A.
Pendahuluan
Demokratisasi politik yang bergulir di Indonesia kini sangat
memerlukan ragam tawaran konsep-konsep politik pada umat Islam agar mereka
semakin cerdas dan arif menghadapinya, sehubungan dengan ini Tasawuf juga mengalami perkembangan seiring
dengan situasi dan kondisi zaman. Saat ini telah bermunculan genre atau aliran
dalam tasawuf, salah satunya adalah tasawuf sosial; yakni tasawuf yang tidak
hanya mementingkan kesalehan individual, tapi juga peka dan terlibat dalam
gerakan perubahan sosial-politik.
Corak
tasawuf sosial-politik ini berbeda dengan model tasawuf dalam bentuk zuhud, di
mana empati sosial dan kepekaan terhadap ketidakadilan sosial menjadi dasar
utama gerakan tasawuf model ini. Model tasawuf ini pada intinya mengajak
keseimbangan antara hidup dunia dan akhirat, atau melakukan zikir dan doa
sekaligus tetap melakukan aktifitas sehari-hari. Di sini tasawuf dijadikan
sebagai jalan bagi perubahan sosial-politik.
Munculnya
kecenderungan untuk memberikan porsi yang besar terhadap dimensi tasawuf pada
satu sisi cukup membanggakan sebagai sebuah pengakuan terhadap kembalinya nilai
spiritualitas Islam, tapi di sisi yang lain cukup mengkhawatirkan karena
ajaran-ajaran tasawuf dalam bentuk spiritualitas sering tanpa ditopang oleh
agama tertentu (spiritualitas tanpa agama), atau jika ditopang oleh ajaran
agama tertentu, coraknya masih anti-sosial.
Oleh
karena itu pentingnya tasawuf ditinjau kembali dari dimensi partikularnya, yang
hanya sebatas ritual dan asketisme yang bersifat personal. Salah satunya adalah
mengkaitkan ajaran tasawuf dengan persoalan-persoalan social dan politik yang
sedang berkembang sehingga melahirkan apa yang kemudian dinamakan sebagai
tasawuf sosial-politik.
B.
Tasawuf
Sosial-Politik Dalam Lintasan Sejarah
Tasawuf
dalam maknanya yang lama, seringkali dianggap sebagai sumber kemunduran bagi
umat Islam. Sejak kemunculannya, tasawuf telah menuai kritik bahkan sebagian
kalangan menolaknya sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Salah satu
sasaran kritik terhadap tasawuf selama ini terutama tentang ajaran asketisme
dan zuhud yang dianggap tidak relevan bagi zaman kemajuan dan pembangunan.
Tasawuf justru dituding sebagai penghambat umat Islam untuk maju. Menurut Ahmad
Syafii Maarif, tasawuf hanya mengajak orang untuk “terhanyut-hanyut di sungai
esoterisme tanpa peduli keadaan sosial-politik”.[1]
Kritik
serupa sering juga kita baca di berbagai pemberitaan atau media, terutama
kritik dari orang-orang yang selalu mengkaitkan tasawuf dengan kemajuan dan
proses pembangunan. Ajaran kaum sufi seringkali dituduh mengabaikan kehidupan
duniawi, sebab mereka lebih asyik-masuk mengejar kehidupan ukhrowi. Para sufi
identik dengan hidup miskin, tidak mempunyai apa-apa, dan sederhana, acuh
terhadap kondisi sosial-politik yang sedang bergolak atau berkembang, asketis,
kontemplasi dan seterusnya. Para sufi memiliki hati yang baik dan mulia, adalah
sifat-sifat ideal yang terpuji yang sering disebut dalam kitab-kitab tasawuf.
Namun menekankan hidup zuhud, dalam maknanya yang lampau, adalah sebuah tanda
bahwa seorang dapat disebut sebagai sufi yang ketinggalan zaman.
