A.
Pendahuluan
Sejarah agama telah menempatkan dirinya sebagai penggerak
perubahan karena Agama secara inheren memiliki nilai-nilai emansipasi. Karena dari
komposisi masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius, ketertinggalan
yang berarti kemiskinan merupakan tantangan yang harus diatasi dengan
partisipasi dan keberpihakan agama. Namun potensinya belum tergali secara
signifikan guna membebaskan masyarakat dari berbagai masalah.
Sebagai bangsa yang religius, kita perlu berpikir serius
tentang tanggung jawab moral-sosial terkait apa yang dihadapi bangsa ini. Agama
dengan iman dan kepercayaannya diharapkan ada pada garda terdepan perubahan sosial
dan perbaikan derajat hidup dan kehidupan umatnya. Mungkin tidak berlebihan
menempatkan nilai-nilai iman yang emansipatif menjadi obor penerang ritual
sosial yang membangkitkan bangsa. Pada batasnya, tugas mulia hadirnya agama
adalah untuk membangkitkan umat dari ketertinggalan. Ketertinggalan yang
berarti kemiskinan dalam Islam dianggap sebagai persoalan serius
sekaligus berbahaya, karena kemiskinan terkadang menjadikan tingkat keimanan
menjadi terganggu dan justru dikhawatirkan hilang atau dengan kata lain menjadi
kafir.[1]
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana.
Tidak hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota. Di balik kemewahan
gedung-gedung pencakar langit di kota, misalnya, tidak terlalu sulit dijumpai
rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis dan
gelandangan yang berkeliaran di jalan-jalan. Berbagai program sudah dilakukan
untuk mengatasi persoalan sosial tersebut, tetapi anehnya, secara statistik
jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru semakin bertambah. Terlebih lagi
setelah krisis ekonomi melanda Indonesia.[2]
Pada dekade terakhir ini, kemiskinan menjadi topik yang
dibahas dan diperdebatkan di berbagai forum nasional dan internasional,
walaupun kemiskinan itu sendiri telah muncul ratusan tahun yang lalu. Fakta
menunjukkan pembangunan yang telah
dilakukan belum mampu meredam meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia,
khususnya negara-negara berkembang.
Diperkirakan ada yang kurang tepat
dalam mamahami dan merumuskan serta implementasi kebijakan untuk memberantas
kemiskinan dan memberdayakan penduduk miskin. Selama ini kemiskinan lebih
sering dikaitkan dengan dimensi ekonomi karena dimensi inilah yang paling mudah
diamati, diukur, dan diperbandingkan. Padahal kemiskinan berkaitan juga dengan
berbagai dimensi lainnya, antara lain dimensi sosial, budaya, sosial politik,
lingkungan (alam dan geografis), kesehatan, pendidikan, agama, dan budi
pekerti. Menelaah kemiskinan secara multidimensional sangat diperlukan untuk
memahami secara komprehensip sebagai pertimbangan perumusan kebijakan
pengentasan kemiskinan.
Tulisan ini mencoba menelaah kemiskinan
dari segi normatif tekstual, baik menurut konsep agama (Islam) maupun teori yang dikembangkan para pakar,
dan dari segi empiris kontektual, yaitu mencoba memahami hasil-hali
penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak.
B.
Kemiskinan dari Segi
Normatif Tekstual
Konsep tentang kemiskinan sangat
beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar
dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang
lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang
mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan
dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan
tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang
berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material.
Dengan pengertian ini, maka seseorang
masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum
kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan
konsumsitif. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah
membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai
karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat
menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup
hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi
pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan
bisa kontraproduktif.
Kajian tentang pemahaman kemiskinan yang
hakiki dan komprehensip sangat diperlukan untuk memahami dan mencari penjelasan
agar tidak terjadi salah urus ketika berusaha menanggulanginya. Dalam bab ini
penulis mencoba mengkaji konsep tersebut, baik yang berkaitan dengan hakikat
pengertian kemiskinan, faktor dan indikatornya, dan bagaimana konsep
pemberdayaan dan pengentasannya dalam perspektif agama (Islam) maupun bagaimana
realitas yang terjadi di masyarakat. Untuk yang terakhir ini penulis mencoba
mengurai hasil-hasil penelitian yang pernah lakukan.
- Konsep Kemiskinan Perspektif Islam
a. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah akar kata dari miskin dengan
awalan ke dan akhiran an yang menurut kamus bahasa Indonesia
mempunyai persamaan arti dengan kefakiran yang berasal dari asal kata fakir dengan awalan ke
dan akhiran an. Dua kata
tersebut seringkali juga disebutkan secara bergandengan; fakir miskin dengan
pengertian orang yang sangat kekurangan.[3] Al-Qur’an memakai beberapa
kata dalam menggambarkan kemiskinan, yaitu faqir, miskin, al-sail, dan
al-mahrum, tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan dalam ayat
al-Qur’an. Kata fakir dijumpa dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali dan kata miskin
disebut sebanyak 25 kali,[4] yang
masing-masing digunakan untuk pengertian yang bermacam-macam.
Tentang dua golongan yang pertama; fakir dan Miskin
para ahli berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa dua golongan
tersebut pada hakikatnya adalah sama. Demikian pendapat Abu Yusuf, pengikut
Imam Abu Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Imam Malik.[5] Berbeda dengan pendapat
sebagian besar ulama, sebenarnya keduanya adalah dua golongan tetapi satu
macam, yakni dalam hal kondisi kekurangan dan dalam kebutuhan. Para ahli tafsir
dan ahli fikih juga berbeda pendapat dalam memberi definisi kedua kata
tersebut. Yusuf Qardawi memberikan perumpamaan bahwa kedua kata tersebut
seperti Islam dan Iman, kalau dikumpulkan terpisah, yakni
masing-masing mempunyai arti tersendiri, dan jika dipisah terkumpul, yakni bila
salah satu disebutkan sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai arti buat kata
lain yang sejajar.[6]
Raqib al-Isfahani (w. 502 H/1108 M)[7], ahli fikih dan ahli tafsir,
menyebutkan empat macam pengertian fakir. Pertama, fakir dalam arti
orang yang memerlukan kebutuhan hidup yang primer, yaitu makanan, minuman,
tempat tinggal, dan keamanan. Kedua, fakir dalam arti orang yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer, tetapi ia dapat menjaga dirinya
dari meminta-minta. Ketiga, fakir dalam arti fakir jiwanya. Ini termasuk
golongan fakir yang paling buruk karena dapat mendorong orang itu kepada
kekafiran. Keempat, fakir dalam arti orang yang selalu merasa butuh
kepada petunjuk dan bimbingan Tuhan, sehingga orang tersebut tidak merasa
sombong.
