (stakeholders). Pada akhirnya, implikasi positif dari pelaksanaan PKH harus bisa dibuktikan secara empiris sehingga pengembangan PKH memiliki bukti nyata yang bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu, pelaksanaan PKH juga akan diikuti dengan program monitoring dan evaluasi yang optimal.
Program keluarga Harapan (PKH) merupakan suatu program penanggulangan kemiskinan. Kedudukan PKH merupakan bagian dari program-program penanggulangan kemiskinan lainnya. PKH berada di bawah koordinasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), baik di Pusat maupun di daerah. PKH merupakan program lintas Kementerian dan Lembaga, karena aktor utamanya adalah dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan lnformatika, dan Badan Pusat Statistik. Untuk mensukseskan program tersebut, maka dibantu oleh Tim Tenaga ahli PKH dan konsultan World Bank.
Program Keluarga Harapan (PKH) sebenrnya telah dilaksanakan di berbagai negara, khususnya negara-negara Amerika Latin dengan nama program yang bervariasi. Dalam PKH jelas disebutkan bahwa komponen yang menjadi fokus utama adalah bidang kesehatan dan pendidikan. Tujuan utama PKH Kesehatan adalah meningkatkan status kesehatan ibu dan anak di Indonesia, khususnya bagi kelompok masyarakat sangat miskin, melalui pemberian insentif untuk melakukan kunjungan kesehatan yang bersifat preventif (pencegahan, dan bukan pengobatan). Seluruh peserta PKH merupakan penerima jasa kesehatan gratis yang disediakan oleh program Askeskin dan program lain yang diperuntukkan bagi orang tidak mampu. Karenanya, kartu PKH bisa digunakan sebagai alat identitas untuk memperoleh pelayanan tersebut.
Komponen pendidikan dalam PKH dikembangkan untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikan dasar wajib 9 tahun serta upaya mengurangi angka pekerja anak pada keluarga yang sangat miskin. Anak penerima PKH Pendidikan yang berusia 7-18 tahun dan belum menyelesaikan program pendidikan dasar 9 tahun harus mendaftarkan diri di sekolah formal atau non formal serta hadir sekurang-kurangnya 85% waktu tatap muka. Setiap anak peserta PKH berhak menerima bantuan selain PKH, baik itu program nasional maupun lokal. Bantuan PKH bukanlah pengganti program-program lainnya karenanya tidak cukup membantu pengeluaran lainnya seperti seragam, buku dan sebagainya. PKH merupakan bantuan agar orang tua dapat mengirim anak-anak ke sekolah.
Sasaran atau Penerima bantuan PKH adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun dan/atau ibu hamil/nifas dan berada pada lokasi terpilih. Penerima bantuan adalah lbu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (jika tidak ada lbu maka: nenek, tante/ bibi, atau kakak perempuan dapat menjadi penerima bantuan). Jadi, pada kartu kepesertaan PKH pun akan tercantum nama ibu/wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga. Untuk itu, orang yang harus dan berhak mengambil pembayaran adalah orang yang namanya tercantum di Kartu PKH.
Calon Penerima terpilih harus menandatangani persetujuan bahwa selama mereka menerima bantuan, mereka akan: (1) Menyekolahkan anak 7-15 tahun serta anak usia 16-18 tahun namun belum selesai pendidikan dasar 9 tahun wajib belajar; (2) Membawa anak usia 0-6 tahun ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi anak; dan (3) Untuk ibu hamil, harus memeriksakan kesehatan diri dan janinnya ke fasilitats kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi lbu Hamil. Dan Pemerintahan daerah Kec. Soreang berharap dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama pada kelompok masyarakat miskin di daerahnya. Tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian target MDGs. Secara khusus, tujuan PKH terdiri atas: (1) Meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM; (2) Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak RTSM; (3) Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas, dan anak di bawah 6 tahun dari RTSM; (4) Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi RTSM. [26]

E.     Kesimpulan
Fokus tulisan ini adalah tentang karakteristik kemiskinan di Indonesia dengan mencoba;
1.      mengidentifikasikan apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat dalam upaya pengentasan kemiskinan;
2.      memperjelas pilihan-pilihan apa saja yang tersedia untuk Pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah dalam upaya memberbaiki standar kualitas kehidupan masyarakat miskin.
Tulisan ini dilakukan dengan latar belakang;
1.      Indonesia sedang berada di ambang era yang baru, yaitu sesudah mengalami krisis multi dimensi pada akhir tahun 1990-an, Indonesia dari sisi ekonomi sudah berhasil kembali bangkit dari posisi salah satu negara berkembang berpenghasilan rendah menjadi salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah.  Sementara dari sisi lain mengalami transformasi besar di bidang sosial politik, berkembang dengan demokrasi yang penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan, serta keterbukaan yang lebih luas dibandingkan dengan masa lalu.
2.      Pengentasan kemiskinan tetap merupakan salah satu masalah yang paling mendesak di Indonesia.
3.      Indonesia memiliki peluang emas untuk mengentaskan kemiskinan dengan cepat.
4.      Tantangannya adalah bagaimana membuat Indonesia bau itu bermanfaat bagi penduduk miskin (work for the poor).
5.      Indonesia sebenarnya bisa belajar dari pertumbuhan ekonomi, kebijakan dan program kemasyarakatan sendiri.

