GUDANG MAKALAH

Friday, 15 August 2014

TASAWUF DAN PERUBAHAN SOSIAL POLITIK DI INDONESIA



A.    Pendahuluan
Demokratisasi politik yang bergulir di Indonesia kini sangat memerlukan ragam tawaran konsep-konsep politik pada umat Islam agar mereka semakin cerdas dan arif menghadapinya, sehubungan dengan ini  Tasawuf juga mengalami perkembangan seiring dengan situasi dan kondisi zaman. Saat ini telah bermunculan genre atau aliran dalam tasawuf, salah satunya adalah tasawuf sosial; yakni tasawuf yang tidak hanya mementingkan kesalehan individual, tapi juga peka dan terlibat dalam gerakan perubahan sosial-politik.

Corak tasawuf sosial-politik ini berbeda dengan model tasawuf dalam bentuk zuhud, di mana empati sosial dan kepekaan terhadap ketidakadilan sosial menjadi dasar utama gerakan tasawuf model ini. Model tasawuf ini pada intinya mengajak keseimbangan antara hidup dunia dan akhirat, atau melakukan zikir dan doa sekaligus tetap melakukan aktifitas sehari-hari. Di sini tasawuf dijadikan sebagai jalan bagi perubahan sosial-politik.

Munculnya kecenderungan untuk memberikan porsi yang besar terhadap dimensi tasawuf pada satu sisi cukup membanggakan sebagai sebuah pengakuan terhadap kembalinya nilai spiritualitas Islam, tapi di sisi yang lain cukup mengkhawatirkan karena ajaran-ajaran tasawuf dalam bentuk spiritualitas sering tanpa ditopang oleh agama tertentu (spiritualitas tanpa agama), atau jika ditopang oleh ajaran agama tertentu, coraknya masih anti-sosial.

Oleh karena itu pentingnya tasawuf ditinjau kembali dari dimensi partikularnya, yang hanya sebatas ritual dan asketisme yang bersifat personal. Salah satunya adalah mengkaitkan ajaran tasawuf dengan persoalan-persoalan social dan politik yang sedang berkembang sehingga melahirkan apa yang kemudian dinamakan sebagai tasawuf sosial-politik. 

B.     Tasawuf Sosial-Politik Dalam Lintasan Sejarah
 Tasawuf dalam maknanya yang lama, seringkali dianggap sebagai sumber kemunduran bagi umat Islam. Sejak kemunculannya, tasawuf telah menuai kritik bahkan sebagian kalangan menolaknya sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Salah satu sasaran kritik terhadap tasawuf selama ini terutama tentang ajaran asketisme dan zuhud yang dianggap tidak relevan bagi zaman kemajuan dan pembangunan. Tasawuf justru dituding sebagai penghambat umat Islam untuk maju. Menurut Ahmad Syafii Maarif, tasawuf hanya mengajak orang untuk “terhanyut-hanyut di sungai esoterisme tanpa peduli keadaan sosial-politik”.[1]
 
Kritik serupa sering juga kita baca di berbagai pemberitaan atau media, terutama kritik dari orang-orang yang selalu mengkaitkan tasawuf dengan kemajuan dan proses pembangunan. Ajaran kaum sufi seringkali dituduh mengabaikan kehidupan duniawi, sebab mereka lebih asyik-masuk mengejar kehidupan ukhrowi. Para sufi identik dengan hidup miskin, tidak mempunyai apa-apa, dan sederhana, acuh terhadap kondisi sosial-politik yang sedang bergolak atau berkembang, asketis, kontemplasi dan seterusnya. Para sufi memiliki hati yang baik dan mulia, adalah sifat-sifat ideal yang terpuji yang sering disebut dalam kitab-kitab tasawuf. Namun menekankan hidup zuhud, dalam maknanya yang lampau, adalah sebuah tanda bahwa seorang dapat disebut sebagai sufi yang ketinggalan zaman.