Pengertian fakir selanjutnya dibahas dalam ilmu fikih.
Sayid Sabiq[8],
ahli fikih dari Mesir, mengatakan bahwa yang tergolong orang fakir adalah orang
yang tidak memiliki harta sebanyak satu nisab (sejumlah minimal harta kekayaan
yang harus dikeluarkan zakatnya dalam waktu tertentu). Ketentuan ini dapat
dipahami dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Jabal : ”Diambil
dari harta orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir.”[9] Dari
hadis ini, ulama fikih memahami bahwa orang-orang yang memiliki harta sebanyak
satu nisab zakat telah dinamakan kaya, sedangkan yang memiliki harta kurang
dari satu nisab zakat dinamakan fakir.
Menurut Imam Abu Hanifah[10], fakir adalah orang yang
mempunyai harta kurang dari satu nisab atau mempunyai harta satu nisab atau
lebih tetapi habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun Imam
Malik[11]
mengatakan bahwa fakir adalah orang yang mempunyai harta yang jumlahnya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam masa satu tahun. Imam
asy-Syafi’i[12]
mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau
mempunyai harta dan usaha tetapi kurang dari setengah kebutuhan hidupnya dan
tidak ada orang yang berkewajiban menanggung biaya hidupnya. Imam Ahmad bin
Hanbal[13]
mengatakan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai
harta tetapi kurang dari setengah keperluannya.
Sebagaimana kata fakir, kata miskin pun
mengalami pengertian yang bermacam-macam. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang memiliki harta setengah dari
kebutuhan hidupnya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
Dari segi kekurangan harta yang dimilikinya dan
kedudukannya sebagai salah satu penerima zakat tampak ada perbedaan. Sayid
Sabiq[14]
mengatakan bahwa fakir miskin disebut secara bersamaan dengan
menggunakan huruf waw al’ataf (kata sambung), sebagaimana dijumpai dalam
surat at-Taubah (9) ayat 60, menunjukkan bahwa miskin adalah bagian dari fakir,
atau orang miskin itu pada hakekatnya adalah orang fakir juga, tetapi ia
memiliki ciri-ciri yang khusus. Dalam hadis Nabi SAW dijelaskan bahwa di antara
ciri-ciri orang miskin itu adalah orang fakir yang enggan meminta-minta kepada
orang lain: ”Orang miskin itu bukanlah orang yang engkau berikan sebutir
atau dua butir kurma, sesuap atau dua suap makanan, melainkan orang miskin itu
adalah orang yang memilihara dirinya dari meminta-minta” (HR. Abu Dawud).[15]
Dalam kaitan ini terdapat pula istilah as-sa’il
dan al-mahrum, sebagaimana terdapat dalam surat az-Zariyat (51)
ayat 19 yang artinya : ”Dan dari pada harta mereka ada hak orang miskin yang
meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Kata as-sa’il pada
ayat tersebut, menurut Syekh Muhammad Mustafa al-Maragi (1881-1945), ahli
tafsir dari Mesir), adalah orang miskin yang meminta-minta, sedangkan kata
al-mahrum adalah orang miskin yang tidak memiliki harta, tetapi ia tidak
meminta-minta sehingga tidak diketahui di mana ia berada, dan karenanya ia
tidak pula mendapat bagian dari zakat.
Dari 12 kata ”fakir” yang terdapat dalam al-Qur’an,
terdapat 7 kategori yang terkait dengan hukum. 1) Fakir yang tergolong sebagai
orang yang berhak memperoleh bagian dari
daging kurban yang dilakukan oleh orang yang mengerjakan beribadah haji
(QS.22:28). 2) Fakir yang tergolong sebagai orang yang boleh memakan harta anak
yatim yang diurusnya, dengan cara yang baik dan tidak melampaui batas (QS,4:6).
3) Fakir yang termasuk orang yang boleh menerima sedekah secara terang-terangan
agar menjadi contoh bagi yang lain (QS,2:271). 4) Fakir yang tergolong sebagai
orang yang berhak memperoleh santunan atau bantuan (QS,2:273). 5) Fakir yang
termasuk salah seorang yang berhak menerima zakat (QS,9:60). 6) Fakir yang
berhak mendapat bagian dari harta rampasan perang atau ganimah (QS,59:6). 7)
Fakir yang berhak memperoleh pembelaan yang adil ketika ia melakukan pelanggaran
yang tidak disengaja (QS,4:135).
Adapun orang miskin memperoleh hak-hak sebagai berikut. Pertama,
orang miskin yang termasuk salah seorang yang berhak memperoleh harta dari
fidyah atau denda orang yang tidak dapat melaksanakan kewajiban agama karena
uzur (QS,2:184). Kedua, orang miskin yang berhak mendapatkan
perlindungan atas hak-haknya (QS,17:26). Ketiga, orang miskin yang
berhak mendapatkan dana yang diperoleh dari kafarat yang dibayar oleh orang
yang melakukan zihar (perkataan suami terhadap isterinya yang mengandung maksud
menyamakan isterinya dengan ibunya sendiri) (QS,58:3-4). Keempat, orang
miskin yang mendapatkan dana yang diperoleh dari kafarat yang dibayar oleh
orang yang melanggar sumpahnya secara sengaja (QS,5:58). Kelima orang
miskin yang mendapatkan dana dari orang yang melanggar larangan pada waktu
melakukan ihram (QS,5:95). Keenam, orang miskin yang termasuk salah
seorang yang boleh menerima harta dari rampasan perang (QS,8:41). Ketujuh,
orang miskin yang boleh menerima harta dari zakat (QS,9:60).
b. Faktor dan Indikator Kemiskinan
Menurut KH. Ali Yafie[16]
terdapat petunjuk dari salah satu hadis yang mengungkapkan sebab-sebab
kemiskinan, yang berbunyi:
” ... aku mohon supaya Engkau (Tuhan)
melindungi aku dari kelemahan (al-’ajz), kemalasan, ketakutan, kepelitan,
terlilit hutang dan diperas atau dikuasai sesama manusia.”