Hasil Tulisan ini dapat diungkapkan sebagai berikut :
Pertama ;  Ada tiga ciri yang menonjol kemiskinan di Indonesia; 1) Banyak penduduk Indonesia rentan kemiskinan, 2) ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya, 3) mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan Indonesia.   
Kedua, Ada tiga cara Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan;                 1).  Membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miskin, 2) Membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin, 3) Membuat pengeluaran (anggaran) pemerintah bermanfaat bagi rakyat miskin.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Abdurahman, as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, 1963.

Ali Yafie, “Islam Dan Problema Kemiskinan ,“  Majalah Pesantren,  No.2/Vol III/1986,  3.

Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum PKH 2013, Jakarta: Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI, 2013.

Karjadi, D.,  Makalah pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan di Indonesia, Cimacan 9– 11 Oktober 1989.

Loekman Sutrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik, Jakarta: LP3ES, 1985.

Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid I, Cetakan keempat, Bairut Lebanon: Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H.

Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam, Cetakan keempat, Beirut Lebanon: Daarul Ummah, 1990.




[1] Karjadi, D. Makalah pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan di Indonesia. Cimacan 9– 11 Oktober 1989.
[2] Adapun  program pengentasan kemiskinan, baik program Pemerintah maupun non Pemerintah dapat disampaikan sebagai berikut : 1) Untuk program Pemerintah antara lain Program Keluarga Harapan (PKH), Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaringan Pengaman Sosial (JPS),  Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Kompensasi Kenaikan BBM berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Tidak Langsung (BTL) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Beras Miskin (Raskin),  Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Program Pengembangn Kecamatan (PPK), Proyek Padat Karya, Program Kesehatan keluarga Miskin (Gakin) dan lain-lain. 2) Untuk program non Pemerintah, antara lain ; Program Cepat Tanggap, Siaga Gizi Nusantara, Layanan Kesehatan Masyarakat (Dompet Dlu’afa’), Program Tali Kasih, Bedah Rumah, Uang Kaget, Lunas (Media Televisi), dan lain-lain. 
[3] Dua kata : “fakir dan miskin”  menurut kamus bahasa Indonesia sebenarnya mempunyai arti yang berbeda, fakir mempunyai dua pengetian; yaitu 1) orang yang sangat kekurangan; orang yang terlalu miskin. 2) orang yang sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Sedangkan miskin juga mempunyai  pengertian; 1) tidak berharta benda, serba kekurangan, berpenghasilan rendah. Lihat Lukman Ali et.all., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 273 dan 660.
[4] Ayat-ayat tentang fakir terdapat pada Qs. Faathir; 35: 15, al-Qashash; 28 : 24 , al-Baqarah ; 2 : 271, al-Baqarah ; 2 : 273, al-Baqarah ; 2 : 268, Ali ‘Imran; 3 : ,al-Nisa’; 4 : 6 , al-Nisa’; 4 : 135, al-Taubah; 9 :, al-Hajj; 22 :, al-Nur; 24 : 12. Muhammad; 47 : , al-Hasyr; 59 : . Sedangkan ayat-ayat miskin terdapat pada Qs.  al-Baqarah ; 2 : 184, al-Kahfi; 18 :, al-Rum; 30 :, al-Haqqah; 69 :, al-Mudatstsir; 74 :, al-Fajr; 89 :, al-Balad; 90 :, al-Ma’un; 107 :, al-Baqarah; 2 :, Ali ’Imran; 3 :, al-Nisa’; 4 : 8, al-Nisa’; 4 : 36, al-Ma’idah; 5 : 89, al-Ma’idah; 5 : 95, al-Anfal; 8 :, al-Taubah; 9 :, al-Isra’; 17 :, al-Nur; 24 :, al-Mujadalah; 58 :, al-Hasyr; 59 :, al-Qalam; 68 :, al-Insan; 76 :
[5] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Cetakan keenam (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002), 511.
[6] Orientalis Josef Schacht dalam Ensiklopedi Islam mengatakan : “Perbedaan antara kata “fakir dan miskin” ialah perbedaan yang dipaksa-paksa dalam segala seginya. Para ulama fikih biasanya suku menafsirkan suatu definisi dan sering memasukkan diri mereka sendiri ke dalam salah satu kelompok itu.”  Selanjutnya Yusuf Qardawi mengatakan sebagai umpan balik pernyataan Josef Schacht; kalau orang mempunyai sedikit saja etika kesarjanaan tidak akan mengeluarkan pernyataan kosong semacam itu. Orang-orang semacam Sarkhasi dari kalangan Hanafi, Ibnu al-Arabi dari Maliki, Nawawi dari kalangan Syafi’i, Ibnu Qudamah dari Hambali atau Ibnu Hazm dari kalangan Zahiri dan ulama-ulama fikih yang lain dari kalangan mazhab –akan punya ambisi demikian supaya mereka memperoleh zakat atas nama kaum fakir atau orang miskin, dengan jalan mengubah pengertian-pengertian dan definisi itu dan supaya dengan demikian mereka memperoleh keuntungan materi. Ulama-ulama fikih itu sendiri dari kalangan berada yang malah mau berkorban, atau golongan miskin yang memang sudah tidak menginginkan harta (zakat). Jelas sekali ini dapat diketahui oleh mereka yang sudah mengenal riwayat hidup para ulama itu. Mengenai anggapannya tentang perbedaan yang dipaksa-paksakan, nampaknya dia tidak menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang begitu mendetail antara istilah-istilah yang tergabung dalam satu ungkapan itu, Masalahnya adalah masalah linguistik, sebelum ia menjadi masalah hukum (fikih). Oleh karena itu, baik ahli bahasa dan ahli tafsir maupun ahli fikih sudah sama-sama mengadakan studi yang cukup mendalam mengenai masalah ini. Mereka sudah sepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ini tak ada gunanya dalam arti zakat. Lihat Yusuf Qardawi, Ibid.  512.
[7] Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fkr, tanpa tahun), 397-398.
[8] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid I, Cetakan keempat (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H),  324-325.
[9] Hadis tersebut merupakan tugas dari Rasulullah SAW yang diberikan kepada sahabat Mu’az bin Jabbal ketika menjadi gubernur di Yaman. Adapun naskah hadisnya berbunyi sebagai berikut :  "أعلمهم أن عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرئهم"
[10] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Cetakan keempat (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H), 1953. dan Abd. Rahman bin Muhammad ‘Awadl al-Jaziriy, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah (Mesir: Dar Ibn al-Haitsam, tanpa tahun), 349.
[11] Wahbah al-Zuhayli, Ibid. dan Abd. Rahman bin Muhammad ‘Awadl al-Jaziriy, Ibid, , 350.
[12] Wahbah al-Zuhayli, Ibid, 1952. dan Abd. Rahman bin Muhammad ‘Awadl al-Jaziriy, Ibid, , 351.
[13] Wahbah al-Zuhayli, Ibid. dan Abd. Rahman bin Muhammad ‘Awadl al-Jaziriy, Ibid.
[14] Sayid Sabiq, Loc. Cit.
[15] Hadis diriwayatkan oleh beberapa Imam Hadis sebagaimana terdapat pada beberapa koleksi hadisnya, antara lain Shahih al-Bukhari; 1382, Shahih Muslim; 1722, 1723, Sunan Abu Dawud; 1390, Sunan al-Nasa’i; 2524, 2525, 2526, Musnad Ahmad; 7225, 7840, 8748, 8777, 9370, 9422, 9510, 9687, 10165, Al-Muwaththo’; 1217, Sunan al-Darimi; 1564. Lihat Masu’ah al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).
[16] Ali Yafie, “Islam Dan Problema Kemiskinan ,“  Majalah Pesantren,  No.2/VolIII/1986,  3.
[17] Dr. Saad IH (1997), Op.Cit.,  75.
[18] Loekman Sutrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan  (Yogyakarta: Kanisius, 1997),  hlm. 18.