Beberapa
organisasi keagamaan secara terang-terangan menolak keberadaan tasawuf. Ada
sebagian Beberapa tokoh pemikir Islam kontemporer juga kurang bersimpati dengan
tasawuf, Namun, sejak mendapat kritik dari berbagai kalangan, baik di Timur
sendiri maupun di Barat, akhirnya beberapa dimensi tasawuf tersebut mengalami
perubahan dan penyesuaian dengan konteks ruang dan waktu.
Tentu saja para pembela tasawuf kemudian
menampik tuduhan bahwa tasawuf menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi,
meski dalam perjalanan sejarahnya banyak contoh-contoh sufi yang menghindar
dari dunia seraya asyik mengejar pahala akhirat. Para pembela tasawuf
mengatakan bahwa tasawuf yang alternatif adalah tasawuf yang mementingkan
keseimbangan antara aspek-aspek jasmani dan rohani, saleh secara individual
sekaligus saleh secara sosial, merenung tapi sekaligus bertindak dan berkarya
dalam kehidupan nyata.
Dari
sini kemudian bermunculan kajian tentang tasawuf model baru. Salah satunya
adalah mengkaitkan tasawuf dengan dimensi social-politik, dan bukan hanya
masalah etis saja. Asumsi dasar yang melatarbelakangi kelahiran model tasawuf
berdimensi sosial politik ini adalah bahwa tasawuf, sebagaimana dikatakan Said
Aqil Siradj, merupakan sebuah misi kemanusian yang menggenapi misi Islam secara
holistik. Mulai dari dimensi iman, Islam hingga ihsan, di mana tasawuf
menempati posisinya sebagai aktualisasi dimensi ihsan dalam Islam. Dalam
praktek umat Islam sehari-hari, kata Said Aqil Siradj, dimensi ihsan ini
diwujudkan dalam bentuk dan pola beragama yang tawassuth (moderat), tawazun
(keseimbangan), i’itidal (jalan tengah), dan tasamuh (toleran).[2]
Bukti-bukti
historis juga mendukung argument Said Aqil Siradj di atas. Artinya, model
tasawuf sebagai kritik social bukan hanya muncul belakangan ini saja sebagai
reaksi dari perubahan zaman, melainkan telah ada setidaknya secara embrionik pada
masa awal kelahiran tasawuf itu sendiri.
Dalam sejarah perpustakaan sufi, kebanyakan
sufi ikut memberikan sumbangan yang sangat besar dalam pengembangan berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, para sufi ikut
berpartisipasi langsung membangun universitas atau madrasah. Pusat-pusat sufi (zawiyah)
dalam bahasa Arab, atau Khaniqah dalam bahasa (Persia), memainkan
peranan penting dalam mengembangkan sistem pendidikan dan perubahan sosial.
Terlepas seperti apa model pendidikan yang mereka terapkan, namun satu hal yang
sulit disanggah bahwa mereka berperan besar dalam menyemarakkan kajian-kajian
keislaman klasik.[3]
Beberapa sufi dalam sejarahnya berusaha menolak
untuk menerima hadiah-hadiah dari para penguasa, mereka lebih memihak kepada
massa kebanyakan dalam perjuangannya untuk memperoleh hak-hak yang diberikan
Islam kepada mereka. Pada suatu masa terdapat gerakan sufi yang menyatakan
ketidak-setujuan terhadap pemerintahan tirani Bani Umayyah, dan mereka
menghimpun diri lalu melakukan protes.
Gerakan tarekat pada masa Abbasiyyah untuk
menggulingkan Bani Umayyah memiliki karakter sufistik, dan ini masih sangat
jarang ditonjolkan karena kesan miring dan negatif terhadap kaum sufi sudah
begitu mengakar dalam kajian keislaman klasik. Begitu juga gerakan tarekat
Ismailiyah yang bekerja di tengah-tengah masyarakat, mengorganisasikan
masyarakat berdasarkan gagasan-gagasan esoteris. Karena
itu, aspek dan kandungan sosial-politis tasawuf dalam akar sejarahnya sulit
untuk dipungkiri.