Di
dalamnya tercantum hal-hal
pokok yang menimbulkan kemiskinan yang memelaratkan, yaitu:
Pertama : Kelemahan. Apakah itu
kelemahan hati dan semangat, atau kelemahan akal dan ilmu, ataukah kelemahan
fisik. Semua itu mengurangi daya pilih dan daya upaya manusia sehingga tidak
mampu menjalankan fungsinya sebagai pencipta dan pembangun untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Kedua : Kemalasan. Tidak
diragukan lagi bahwa sifat ini merupakan pangkal utama dari kemiskinan. Penataan hidup sehari-hari yang
diajarkan oleh Islam sangat bertolak belakang dengan sifat ini.
Ketiga : Ketakutan. Hal ini pun
jelas merupakan penghambat utama untuk mencapai suatu sukses dalam pekerjaan
dan usaha. Keberhasilan seseorang dalam merintis ataupun melanjutkan sesuatu
atau tugas banyak tergantung dari keberanian yang ada pada dirinya.
Keempat : Kepelitan. Hal ini
banyak bersangkutan dengan pihak si kaya, karena dengan sifat ini tanpa
disadari kepelitannya itu membantu untuk tidak mengurangi kemiskinan, dan
menempatkan dirinya menjadi sasaran untuk dibenci oleh si miskin.
Kelima : Terlilit hutang. Terdapat banyak
peringatan dari ajaran Islam untuk berhati-hati jangan sampai terjerat
hutang-utang, karena hutang itu adalah sangat membelenggu kebebasan, baik di
dunia maupun di akhirat. Apalagi orang yang sudah terbiasa dengan membiayai
hidupnya dari hutang-hutang sulit sekali mengangkat dirinya dari lumpur
kemiskinan.
Keenam: Diperas atau dikuasai sesama manusia.
Hal ini merupakan penyebab bagi timbulnya banyak penderitaan dan kemelaratan,
baik pada tingkat perorangan maupun pada tingkat masyarakat, bangsa dan negara.
Pemerasan manusia kuat menimbulkan sistem perbudakan, dan pemerasan manusia
kaya menimbulkan sistem riba. Dan pemerasan pada tingkat masyarakat
bangsa/negara menimbulkan sistem kapitalisme yang berkembang menjadi
imperialisme. Kenyataan yang ada di negeri-negeri jajahan atau setengah jajahan
membuktikan dengan jelas betapa besar kemiskinan yang memelaratkan masyarakat,
berabad-abad lamanya sebagai akibat langsung dari sistem imperialisme itu.
Menurut Dr. Saad IH,[17] sebab-sebab
terjadinya kemiskinan terkait dengan model interaksi antara manusia dengan
dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan alam dan dengan masyarakatnya. Sebab-sebab
kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi alam terjadi bila dilakukan pola
destruktif antara manusia dan alam seperti eksploitasi alam tanpa melakukan
analisa dampak lingkungan, kecenderungan untuk menghabiskan seluruh potensi
alam, keengganan mengadakan peremajaan demi kelanjutan alam, dan sebagainya.
Akibat lebih lanjut dari pola interaksi demikian ialah terjadinya kemiskinan,
baik secara langsung maupun tidak, baik generasi yang sedang eksis maupun
generasi selanjutnya. Di sisi lain kondisi alam yang gersang dan tidak memiliki
potensi yang bisa dikembangkan juga merupakan cobaan yang diberikan Tuhan
kepada umat manusia sebagaimana yang dilukiskan al-Qur’an dalam surat
Al-Baqarah ayat 155.
Sedang sebab-sebab kemiskinan yang berkaitan dengan
kondisi manusia itu sendiri adalah kurangnya percaya pada kemampuannya,
keengganan mengaktualisasikan potensi yang ada dalam bentuk kerja nyata yang
serius, serta keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu.
Sedang salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan
kondisi sosial, ialah terkonsentrasinya modal di tangan orang-orang kaya
(konglomerat). Terkonsentrasinya modal di tangan mereka menyebabkan orang-orang
fakir tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya
demi meraih prestasi di bidang ekonomi.
Loekman Soetrisno[18] mengutip
pendapat Robert Chambers seorang ahli pembangunan pedesaan berkebangsaan
Inggris, menyatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh rakyat negara sedang
berkembang, khususnya rakyat pedesaan, disebabkan oleh beberapa faktor yang
disebut sebagai ketidakberuntungan atau disadvantages yang saling
terkait satu sama lain.
Menurut Robert Chambers ada lima “ketidakberuntungan”
yang melingkari kehidupan orang atau keluarga miskin, yaitu:
Pertama, kemiskinan (poverty), situasi
orang miskin mempunyai tanda-tanda sebagai berikut; Pertama, rumah
mereka reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan
yang sangat minim, tidak memiliki MCK sendiri. Ekonomi keluarga bercirikan gali
lubang tutup lubang. Kedua, pendapatan mereka tidak menentu dan sangat
rendah.
Kedua, fisik yang lemah (physical
weakness); kelemahan fisik keluarga miskin disebabkan oleh beberapa hal
seperti tidak adanya seorang laki-laki sehat yang menjadi kepala keluarga,
sehingga keluarga terpaksa dikepalai seorang perempuan yang di samping bekerja
mengurusi pekerjaan rumah sehari-hari, juga harus bekerja untuk menghidupi
keluarga. Akibatnya keluarga miskin lemah secara fisik akibat rendahnya gizi,
beban kerja terlalu berat dan interaksi berbagai bibit macam penyakit akibat
kemiskinan.