[19] Parsudi Suparlan, Op. Cit.,  5
[20] M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik  (Jakarta: LP3ES, 1985),   hlm. 8.
[21] Hadis diriwayatkan oleh beberapa Imam Hadis sebagaimana terdapat pada beberapa koleksi hadisnya, antara lain Shahih al-Bukhari; 1377, Shahih Muslim; 1727, 1728, Sunan al-Turmudzi; 616, Sunan al-Nasa’i; 2524, Musnad Ahmad; 7016, 7177, 7646, 8771, 9053, 9490, 9766, 10033, 1588. Lihat Masu’ah al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).

[22] Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. (Beirut Lebanon: Daarul Ummah, 1990) Cetakan keempat , 210.
[23] Ada beberapa Hadis yang dapat dipakai sebagai dasar, antara lain; hadis tentang “Sedekah yang baik adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan” :  Shahih al-Bukhari; 1338,  Shahih Muslim; 1716, 1717, Sunan al-Turmudzi; 2389, Sunan al-Nasa’i; 2484, 2487, 2496, 2497, 2554, 2555, 2556, Musnad Ahmad; 2858, 7044, 7120, 7414, 8348, 8388, 8759, 8855, 9240, 9784, 9833, 10107.  Lihat Masu’ah al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).
[24] Al-Maliki, Abdurahman., as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963.
[25] Ada beberapa Hadis yang dapat dipakai sebagai dasar, antara lain; Shahih al-Bukhari; 2133, 2223, 2224, 4408, 4952, 6234, 6248, 6266  Shahih Muslim; 3040, 4041, 4042, 4043 Sunan al-Turmudzi; 990, 2016, Sunan al-Nasa’i; 1937,  Sunan Abu Dawud; 2566, Sunan Ibn Majah; 2406, Musnad Ahmad; 7523, 7558, 7888, 8066, 8319, 8593, 8819, 9438, 9471, 9497, 9604, 10396, Sunan al-Darimi; 2481.  Lihat Masu’ah al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).

[26] Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum PKH 2013, (Jakarta: Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI, 2013), hlm. 1-20

No comments:

Post a Comment