Menurut Said Aqil Siradj, kemunculan tasawuf
tidaklain adalah sebagai kritik atas kekuasaan. Pada abad pertama Hijriah, para
penguasa saat itu seringkali menggunakan Islam sebagai alat legitimasi bagi
terwujudnya ambisi pribadi. Maka muncul segolongan orang yang mengkritik
kekuasaan semacam itu, yang menyerukan gerakan moral serta memberi peringatan
bagi penguasa yang zalim. [4]
C.
Tasawuf Berdimensi Sosial-Politik
Apakah yang
dimaksud tasawuf berdimensi sosial-politik itu? Nurcholis Madjid, seraya
merujuk pendapat Said Ramadlan, menyebut tasawuf yang kontekstual pada zaman
ini sebagai spiritualisme sosial (al-Ruhaniyyat al-Ijtima’iyah). [5] Sementara
itu, Abdurrahman Wahid lebih tertarik menggunakan ungkapan untuk gerakan sufi
kontemporer sebagai gerakan ”moralitas yang berdimensi politik”
Dalam bidang sosial dan
politik, sumbangan dan peranan kaum sufi tidak kalah dengan peranan para
pemimpin lain yang bukan sufi. Tarekat-tarekat sufi pada masa lalu berperan
sebagai kekuatan politik dibanyak negeri Islam. Tarekat Safawi,
misalnya, berubah dari gerakan spiritual semata menjadi gerakan politik dan
militer, yang pada akhirnya berhasil mendirikan Kerajaan Safawi di Persia.
Begitu juga tarekat Ni’matullah.
Perjuangan tarekat-tarekat melawan penjajah
Barat di negeri-negeri Islam, seperti di Afrika -Utara, Anak Benua India, dan
Nusantara, tidak dapat diabaikan. Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran,
adalah seorang sufi yang telah berhasil meruntuhkan kekuasaan Syah Iran dengan
landasan nilai-nilai tasawuf yang kuat. Dalam kecamuk perang Bosnia-Herzegovina
awal 1990-an, para pemimpin dan anggota tarekat sufi di negeri ini aktif berjuang
melawan musuh-musuh mereka dan menyalurkan bantuan-bantuan kemanusian kepada
orang-orang yang membutuhkannya.[6]
Sufisme dalam bentuk gagasan kepemimpinan
seringkali menjadi faktor dalam berbagai konflik dan protes. Salah satu sufi
kontemporer yang dianggap melakukan protes yang mengguncang dunia adalah Imam
Khomeini. Ketika
pamor Syah di Iran mulai menurun, banyak para aktivis bergabung dengan para
mullah yang dikenal mengajarkan ’irfan dalam rangka menumbangkan rezim Syah
yang dikenal menindas kehidupan keagamaan di Iran. Imam Khomeini, dalam
ceramah-ceramahnya seringkali melakukan “pembunuhan” karakter Syah sebagai
pemimpin yang korup dan anti agama Islam, padahal menurut Hamid Algar, Imam
Khomeini selalu hidup zuhud, mengamalkan ajaran dan praktek-praktek sufisme
yang beraliran falsafi.[7]
Akar protes kalangan sufi di Iran muncul
dari perasaan yang semakin meluas di masyarakat karena diperlakukan sebuah
rezim yang sudah melewati puncak kesabaran sebagian besar rakyat Iran. Pada
masa pemerintahan syah, nilai-nilai dan warisan kebudayaan sufisme lebih sering
muncul sebagai sarana protes terhadap banyak langkah yang diambil pemerintah.
Dalam formasi politik yang ada pada masa revolusi, nampak warisan nilai-nilai
dan literatur sufisme memang lebih tepat menjadi sarana protes daripada
asketisme, menjauhkan diri dari kehidupan ramai. Bagaimana tasawuf telah
menyumbang bagi teori revolusi, nampaknya masih perlu dikaji dan diteliti
secara serius. Namun demikian, mengkaitkan sufisme dengan revolusi nampaknya
tak bisa dipisahkan dengan Imam Khomeini. Sebab, tokoh ini sangat terkenal
sebagai sosok pemimpin yang memberikan spirit perjuangan bagi rakyat dan para
ulama-ulama Iran. Imam Khomeini juga sosok tokoh yang tak dapat dipisahkan
dengan sejarah lahirnya revolusi Islam Iran sampai pembentukan negara teokrasi.