Ketiga, keterasingan (isolation).
Kelompok miskin dapat terasing karena tempat tinggalnya yang secara geografis
terasing, atau karena mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber
informasi.
Keempat, kerentanan (vulnerability).
Dalam menghadapi paceklik keluarga miskin mencukupi kebutuhan sehari-hari
mereka dengan menjual barang-barang yang dimiliki dan laku dijual, utang pada
tetangga yang lebih mampu, atau mengurangi makan mereka baik dari segi jenis
atau frekuensinya. Keadaan darurat membuat tidak hanya keluarga miskin menjadi
lebih miskin, tetapi juga rawan dari berbagai macam penyakit, yang tidak jarang
dapat membawa kematian.
Kelima, ketidakberdayaan (powerlessness).
Orang miskin tidak berdaya menghadapi rentenir atau orang-orang lain yang
sering mengeksploitasi mereka. Mereka juga tidak berdaya menghadapi polisi atau
aparat negara lain yang sering tidak ramah terhadap mereka.
Oscar Lewis[19] menyebutkan
dalam kumpulan makalahnya bahwa kebudayaan kemiskinan dapat terwujud dalam
berbagai konteks sejarah. Namun, lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat-masyarakat yang
mempunyai seperangkat kondisi-kondisi seperti berikut: (1) sistem ekonomi uang,
buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat
pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya
upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah, meningkatkan
organisasi sosial, ekonomi dan politik secara sukarela maupun atas prakarsa
pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem
unilateral; dan akhirnya (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas
yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan
mobilitas vertikal, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya
status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya
sudah rendah kedudukannya.
Menurut teori development of underdevelopment[20] atau teori
ketergantungan-dominasi (dominance-dependency) bahwa sebab-sebab
kemiskinan dan keterbelakangan bukanlah sekedar faktor-faktor yang terdapat
pada masyarakat yang bersangkutan seperti kurangnya modal, pendidikan yang
rendah, kepadatan penduduk, kekurangan gizi dan lain sebagainya. Lebih dari itu
faktor-faktor tersebut hanyalah merupakan atribut kemiskinan saja, tetapi
kemiskinan itu sendiri berakar dari sejarah eksploitasi, terutama yang
dilakukan oleh kekuatan kapitalis asing atau internasional yang melakukan
penetrasi, dominasi dan pengerukan keuntungan dari daerah pinggiran ke
pusat-pusat metropolis.
c. Pemberdayaan dan Pengentasan
Kemiskinan
Allah SWT sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus
menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya
manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah
menyediakan rizki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai
makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka (Qs. ar-Rûm
[30]: 40) dan (Qs. Hûd [11]: 6).
Jika
demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang
ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.
Dalam
pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan
barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah.
Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah
kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara
i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah SWT untuk manusia
pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan
benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama
penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya
keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang
menjalankan sistem tersebut.
Islam
adalah sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara yang khas dalam
menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang
berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah,
kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri,
melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam
menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan
yang bersifat terpadu.
C.
Upaya Islam
mengatasi kemiskinan
1.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari
pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut
selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan
primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar
lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap
individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan
perumahan kepada siapa saja, setiap saat. Sehingga terbayang, rakyat bisa
bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru.
Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk
pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan.
Mekanisme tersebut adalah :
a)
Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan
Keluarganya.
Islam
mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam
rangka memenuhi kebutuhannya (Qs. al-Mulk[67]: 15). Dan banyak hadis
Nabi SAW yang menaruh perhatian dalam anjuran bekerja untuk memenuhi kebutuha
rumah tangganya. [21]
Ayat
dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja
mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi
nafkah kepada anak dan istrinya (Qs. al-Baqarah [2]: 233) Dan (Qs. ath-Thalâq [65]: 6).
Jadi
jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam
mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan
keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk
bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.
b)
Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas
menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari
nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik,
sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam
orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya lalu siapa yang
akan menanggung kebutuhan nafkahnya? Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan
kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka (Qs.
al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti
seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan
berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud
adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.[22]
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu
memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi
nafkah, beralih ke kerabat dekatnya. Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk
membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan
kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan
mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh
syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang
tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi
nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang
memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah),
dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat
sekitarnya. [23]
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini
adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilkinya) sudah tidak butuh
lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan
pelengkap (al-hajat al-kamaliyah),
menurut standart masyarakat sekitarnya.[24]
c)
Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu
tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi
hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih
ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal,
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. [25]
Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak
mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua. Anggaran yang digunakan negara
untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas
zakat (Qs. at-Taubah [9]: 60).
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib
mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d)
Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali,
maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara kolektif
(Qs. adz-Dzariyat [51]: 19).
Rasulullah Saw juga bersabda: “Siapa saja yang menjadi
penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan,
maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka.” [HR. Imam
Ahmad].
“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur
kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” [HR.
al-Bazzar].
Secara teknis, hal ini dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu
orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada
orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika,
dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka
pemungutannya oleh negara harus dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam
mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan
diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka
kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat
dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban
beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari
Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke
seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum
Muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah
(pajak) dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.
D. PKH Sebagai Wujud Negara untuk Membantu Rakyat Sangat Miskin
Dalam rangka percepatan penanggulangan
kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial,
Pemerintah Indonesia mulai tahun 2007 akan melaksanakan Program Keluarga
Harapan (PKH). Program serupa di negara lain dikenal dengan istilah Conditional
Cash Transfers (CCT) atau bantuan tunai bersyarat.
Program ini bukan
dimaksudkan sebagai kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang
diberikan dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya
pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. PKH lebih dimaksudkan
kepada upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin.
Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, program serupa sangat bermanfaat
terutama bagi keluarga dengan kemiskinan kronis.
Pelaksanaan PKH di Indonesia diharapkan akan membantu
penduduk termiskin, bagian masyarakat yang paling membutuhkan uluran tangan
dari siapapun juga. Pelaksanaan PKH secara berkesinambungan setidaknya hingga
tahun 2015 akan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium
Development Goals atau MDGs). Setidaknya terdapat 5 komponen MDGs yang
secara tidak langsung akan terbantu oleh PKH, yaitu pengurangan penduduk miskin
dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian
bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu melahirkan.
