SANTRI SALAF MENGUPAS TUNTAS KAJIAN KEISLAMAN PROBLEMATIKA ONTOLOGI DAN EPISTIMOLOGI DALAM SAINS | KISS BLOG >

GUDANG MAKALAH

PROBLEMATIKA ONTOLOGI DAN EPISTIMOLOGI DALAM SAINS

PENDAHULUAN

Cabang  filsafat yang tidak bisa ditinggalkan untuk mengetahui haikat pengetahuan adalah ontologi dan epistimologi. Ontologi membahas bendanya sementara epistimologi menguak bagaimana cara mengetahui benda tersebut. Ontologi membahas tentang hakikat dari sesuatu yang wujud. Dari sesusuatu yang wujud ini menimbulkan berbagai aliran-aliran terntentu yang mempengaruhi pola pemikiran manusia di seluruh dunia.
Adapun untuk memperoleh data-data dari alam yang wujud itu di butuhkan panca indera, tetapi untuk menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk menterjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata ini dibutuhkan sekali akal. Andaikan bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di jagad raya ini. Jadi, akallah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan pengetahuan.
Kemudian konsep-konsep tersebut perlu adanya pembenaran sebuah teori. Dengan kebenarn tersebut lahirlah nilai-nilai yang ada pada objek tertentu. Sehingga bisa dijadikan pijakan hukum dalam keilmuan.
Nilai-nilai tersebut mengandung hal yang positif maupun negatif. Sehingga Problematika pengetahuan secara ontologis maupun epistimologis kerap terjadi di masyarakat. Permasalahan tersebut akan dibahas dalam makalah ini sekaligus menjelaskan tentang bagaimana solusi untuk mengatasinya.
ONTOLOGI DALAM SAINS

  1. PENGERTIAN DAN OBJEK ONTOLOGI
Cabang utama metafisik adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. ontologi adalah teori tentang ada, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Yang tertua diantara segenap filsafat Yunani yang kita kenal adalah Thales. Atas perenungannya terhadap air merupakan subtansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu.
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama  kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
 Pembicaraan tentang hakikat luas sekali, yaitu segala yang ada dan mungkin ada. Hakikat adalah realitas; realita adalah ke-real-an, Riil artnya kenyataan yang sebenarnya. Jadi kahikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
 Apa itu hakikat ? Hakikat ialah realitas ; ralitas ialah ke-real-an; “real” artinya kenyataan yang sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang berubah, lihatlah pengandaian ini. Pada hakikatnya pemerintahan demokrasi menghadapi pendapat rakyat. Mungkin orang pernah menyaksikan pemerintahan itu melakukan tindakan sewenang-wenang, tidak menghargai pendapat rakyat . Itu hanyalah keadaan sementara, bukan hakiki ,yang hakiki pemerintahan itu demokratis. Kita melihat suatu objek fatamorgana. Apakah real atau tidak ? Tidak. Fatamorgana itu bukan hakikat, atau hakikat fatamorgana ialah tidak ada itu, itulah dua contoh.