Beberapa organisasi keagamaan secara terang-terangan menolak keberadaan tasawuf. Ada sebagian Beberapa tokoh pemikir Islam kontemporer juga kurang bersimpati dengan tasawuf, Namun, sejak mendapat kritik dari berbagai kalangan, baik di Timur sendiri maupun di Barat, akhirnya beberapa dimensi tasawuf tersebut mengalami perubahan dan penyesuaian dengan konteks ruang dan waktu.

Tentu saja para pembela tasawuf kemudian menampik tuduhan bahwa tasawuf menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi, meski dalam perjalanan sejarahnya banyak contoh-contoh sufi yang menghindar dari dunia seraya asyik mengejar pahala akhirat. Para pembela tasawuf mengatakan bahwa tasawuf yang alternatif adalah tasawuf yang mementingkan keseimbangan antara aspek-aspek jasmani dan rohani, saleh secara individual sekaligus saleh secara sosial, merenung tapi sekaligus bertindak dan berkarya dalam kehidupan nyata. 

Dari sini kemudian bermunculan kajian tentang tasawuf model baru. Salah satunya adalah mengkaitkan tasawuf dengan dimensi social-politik, dan bukan hanya masalah etis saja. Asumsi dasar yang melatarbelakangi kelahiran model tasawuf berdimensi sosial politik ini adalah bahwa tasawuf, sebagaimana dikatakan Said Aqil Siradj, merupakan sebuah misi kemanusian yang menggenapi misi Islam secara holistik. Mulai dari dimensi iman, Islam hingga ihsan, di mana tasawuf menempati posisinya sebagai aktualisasi dimensi ihsan dalam Islam. Dalam praktek umat Islam sehari-hari, kata Said Aqil Siradj, dimensi ihsan ini diwujudkan dalam bentuk dan pola beragama yang tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), i’itidal (jalan tengah), dan tasamuh (toleran).[2]
 
Bukti-bukti historis juga mendukung argument Said Aqil Siradj di atas. Artinya, model tasawuf sebagai kritik social bukan hanya muncul belakangan ini saja sebagai reaksi dari perubahan zaman, melainkan telah ada setidaknya secara embrionik pada masa awal kelahiran tasawuf itu sendiri. 

Dalam sejarah perpustakaan sufi, kebanyakan sufi ikut memberikan sumbangan yang sangat besar dalam pengembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, para sufi ikut berpartisipasi langsung membangun universitas atau madrasah. Pusat-pusat sufi (zawiyah) dalam bahasa Arab, atau Khaniqah dalam bahasa (Persia), memainkan peranan penting dalam mengembangkan sistem pendidikan dan perubahan sosial. Terlepas seperti apa model pendidikan yang mereka terapkan, namun satu hal yang sulit disanggah bahwa mereka berperan besar dalam menyemarakkan kajian-kajian keislaman klasik.[3]

Beberapa sufi dalam sejarahnya berusaha menolak untuk menerima hadiah-hadiah dari para penguasa, mereka lebih memihak kepada massa kebanyakan dalam perjuangannya untuk memperoleh hak-hak yang diberikan Islam kepada mereka. Pada suatu masa terdapat gerakan sufi yang menyatakan ketidak-setujuan terhadap pemerintahan tirani Bani Umayyah, dan mereka menghimpun diri lalu melakukan protes. 

Gerakan tarekat pada masa Abbasiyyah untuk menggulingkan Bani Umayyah memiliki karakter sufistik, dan ini masih sangat jarang ditonjolkan karena kesan miring dan negatif terhadap kaum sufi sudah begitu mengakar dalam kajian keislaman klasik. Begitu juga gerakan tarekat Ismailiyah yang bekerja di tengah-tengah masyarakat, mengorganisasikan masyarakat berdasarkan gagasan-gagasan esoteris. Karena itu, aspek dan kandungan sosial-politis tasawuf dalam akar sejarahnya sulit untuk dipungkiri.