Dalam PKH, bantuan akan diberikan kepada rumah tangga
sangat miskin (RTSM) dan sebagai imbalannya RTSM tersebut diwajibkan untuk
menyekolahkan anaknya, melakukan pemeriksaan kesehatan termasuk pemeriksaan
gizi dan imunisasi balita, serta memeriksakan kandungan bagi ibu hamil. Untuk
jangka pendek, bantuan ini akan membantu mengurangi beban pengeluaran RTSM,
sedangkan untuk jangka panjang diharapkan akan memutus rantai kemiskinan antar
generasi.
Tingkat kemiskinan suatu rumah tangga secara umum terkait
dengan tingkat pendidikan dan kesehatan. Rendahnya penghasilan keluarga sangat
miskin menyebabkan keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan
dan kesehatan, untuk tingkat minimal sekalipun. Pemeliharaan kesehatan ibu
sedang mengandung pada keluarga sangat miskin sering tidak memadai sehingga
menyebabkan buruknya kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan atau bahkan
kematian bayi. Angka kematian bayi pada kelompok penduduk berpendapatan
terendah pada tahun 2003 adalah 61 persen, sedangkan pada kelompok
berpendapatan tertinggi tinggal 17 persen (SDKI 2003). Angka kematian ibu di
Indonesia juga tinggi, yaitu sekitar 310 wanita per 100 ribu kelahiran hidup,
atau tertinggi di Asia Tenggara. Tingginya angka kematian ibu ini disebabkan
oleh tidak adanya kehadiran tenaga medis pada kelahiran, fasilitas kesehatan
yang tidak tersedia pada saat dibutuhkan tindakan, atau masih banyaknya rumah
tangga miskin yang lebih memilih tenaga kesehatan tradisional dari pada tenaga
medis lainnya.
Rendahnya kondisi kesehatan keluarga sangat miskin berdampak
pada tidak optimalnya proses tumbuh kembang anak, terutama pada usia 0-5 tahun.
Pada tahun 2003, angka kematian balita pada kelompok penduduk berpendapatan
terendah adalah 77 persen per 1000 kelahiran hidup, sementara pada kelompok
penduduk berpendapatan tertinggi hanya 22 persen per 1000 kelahiran hidup
(SDKI, 2003). Pada tahun 2000-2005, terdapat kecenderungan bertambahnya kasus
gizi kurang yang meningkat dari 24,5 persen pada tahun 2000 menjadi 29 persen
pada tahun 2005. Gizi kurang berdampak buruk pada produktivitas dan daya tahan
tubuh seseorang sehingga menyebabkannya terperangkap dalam siklus kesehatan
yang buruk. Seringnya tidak masuk sekolah karena sakit dapat menyebabkan anak
putus sekolah. Kondisi kesehatan dan gizi mereka yang umumnya buruk juga
menyebabkan mereka tidak dapat berprestasi di sekolah. Sebagian dari anak-anak
keluarga sangat miskin ada juga yang sama sekali tidak mengenyam bangku sekolah
karena harus membantu mencari nafkah. Meskipun angka partisipasi sekolah dasar
tinggi, namun masih banyak anak keluarga miskin yang putus sekolah atau tidak
melanjutkan ke SMP/MTs. Kondisi ini menyebabkan kualitas generasi penerus
keluarga miskin senantiasa rendah dan akhirnya terperangkap dalam lingkaran
kemiskinan (Gambar 1).
Berbagai indikator di atas menunjukkan bahwa pemenuhan
kebutuhan dasar, khususnya bidang pendidikan dan kesehatan, terutama bagi RTSM
perlu ditingkatkan sejalan dengan upaya pemerintah membangun sarana dan
prasarana pendidikan dan kesehatan serta meluncurkan program-program yang ditujukan
bagi keluarga miskin.
Masih banyaknya RTSM yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasar pendidikan dan kesehatan disebabkan oleh akar permasalahan yang terjadi
baik pada sisi RTSM (demand) maupun sisi pelayanan (supply). Pada
sisi RTSM, alasan terbesar untuk tidak melanjutkan sekolah ialah karena tidak
adanya biaya, bekerja untuk mencari nafkah, merasa pendidikannya sudah cukup,
dan alasan lainnya. Demikian halnya untuk kesehatan, RTSM tidak mampu membiayai
pemeliharaan atau perawatan kesehatan bagi anggota keluarganya akibat rendahnya
tingkat pendapatan.
Sementara itu, permasalahan pada sisi supply yang
menyebabkan rendahnya akses RTSM terhadap pendidikan dan kesehatan antara lain
adalah belum tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau
oleh RTSM. Biaya pelayanan yang tidak terjangkau oleh RTSM serta jarak antara
tempat tinggal dan lokasi pelayanan yang relatif jauh merupakan tantangan utama
bagi penyedia pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Dari sisi kebijakan sosial, PKH merupakan cikal bakal
pengembangan sistem perlindungan sosial, khususnya bagi keluarga miskin. PKH
yang mewajibkan RTSM menyekolahkan dan memeriksakan kesehatan anak-anaknya,
serta memeriksakan ibu hamil, akan membawa perubahan perilaku RTSM terhadap
pentingnya kesehatan dan pendidikan bagi anak-anaknya. Perubahan perilaku
tersebut diharapkan juga akan berdampak pada berkurangnya anak usia sekolah
RTSM yang bekerja. Sebaliknya hal ini menjadi tantangan utama pemerintah, baik
pusat maupun daerah, untuk meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi
keluarga miskin, dimanapun mereka berada.
Salah satu tujuan akhir dari PKH adalah meningkatkan
partisipasi sekolah baik itu sekolah dasar maupun sekolah menengah. Menurut
data BPS masih terdapat banyak anak usia sekolah yang tidak berada dalam sistem
persekolahan. Untuk meningkatkan tingkat partisipasi sekolah maka keikutsertaan
mereka yang berada di luar sistem persekolahan harus ditingkatkan. Sebagian
besar dari mereka yang pada usia sekolah tidak berada dalam sistem persekolahan
biasanya mereka menjadi pekerja anak dengan jumlah yang cukup besar.