Maka tak berlebihan jika ada yang memuji
perjuangan Imam Khomeini sebagai seorang agamawan pengamal sufistik/irfani yang
terlibat, dan berhasil membumikan gagasan Islam di negerinya. Bagi mereka, Imam
Khomeini membawa moralitas berdimensi sosial yang paling mendasar, moralitas
yang berwatak politis, seperti gerakan-gerakan sufisme awal di Persia yang
merupakan perkumpulan para mullah yang menekankan gerakan moralitas yang
berpolitik. Tepatlah jika Abdurrahman Wahid menamai perkembang- perkembangan
protes keagamaan yang berwajah politik, yang diusung Imam Khomeini dan para
mullah lainnya, dengan sebutan spiritualite politique”, atau kerohanian
berdimensi politik.[8]
D.
Tasawuf
Politik
Kita adalah hamba Tuhan yang diberi tugas untuk
memakmurkan bumi, yaitu sebagai pemimpin di muka bumi yang tunduk dan patuh
akan peruntah Tuhan-Nya. Dengan memahami tujuan penciptaan kita sebagai
pemakmur dimuka bumi, maka tak ayal lagi kita punya tanggung jawab besar
terhadap kepemimpinan kita, di Negeri akherat, Allah akan meminta pertanggung
jawaban atas kepemimpinan kita.
Hakikatnya setiap pribadi adalah
pemimpin, seperti yang tercermin dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh bukhori Muslim dari Ibnu Umar Ra, “kalian adalah pemimpin
yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Sebagai seorang yang menggunakan nilai-nilai
Al Qur’an dalam kepemimpinan yang bertanggung jawab adalah suatu keniscayaan.
Dalam sejarah perkembangan umat Islam, kita dapat melihat kejayaan dan
kehancuran yang tidak pernah lepas dari kualitas kepemimpinannya.
Di era sekarang, hidup berbangsa dan
bernegara yang masuk dalam ibadah muamalah, kepemimpinan umat Islam dapat di
capai melalui proses politik maupun system kerajaan. Khusus untuk Indonesia
yang menganut system demokrasi pancasila, mau tidak mau menuntut umat Islam
untuk terlibat di kancah politik.
Bagaimana seharusnya umat Islam
mewarnai proses kepemimpinan nasional? Sejak republik berdiri, para pendahulu
kita sudah berperan aktif dalam proses kepemimpinan, pancasila sebagai dasar
Negara merupakan ijtihad para bangsa.
Kita dahulu, sebagai final
perjuangan umat Islam waktu itu dalam mewarnai pondasi dasar Negara dalam
kebhinekaan. Tidak menutup mata, setiap mislim sejati pasti merindukan syariat
Islam benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun apa
hendak dikata, inilah Indonesia yang berbhineka tunggal ika, pancasila sudah
menjadi piagam mutlak Negeri ini, sebagai umat islam kita punya kewajiban
mengawal pancasila dan mengisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dengan nilai syari’at Islam.
Dalam kontek demokrasi, politik adalah sarana
untuk merai kekuasaan, ibarat mata pisau, politik kekuasaan dapat membawa manfaat
maupun kemadaratan dan dapat pula melukai tangan, bila politikus tersebut lalai
menggunakan jalan politik, sebagai seorang muslim yang terjun di dunia politik,
Al Qur’an dan Sunnah wajib menjadi rambu-rambu dalam menapaki peta politik.
Sungguh tepat dal relevan bila setiap politikus
muslim berusaha membentuk pribadi unggul dalam kepemimpinannya dengan versi Al
Qur’an. Al Qur’an merupakan kitab perjalanan dari Allah dalam mengatur
kehidupan manusia, sebagai kitab suci AL Quran tidak cukup hanya dijadikan
simbolik dalam perjuangan (symbol partai), tetapi perlu dipindahkan hiasan
bibir dan Qolbu, kemudian dapat diaktualisasikan dalam garis
perjuangan(politik). [9]
Dengan berpegang teguh pada rambu-rambu dari Al
Qur’an dan sunnah, tak bisa dipungkiri akan menghaslkan pemimpin yang
bertanggung jawab, hadiah terindah untuk para pemimpin yang adil dan amanah
adalah kasih sayang Allah, seperti dalam firman-Nya “ dan berlakulah adil,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S Al Hujurat 9).