Menurut Said Aqil Siradj, kemunculan tasawuf tidaklain adalah sebagai kritik atas kekuasaan. Pada abad pertama Hijriah, para penguasa saat itu seringkali menggunakan Islam sebagai alat legitimasi bagi terwujudnya ambisi pribadi. Maka muncul segolongan orang yang mengkritik kekuasaan semacam itu, yang menyerukan gerakan moral serta memberi peringatan bagi penguasa yang zalim. [4]


C.     Tasawuf Berdimensi Sosial-Politik
 Apakah yang dimaksud tasawuf berdimensi sosial-politik itu? Nurcholis Madjid, seraya merujuk pendapat Said Ramadlan, menyebut tasawuf yang kontekstual pada zaman ini sebagai spiritualisme sosial (al-Ruhaniyyat al-Ijtima’iyah). [5] Sementara itu, Abdurrahman Wahid lebih tertarik menggunakan ungkapan untuk gerakan sufi kontemporer sebagai gerakan ”moralitas yang berdimensi politik”

Dalam bidang sosial dan politik, sumbangan dan peranan kaum sufi tidak kalah dengan peranan para pemimpin lain yang bukan sufi. Tarekat-tarekat sufi pada masa lalu berperan sebagai kekuatan politik dibanyak negeri Islam. Tarekat Safawi, misalnya, berubah dari gerakan spiritual semata menjadi gerakan politik dan militer, yang pada akhirnya berhasil mendirikan Kerajaan Safawi di Persia. Begitu juga tarekat Ni’matullah.
  
Perjuangan tarekat-tarekat melawan penjajah Barat di negeri-negeri Islam, seperti di Afrika -Utara, Anak Benua India, dan Nusantara, tidak dapat diabaikan. Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran, adalah seorang sufi yang telah berhasil meruntuhkan kekuasaan Syah Iran dengan landasan nilai-nilai tasawuf yang kuat. Dalam kecamuk perang Bosnia-Herzegovina awal 1990-an, para pemimpin dan anggota tarekat sufi di negeri ini aktif berjuang melawan musuh-musuh mereka dan menyalurkan bantuan-bantuan kemanusian kepada orang-orang yang membutuhkannya.[6]

Sufisme dalam bentuk gagasan kepemimpinan seringkali menjadi faktor dalam berbagai konflik dan protes. Salah satu sufi kontemporer yang dianggap melakukan protes yang mengguncang dunia adalah Imam Khomeini.   Ketika pamor Syah di Iran mulai menurun, banyak para aktivis bergabung dengan para mullah yang dikenal mengajarkan ’irfan dalam rangka menumbangkan rezim Syah yang dikenal menindas kehidupan keagamaan di Iran. Imam Khomeini, dalam ceramah-ceramahnya seringkali melakukan “pembunuhan” karakter Syah sebagai pemimpin yang korup dan anti agama Islam, padahal menurut Hamid Algar, Imam Khomeini selalu hidup zuhud, mengamalkan ajaran dan praktek-praktek sufisme yang beraliran falsafi.[7]
 
Akar protes kalangan sufi di Iran muncul dari perasaan yang semakin meluas di masyarakat karena diperlakukan sebuah rezim yang sudah melewati puncak kesabaran sebagian besar rakyat Iran. Pada masa pemerintahan syah, nilai-nilai dan warisan kebudayaan sufisme lebih sering muncul sebagai sarana protes terhadap banyak langkah yang diambil pemerintah. Dalam formasi politik yang ada pada masa revolusi, nampak warisan nilai-nilai dan literatur sufisme memang lebih tepat menjadi sarana protes daripada asketisme, menjauhkan diri dari kehidupan ramai. Bagaimana tasawuf telah menyumbang bagi teori revolusi, nampaknya masih perlu dikaji dan diteliti secara serius. Namun demikian, mengkaitkan sufisme dengan revolusi nampaknya tak bisa dipisahkan dengan Imam Khomeini. Sebab, tokoh ini sangat terkenal sebagai sosok pemimpin yang memberikan spirit perjuangan bagi rakyat dan para ulama-ulama Iran. Imam Khomeini juga sosok tokoh yang tak dapat dipisahkan dengan sejarah lahirnya revolusi Islam Iran sampai pembentukan negara teokrasi.