Untuk meningkatkan partisipasi sekolah PKH harus dapat
menjaring mereka yang berada di luar sistem persekolahan termasuk mereka yang
menjadi pekerja anak. Pendamping PKH, terutama untuk daerah yang diduga banyak
terdapat pekerja anaknya akan dibekali dengan pengetahuan berkaitan dengan
bimbingan kepada pekerja anak dalam rangka mempersiapkan mereka kembali ke
bangku sekolah.
Dengan demikian, PKH membuka peluang terjadinya sinergi
antara program yang mengintervensi sisi supply dan demand, dengan
tetap mengoptimalkan desentralisasi, koordinasi antar sektor, koordinasi antar
tingkat pemerintahan, serta antar pemangku kepentingan (stakeholders). Pada
akhirnya, implikasi positif dari pelaksanaan PKH harus bisa dibuktikan secara
empiris sehingga pengembangan PKH memiliki bukti nyata yang bisa
dipertanggungjawabkan. Untuk itu, pelaksanaan PKH juga akan diikuti dengan
program monitoring dan evaluasi yang optimal.
Program keluarga Harapan (PKH) merupakan suatu program
penanggulangan kemiskinan. Kedudukan PKH merupakan bagian dari program-program
penanggulangan kemiskinan lainnya. PKH berada di bawah koordinasi Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), baik di Pusat maupun di daerah. PKH
merupakan program lintas Kementerian dan Lembaga, karena aktor utamanya adalah
dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Sosial, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Kementerian
Komunikasi dan lnformatika, dan Badan Pusat Statistik. Untuk mensukseskan
program tersebut, maka dibantu oleh Tim Tenaga ahli PKH dan konsultan World
Bank.
Program Keluarga Harapan (PKH) sebenrnya telah dilaksanakan
di berbagai negara, khususnya negara-negara Amerika Latin dengan nama program
yang bervariasi. Dalam PKH jelas disebutkan bahwa komponen yang menjadi fokus
utama adalah bidang kesehatan dan pendidikan. Tujuan utama PKH Kesehatan adalah
meningkatkan status kesehatan ibu dan anak di Indonesia, khususnya bagi
kelompok masyarakat sangat miskin, melalui pemberian insentif untuk melakukan
kunjungan kesehatan yang bersifat preventif (pencegahan, dan bukan pengobatan).
Seluruh peserta PKH merupakan penerima jasa kesehatan gratis yang disediakan
oleh program Askeskin dan program lain yang diperuntukkan bagi orang tidak
mampu. Karenanya, kartu PKH bisa digunakan sebagai alat identitas untuk
memperoleh pelayanan tersebut.
Komponen pendidikan dalam PKH dikembangkan untuk
meningkatkan angka partisipasi pendidikan dasar wajib 9 tahun serta upaya
mengurangi angka pekerja anak pada keluarga yang sangat miskin. Anak penerima
PKH Pendidikan yang berusia 7-18 tahun dan belum menyelesaikan program
pendidikan dasar 9 tahun harus mendaftarkan diri di sekolah formal atau non
formal serta hadir sekurang-kurangnya 85% waktu tatap muka. Setiap anak peserta
PKH berhak menerima bantuan selain PKH, baik itu program nasional maupun lokal.
Bantuan PKH bukanlah pengganti program-program lainnya karenanya tidak cukup
membantu pengeluaran lainnya seperti seragam, buku dan sebagainya. PKH
merupakan bantuan agar orang tua dapat mengirim anak-anak ke sekolah.
Sasaran atau Penerima bantuan PKH adalah Rumah Tangga Sangat
Miskin (RTSM) yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15
tahun dan/atau ibu hamil/nifas dan berada pada lokasi terpilih. Penerima
bantuan adalah lbu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang
bersangkutan (jika tidak ada lbu maka: nenek, tante/ bibi, atau kakak perempuan
dapat menjadi penerima bantuan). Jadi, pada kartu kepesertaan PKH pun akan
tercantum nama ibu/wanita yang mengurus anak, bukan kepala rumah tangga. Untuk
itu, orang yang harus dan berhak mengambil pembayaran adalah orang yang namanya
tercantum di Kartu PKH.
Calon Penerima terpilih harus menandatangani persetujuan
bahwa selama mereka menerima bantuan, mereka akan: (1) Menyekolahkan anak 7-15
tahun serta anak usia 16-18 tahun namun belum selesai pendidikan dasar 9 tahun
wajib belajar; (2) Membawa anak usia 0-6 tahun ke fasilitas kesehatan sesuai
dengan prosedur kesehatan PKH bagi anak; dan (3) Untuk ibu hamil, harus
memeriksakan kesehatan diri dan janinnya ke fasilitats kesehatan sesuai dengan
prosedur kesehatan PKH bagi lbu Hamil. Dan Pemerintahan daerah Kec. Soreang
berharap dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia terutama pada kelompok masyarakat miskin di daerahnya. Tujuan tersebut
sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian target MDGs. Secara khusus,
tujuan PKH terdiri atas: (1) Meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM; (2)
Meningkatkan taraf pendidikan anak-anak RTSM; (3) Meningkatkan status kesehatan
dan gizi ibu hamil, ibu nifas, dan anak di bawah 6 tahun dari RTSM; (4)
Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan, khususnya
bagi RTSM. [26]
E.
Kesimpulan
Fokus tulisan ini adalah tentang karakteristik
kemiskinan di Indonesia dengan mencoba;
1. mengidentifikasikan apa yang bermanfaat dan tidak
bermanfaat dalam upaya pengentasan kemiskinan;
2. memperjelas pilihan-pilihan apa saja yang tersedia untuk
Pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah dalam upaya memberbaiki standar
kualitas kehidupan masyarakat miskin.