Galau menghadapi godaan kekuasaan tidak hanya
dialami partai nasionalis, partai berbasis Agama pun sekarang banyak mengalami
fenomena gagal menghadapi cobaan kekuasaan, hal itu dikarenakan politikus lupa
akan garis perjuangan yang diembannya, kita berprasangka positif, niat awal
para politikus muslim adalah lurus, namun ditengah jalan tersesat dalam godaan
nafsu, perang uhud itulah gambaran sebagai para politikus muslim saat ini.
Kalau diibaratkan, peta politik saat ini tidak
ubahnya seperti politik dagang sapi, orang masuk politik karena iming-iming
dunia yang bersifat profit. Jadi jangan heran ketika kebobrokan melanda sebagian
orang yang duduk dikursi kekuasaan. Yang lebih ironis lagi ketika partai
berbasis Agama Islam pun hilang karakternya dan hamper tidak ada bedanya dengan
lainnya. Hanya dengan sikap tawadlu dan zuhud serta ketergantungan yang tinggi
akan petunjuk Allah SWT yang bisa menjaga tetap utuhnya nilai perjuangan.
Kelihaian dalam berpolitik meraih kekuasaan, jika sudah lepas dari sikap tawadlu
maupun zuhud akan berdampak mengaburkan hati nurani. Nafsu mulai terpesona
indahnya korupsi, gurihnya ayam kampus dan lain sebagainya,
Penutup
Tasawuf bukanlah ajaran yang selalu identik
dengan pengasingan diri, kontemplasi dan hidup zuhud. Dalam sejarahnya hingga
saat ini, tasawuf ternyata memiliki satu aliran yang oleh beberapa pakar dapat
diidentifikasi sebagai tasawuf sosial-politik; artinya ajaran tasawuf yang
lebih menekankan perubahan sosial, tanggap terhadap kehidupan sosial serta mengikuti
dan terlibat dalam pergolakan politik yang ada. Karenanya itu, sufi dalam
konteks ini bukanlah orang yang acuh terhadap urusan masyarakat di sekelilingnya
namun seorang sufi bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang modern
tanpa meniggalkan nilai-nilai spiritualitas tasawuf yang di ajarkan dalam Islam
diantaranya yaitu sikap tawadlu zuhud dan tidak serakah terhadap dunia.
Kita beharap untuk negeri tercinta ini, semoga
para pemimpin yang sekarang sedang lalai bisa kembali kepangkuan politik dan
kekuasaan yang lurus. Menyongsong 2015 kita siapkan diri kita untuk memilih
pemimpin seperti yang dirindukan Al Qur’an dan Assunnah: berikanlah pekerjaan
pada ahlinya, untuk yang akan maju dalam politik praktis, kami berharap untuk
mengukur kemampuannya, baik kecerdasan intelektual maupun spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii
Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1997.
Hamid Algar, Imam Khomeini, Seorang Sufi, terj.
Zainal Abidin, Mizan, Bandung, 1992.
Nurcholish
Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam
Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995.
Kautsar Azhari Noor, “Tasawuf Asketis,
Tasawuf Bisnis, dan tasawuf Mistis”, dalam Jurnal Pemikiran Kebudayaan, Insight,
Jakarta, 2001.
Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik
Sosial, Mizan, Bandung, 2006.
www.al-wiraja.blogspot.com/2013/02/tasawuf dan
politik
[1] Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, h. 49
[3] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, h. 96-105
[5] Ibid.,
h. 95
[6] Kautsar Azhari Noor, “Tasawuf Asketis, Tasawuf Bisnis, dan
tasawuf Mistis”, dalam Jurnal Pemikiran Kebudayaan, Insight, Jakarta, 2001,
h. 49
No comments:
Post a Comment