Maka tak berlebihan jika ada yang memuji perjuangan Imam Khomeini sebagai seorang agamawan pengamal sufistik/irfani yang terlibat, dan berhasil membumikan gagasan Islam di negerinya. Bagi mereka, Imam Khomeini membawa moralitas berdimensi sosial yang paling mendasar, moralitas yang berwatak politis, seperti gerakan-gerakan sufisme awal di Persia yang merupakan perkumpulan para mullah yang menekankan gerakan moralitas yang berpolitik. Tepatlah jika Abdurrahman Wahid menamai perkembang- perkembangan protes keagamaan yang berwajah politik, yang diusung Imam Khomeini dan para mullah lainnya, dengan sebutan spiritualite politique”, atau kerohanian berdimensi politik.[8]

D.    Tasawuf Politik
Kita adalah hamba Tuhan yang diberi tugas untuk memakmurkan bumi, yaitu sebagai pemimpin di muka bumi yang tunduk dan patuh akan peruntah Tuhan-Nya. Dengan memahami tujuan penciptaan kita sebagai pemakmur dimuka bumi, maka tak ayal lagi kita punya tanggung jawab besar terhadap kepemimpinan kita, di Negeri akherat, Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinan kita. 

            Hakikatnya setiap pribadi adalah pemimpin, seperti yang tercermin dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh bukhori Muslim dari Ibnu Umar Ra, “kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.  Sebagai seorang yang menggunakan nilai-nilai Al Qur’an dalam kepemimpinan yang bertanggung jawab adalah suatu keniscayaan. Dalam sejarah perkembangan umat Islam, kita dapat melihat kejayaan dan kehancuran yang tidak pernah lepas dari kualitas kepemimpinannya. 

            Di era sekarang, hidup berbangsa dan bernegara yang masuk dalam ibadah muamalah, kepemimpinan umat Islam dapat di capai melalui proses politik maupun system kerajaan. Khusus untuk Indonesia yang menganut system demokrasi pancasila, mau tidak mau menuntut umat Islam untuk terlibat di kancah politik. 

            Bagaimana seharusnya umat Islam mewarnai proses kepemimpinan nasional? Sejak republik berdiri, para pendahulu kita sudah berperan aktif dalam proses kepemimpinan, pancasila sebagai dasar Negara merupakan ijtihad para bangsa. 

            Kita dahulu, sebagai final perjuangan umat Islam waktu itu dalam mewarnai pondasi dasar Negara dalam kebhinekaan. Tidak menutup mata, setiap mislim sejati pasti merindukan syariat Islam benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun apa hendak dikata, inilah Indonesia yang berbhineka tunggal ika, pancasila sudah menjadi piagam mutlak Negeri ini, sebagai umat islam kita punya kewajiban mengawal pancasila dan mengisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai syari’at Islam. 

Dalam kontek demokrasi, politik adalah sarana untuk merai kekuasaan, ibarat mata pisau, politik kekuasaan dapat membawa manfaat maupun kemadaratan dan dapat pula melukai tangan, bila politikus tersebut lalai menggunakan jalan politik, sebagai seorang muslim yang terjun di dunia politik, Al Qur’an dan Sunnah wajib menjadi rambu-rambu dalam menapaki peta politik.
Sungguh tepat dal relevan bila setiap politikus muslim berusaha membentuk pribadi unggul dalam kepemimpinannya dengan versi Al Qur’an. Al Qur’an merupakan kitab perjalanan dari Allah dalam mengatur kehidupan manusia, sebagai kitab suci AL Quran tidak cukup hanya dijadikan simbolik dalam perjuangan (symbol partai), tetapi perlu dipindahkan hiasan bibir dan Qolbu, kemudian dapat diaktualisasikan dalam garis perjuangan(politik). [9]

Dengan berpegang teguh pada rambu-rambu dari Al Qur’an dan sunnah, tak bisa dipungkiri akan menghaslkan pemimpin yang bertanggung jawab, hadiah terindah untuk para pemimpin yang adil dan amanah adalah kasih sayang Allah, seperti dalam firman-Nya “ dan berlakulah adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S Al Hujurat 9). 