Tulisan ini dilakukan dengan latar belakang;
1. Indonesia sedang berada di ambang era yang baru, yaitu
sesudah mengalami krisis multi dimensi pada akhir tahun 1990-an, Indonesia dari
sisi ekonomi sudah berhasil kembali bangkit dari posisi salah satu negara
berkembang berpenghasilan rendah menjadi salah satu negara berkembang
berpenghasilan menengah. Sementara dari
sisi lain mengalami transformasi besar di bidang sosial politik, berkembang
dengan demokrasi yang penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan,
serta keterbukaan yang lebih luas dibandingkan dengan masa lalu.
2. Pengentasan kemiskinan tetap merupakan salah satu masalah
yang paling mendesak di Indonesia.
3. Indonesia memiliki peluang emas untuk mengentaskan
kemiskinan dengan cepat.
4. Tantangannya adalah bagaimana membuat Indonesia bau itu
bermanfaat bagi penduduk miskin (work for
the poor).
5. Indonesia sebenarnya bisa belajar dari pertumbuhan
ekonomi, kebijakan dan program kemasyarakatan sendiri.
Hasil Tulisan ini dapat diungkapkan
sebagai berikut :
Pertama ; Ada tiga ciri yang menonjol kemiskinan di
Indonesia; 1) Banyak penduduk Indonesia rentan kemiskinan, 2) ukuran kemiskinan
didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang
sebenarnya, 3) mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia,
perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan Indonesia.
Kedua, Ada tiga cara Indonesia untuk
mengentaskan kemiskinan; 1).
Membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat
bagi rakyat miskin, 2) Membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin, 3)
Membuat pengeluaran (anggaran) pemerintah bermanfaat bagi rakyat miskin.
By : Abdul Mufid
Baca Makalah Pendidikan Spiritual lainnya :
MEMBUMIKAN NILAI - NILAI SUFISTIK DALAM BERBISNIS
MORAL, KARAKTER DAN PENDIDIKAN
TASAWUF DAN MEDIA
TASAWUF DAN PERUBAHANPOLITIK DI INDONESIA
MEMBANGUN ETOS KERJA ISLAM DI INDONESIA DENGAN BERTASAWUF
Baca Makalah Pendidikan Spiritual lainnya :
MEMBUMIKAN NILAI - NILAI SUFISTIK DALAM BERBISNIS
MORAL, KARAKTER DAN PENDIDIKAN
TASAWUF DAN MEDIA
TASAWUF DAN PERUBAHANPOLITIK DI INDONESIA
MEMBANGUN ETOS KERJA ISLAM DI INDONESIA DENGAN BERTASAWUF
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maliki, Abdurahman, as-Siyasatu al-Iqtishadiyahtu
al-Mutsla, 1963.
Ali
Yafie, “Islam Dan Problema Kemiskinan
,“ Majalah Pesantren, No.2/Vol III/1986, 3.
Direktur
Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum PKH 2013, Jakarta: Direktur
Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI, 2013.
Karjadi, D., Makalah
pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi
Kesehatan di Indonesia, Cimacan 9– 11 Oktober 1989.
Loekman
Sutrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius,
1997.
M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik, Jakarta:
LP3ES, 1985.
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid I, Cetakan keempat,
Bairut Lebanon: Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H.
Taqiyuddin
an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam, Cetakan keempat, Beirut
Lebanon: Daarul Ummah, 1990.
[1] Karjadi, D.
Makalah pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan dan Aplikasi Ilmu
Ekonomi Kesehatan di Indonesia. Cimacan 9– 11 Oktober 1989.
[2]
Adapun program
pengentasan kemiskinan, baik program Pemerintah maupun non Pemerintah dapat
disampaikan sebagai berikut : 1) Untuk program Pemerintah antara lain Program
Keluarga Harapan (PKH), Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaringan Pengaman
Sosial (JPS), Program Pengentasan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Kompensasi Kenaikan BBM berupa Bantuan
Langsung Tunai (BLT), Bantuan Tidak Langsung (BTL) dan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), Program Beras Miskin (Raskin),
Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Program
Pengembangn Kecamatan (PPK), Proyek Padat Karya, Program Kesehatan keluarga
Miskin (Gakin) dan lain-lain. 2) Untuk program non Pemerintah, antara lain ;
Program Cepat Tanggap, Siaga Gizi Nusantara, Layanan Kesehatan Masyarakat (Dompet
Dlu’afa’), Program Tali Kasih, Bedah Rumah, Uang Kaget, Lunas (Media Televisi),
dan lain-lain.
[3] Dua kata : “fakir dan miskin” menurut kamus bahasa Indonesia sebenarnya
mempunyai arti yang berbeda, fakir mempunyai dua pengetian; yaitu 1) orang yang
sangat kekurangan; orang yang terlalu miskin. 2) orang yang sengaja membuat
dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Sedangkan
miskin juga mempunyai pengertian; 1)
tidak berharta benda, serba kekurangan, berpenghasilan rendah. Lihat Lukman Ali
et.all., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 273 dan 660.
[4] Ayat-ayat tentang fakir terdapat pada Qs. Faathir; 35:
15, al-Qashash; 28 : 24 , al-Baqarah ; 2 : 271, al-Baqarah ; 2 : 273, al-Baqarah
; 2 : 268, Ali ‘Imran; 3 : ,al-Nisa’; 4 : 6 , al-Nisa’; 4 : 135, al-Taubah; 9
:, al-Hajj; 22 :, al-Nur; 24 : 12. Muhammad; 47 : , al-Hasyr; 59 : . Sedangkan
ayat-ayat miskin terdapat pada Qs.
al-Baqarah ; 2 : 184, al-Kahfi; 18 :, al-Rum; 30 :, al-Haqqah; 69 :,
al-Mudatstsir; 74 :, al-Fajr; 89 :, al-Balad; 90 :, al-Ma’un; 107 :,
al-Baqarah; 2 :, Ali ’Imran; 3 :, al-Nisa’; 4 : 8, al-Nisa’; 4 : 36,
al-Ma’idah; 5 : 89, al-Ma’idah; 5 : 95, al-Anfal; 8 :, al-Taubah; 9 :,
al-Isra’; 17 :, al-Nur; 24 :, al-Mujadalah; 58 :, al-Hasyr; 59 :, al-Qalam; 68
:, al-Insan; 76 :
[5] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Cetakan keenam
(Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002), 511.
[6] Orientalis Josef Schacht dalam Ensiklopedi Islam mengatakan
: “Perbedaan antara kata “fakir dan miskin” ialah perbedaan yang dipaksa-paksa
dalam segala seginya. Para ulama fikih biasanya suku menafsirkan suatu definisi
dan sering memasukkan diri mereka sendiri ke dalam salah satu kelompok
itu.” Selanjutnya Yusuf Qardawi
mengatakan sebagai umpan balik pernyataan Josef Schacht; kalau orang mempunyai
sedikit saja etika kesarjanaan tidak akan mengeluarkan pernyataan kosong
semacam itu. Orang-orang semacam Sarkhasi dari kalangan Hanafi, Ibnu al-Arabi
dari Maliki, Nawawi dari kalangan Syafi’i, Ibnu Qudamah dari Hambali atau Ibnu
Hazm dari kalangan Zahiri dan ulama-ulama fikih yang lain dari kalangan mazhab
–akan punya ambisi demikian supaya mereka memperoleh zakat atas nama kaum fakir
atau orang miskin, dengan jalan mengubah pengertian-pengertian dan definisi itu
dan supaya dengan demikian mereka memperoleh keuntungan materi. Ulama-ulama
fikih itu sendiri dari kalangan berada yang malah mau berkorban, atau golongan
miskin yang memang sudah tidak menginginkan harta (zakat). Jelas sekali ini
dapat diketahui oleh mereka yang sudah mengenal riwayat hidup para ulama itu.
Mengenai anggapannya tentang perbedaan yang dipaksa-paksakan, nampaknya dia
tidak menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang begitu mendetail antara
istilah-istilah yang tergabung dalam satu ungkapan itu, Masalahnya adalah
masalah linguistik, sebelum ia menjadi masalah hukum (fikih). Oleh karena itu,
baik ahli bahasa dan ahli tafsir maupun ahli fikih sudah sama-sama mengadakan
studi yang cukup mendalam mengenai masalah ini. Mereka sudah sepakat bahwa perbedaan
pendapat dalam hal ini tak ada gunanya dalam arti zakat. Lihat Yusuf Qardawi, Ibid. 512.
[7] Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfazh
al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fkr, tanpa tahun), 397-398.
[8] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid I, Cetakan
keempat (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H), 324-325.
[9] Hadis tersebut merupakan tugas dari Rasulullah SAW yang
diberikan kepada sahabat Mu’az bin Jabbal ketika menjadi gubernur di Yaman. Adapun
naskah hadisnya berbunyi sebagai berikut :
"أعلمهم أن عليهم
صدقة تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرئهم"
[10] Wahbah
al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Cetakan keempat (Bairut
Lebanon: Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H), 1953. dan Abd. Rahman bin Muhammad ‘Awadl
al-Jaziriy, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah (Mesir: Dar Ibn
al-Haitsam, tanpa tahun), 349.
[15]
Hadis diriwayatkan oleh beberapa Imam Hadis sebagaimana terdapat pada beberapa
koleksi hadisnya, antara lain Shahih al-Bukhari; 1382, Shahih Muslim; 1722, 1723, Sunan Abu Dawud; 1390, Sunan al-Nasa’i; 2524,
2525, 2526, Musnad Ahmad; 7225, 7840, 8748, 8777, 9370, 9422, 9510, 9687,
10165, Al-Muwaththo’; 1217, Sunan al-Darimi; 1564. Lihat Masu’ah al-Hadis
al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah
al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company),
1991-1997).
[16] Ali
Yafie, “Islam Dan Problema Kemiskinan ,“
Majalah Pesantren,
No.2/VolIII/1986, 3.
[18]
Loekman Sutrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 18.
[19] Parsudi Suparlan, Op. Cit., 5
[21] Hadis
diriwayatkan oleh beberapa Imam Hadis sebagaimana terdapat pada beberapa
koleksi hadisnya, antara lain Shahih al-Bukhari; 1377, Shahih Muslim; 1727,
1728, Sunan al-Turmudzi; 616, Sunan al-Nasa’i; 2524, Musnad Ahmad; 7016, 7177,
7646, 8771, 9053, 9490, 9766, 10033, 1588. Lihat Masu’ah al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua,
2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah
(Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).
[22] Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul
Iqtishadi fil Islam,. (Beirut Lebanon: Daarul Ummah, 1990) Cetakan keempat , 210.
[23] Ada beberapa Hadis yang dapat dipakai
sebagai dasar, antara lain; hadis tentang “Sedekah yang baik adalah harta yang
berasal dari selebihnya keperluan” : Shahih al-Bukhari; 1338, Shahih
Muslim; 1716, 1717, Sunan al-Turmudzi; 2389, Sunan al-Nasa’i; 2484, 2487, 2496, 2497, 2554, 2555, 2556, Musnad Ahmad; 2858,
7044, 7120, 7414, 8348, 8388, 8759, 8855, 9240, 9784, 9833, 10107. Lihat Masu’ah al-Hadis al-Syarif,
Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij
al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).
[25]
Ada beberapa Hadis yang dapat dipakai sebagai dasar, antara lain; Shahih
al-Bukhari; 2133, 2223, 2224, 4408, 4952,
6234, 6248, 6266 Shahih
Muslim; 3040, 4041, 4042,
4043 Sunan al-Turmudzi; 990, 2016, Sunan
al-Nasa’i; 1937, Sunan Abu Dawud; 2566, Sunan Ibn Majah; 2406,
Musnad Ahmad; 7523,
7558, 7888, 8066, 8319, 8593, 8819, 9438, 9471, 9497, 9604, 10396, Sunan
al-Darimi; 2481. Lihat Masu’ah
al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li
Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company),
1991-1997).
[26] Direktur Jenderal Perlindungan dan
Jaminan Sosial Kementerian Sosial RI, Pedoman
Umum PKH 2013, (Jakarta: Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial
Kementerian Sosial RI, 2013), hlm. 1-20
No comments:
Post a Comment