Galau menghadapi godaan kekuasaan tidak hanya dialami partai nasionalis, partai berbasis Agama pun sekarang banyak mengalami fenomena gagal menghadapi cobaan kekuasaan, hal itu dikarenakan politikus lupa akan garis perjuangan yang diembannya, kita berprasangka positif, niat awal para politikus muslim adalah lurus, namun ditengah jalan tersesat dalam godaan nafsu, perang uhud itulah gambaran sebagai para politikus muslim saat ini. 

Kalau diibaratkan, peta politik saat ini tidak ubahnya seperti politik dagang sapi, orang masuk politik karena iming-iming dunia yang bersifat profit. Jadi jangan heran ketika kebobrokan melanda sebagian orang yang duduk dikursi kekuasaan. Yang lebih ironis lagi ketika partai berbasis Agama Islam pun hilang karakternya dan hamper tidak ada bedanya dengan lainnya. Hanya dengan sikap tawadlu dan zuhud serta ketergantungan yang tinggi akan petunjuk Allah SWT yang bisa menjaga tetap utuhnya nilai perjuangan. Kelihaian dalam berpolitik meraih kekuasaan, jika sudah lepas dari sikap tawadlu maupun zuhud akan berdampak mengaburkan hati nurani. Nafsu mulai terpesona indahnya korupsi, gurihnya ayam kampus dan lain sebagainya,

 

Penutup
Tasawuf bukanlah ajaran yang selalu identik dengan pengasingan diri, kontemplasi dan hidup zuhud. Dalam sejarahnya hingga saat ini, tasawuf ternyata memiliki satu aliran yang oleh beberapa pakar dapat diidentifikasi sebagai tasawuf sosial-politik; artinya ajaran tasawuf yang lebih menekankan perubahan sosial, tanggap terhadap kehidupan sosial serta mengikuti dan terlibat dalam pergolakan politik yang ada. Karenanya itu, sufi dalam konteks ini bukanlah orang yang acuh terhadap urusan masyarakat di sekelilingnya namun seorang sufi bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang modern tanpa meniggalkan nilai-nilai spiritualitas tasawuf yang di ajarkan dalam Islam diantaranya yaitu sikap tawadlu zuhud dan tidak serakah terhadap dunia. 

Kita beharap untuk negeri tercinta ini, semoga para pemimpin yang sekarang sedang lalai bisa kembali kepangkuan politik dan kekuasaan yang lurus. Menyongsong 2015 kita siapkan diri kita untuk memilih pemimpin seperti yang dirindukan Al Qur’an dan Assunnah: berikanlah pekerjaan pada ahlinya, untuk yang akan maju dalam politik praktis, kami berharap untuk mengukur kemampuannya, baik kecerdasan intelektual maupun spiritual. 













DAFTAR PUSTAKA
          

Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Hamid Algar, Imam Khomeini, Seorang Sufi, terj. Zainal Abidin, Mizan, Bandung, 1992.
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995.
Kautsar Azhari Noor, “Tasawuf Asketis, Tasawuf Bisnis, dan tasawuf Mistis”, dalam Jurnal Pemikiran Kebudayaan, Insight, Jakarta, 2001.
Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mizan, Bandung, 2006.

www.al-wiraja.blogspot.com/2013/02/tasawuf dan politik


[1] Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, h. 49 
[2] Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mizan, Bandung, 2006, h. 16  
[3] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, h. 96-105 
[4] Said Aqil Siradj, Op.Cit., h. 34 
[5] Ibid., h. 95 
[6] Kautsar Azhari Noor, “Tasawuf Asketis, Tasawuf Bisnis, dan tasawuf Mistis”, dalam Jurnal Pemikiran Kebudayaan, Insight, Jakarta, 2001, h. 49 
[7] Hamid Algar, Imam Khomeini, Seorang Sufi, terj. Zainal Abidin, Mizan, Bandung, 1992, h. 17 
[8] Abdurrahman Wahid, Op.Cit, h. 211 
[9] www.al-wiraja.blogspot.com/2013/02/tasawuf dan politik

No comments:

Post a Comment