  1. ALIRAN-ALIRAN DALAM ONTOLOGI
Berbicara mengenai ontologi terdapat beberapa aliran yang berkaitan dengan objek ilmu, diantaranya:
  1. Idealisme
Tokoh utama dalam aliran ini ialah Plato dengan ajarannya yang terkenal yaitu; bahwa ia telah mengatakan seuatu yang nyata atau riil itu adalah sesuatu yang berada di ruang idea. Menurutnya idea merupakan gambaran yang jelas tentang dunia realita yang ditangkap oleh panca indra manusia. Aliran ini menganggap bahwa apa yang disebut objek ilmu sekarang hanya dibatasi pada objek empirik yang dapat ditangkap indra atau piranti pembantu indra.
Kaum idealisme berkayakinan, bahwa apa yang tampak dalam alam realitas bukanlah merupakan sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan bayangan atas apa yang bersemayam dalam alam pikiran manusia. Menurutnya realitas kebenaran dan kebaikan sebagai idea telah dibawa manusia sejak ia dilahirkan, dan karenanya bersifat tetap dan abadi.
Kaum idealis meyakini bahwa pengetahuan sesungguhnya adalah hasil atau produk akal, karena akal merupakan seuatu kemampuan melihat secara tajam bentuk-bentuk spritual murni dari sesuatu yang melampau bentuk materialnya. Kaum idealisme memandang segala sesuatu serba cita atau serba utuh.
Pengetahuan yang dihasilkan indra tidak akan pernah menjadi pengetahuan yang hakiki atau sebenarnya tanpa pernah membiarkan akalnya untuk menyusun pengetahuan yang memadai tentang apa yang dirasakan indara tersebut. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah suatu bagian dari pemikiran manusia yang dikategorisasikan melalui alam yang objektif yang mana itu ditangkap oleh indra manusia. Oleh karena itu, objek pengetahuan haruslah melalui idea-idea yang seluruh koneksitasnya bersifat sistematis.
Plato menempatkan konsep “the idea of the good” ini sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan proses pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang idea memberikan keyakinan bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio manusia. Idea memiliki hubungan langsung dengan putusan-putusan rasio yang mengarah pada pembentukan sikap.
Idealisme berkeyakinan bahwa realitas sejati adalah dunia ruhaniah, bukan yang materi. Dengan kata lain bahwa yang hakiki adalah idea bukanlah panca indra. Apapun yang ditangkap oleh panca indra baik itu yang dilihat, diraba, dirasa, dan dicium , itu hanyalah sebatas itu saja. Sesuatu yang jelas dan pasti ialah apa yang berada dalam dunia idea.
  1. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).
  1. Realisme
Realisme merupakan aliran filsafat yang memandang bahwa suatu yang riil adalah sesuatu yang bersifat fisik dan psikis. Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme.
Realisme melihat adanya hubungan dealektik antara realitas subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak namun di pihak lain ada realitas lain yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang dijadikan objek pengetahuan. Sebuah pengetahuan baru dapat dikatakan benar apabila ada kesesuaian dengan dunia faktual, dapat diamati, dan bersifat substantif. Aliran ini menekankan, bahwa sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara nyata memang ada.
Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, pertama yaitu; subjek sebagai realitas yang menyadari dan mengetaui di satu sisi, dan yang kedua yaitu; realitas yang berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan di sisi lain.
Bertolak belakang dari pandangan idealisme yang menyatakan bahwa pikiran manusia dimuati oleh kategori-kategorinya, seperti substansialitas dan kausalitas tentang data indrawi, maka realisme berkeyakinan, bahwa dunia yang kita terima bukanlah sebuah dunia yang kita ciptakan kembali secara mental, tetapi merupakan sebuah dunia yang apa adanya. Substansialitas, kausalitas, dan bentuk-bentuk alam adalah merupakan segi-segi dari benda-benda itu sendiri, bukanlah semacam proyeksi dan pikiran.
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan pengetahuan. Jika pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal itu hanyalah lantaran “yang lama” itu memang banar, yaitu disebabkan pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi pada kasus itu. Jadi koherasi tidak melahirkan kebenaran.
Realisme berkeyakinan bahwa pengetahuan selalu dihasilkan dari proses pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia sebagai subjek dalam menyerap dunia objek. Dengan demikian pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia sebagaimana adanya. Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah menempatkan sejumlah pengetahuan yang kebenarannya telah dikonfirmasi secara berulang-ulang.
  1. Pragmatisme
Pragmatisme adalah madzhab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Kaum pragmatisme menyakini bahwa pikiran manusia bersifat aktif dan berhubungan langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran manusia tidak mengonfrontasikan dunia yang ianya terpisah dari aktivitas pendidikan dan penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek yang mengetahuinya. Kebenaran itu tergantung sepenuhnya melulu pada korespondensi ide manusia dengan realitas eksternal, karena realitas bagi manusia tergantung pada bagian dalam ide yang menjelaskannya.
Menurut pragmatisme pengetahuan itu adalah produk dari proses interaksi atau transaksi antara manusi dengan lingkungannya. Dan kebenaran adalah suatu proferti bagi pengetahuan itu. Bagi kelompok pragmatisme suatu ide itu dapat dikatakan benar jika ia benar-benar berfungsi dan bisa diterapkan. Dengan kata lain sebuah pengetahuan dikatakan benar apabila ia bernilai, bermanfaat, dan dapat diterapkan.

  1. HAKIKAT ONTOLOGI SAINS
Pada pembelajaran hakikat sains ini ada dua pengetahuan yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang akan dibahas. Pertama, masalah rasional. Dalam sains, pernyataan atau hipotesis yang dibuat haruslah berdasarkan rasio. Misalnya hipotesis yang dibuat adalah “makan telur ayam berpengaruh positif terhadap kesehatan”. Hal ini berdasarkan rasio : untuk sehat diperlukan gizi, telur ayam banyak mengandung nilai gizi, karena itu, logis bila semakin banyak makan telur ayam akan semakin sehat. Hipotesis ini belum diuji kebenarannya, kebenarannya barulah dugaan,tetapi hipotesis itu telah mencukupi syarat dari segi kerasionalannya. Kata “rasional” di sini menunjukkan adanya hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.
Kedua, masalah empiris. Hipotesis yang dibuat tadi diuji (kebenarannya) mengikuti prosedur metode ilmiah.  Untuk menguji hipotesis ini digunakan metode eksperimen, misalnya pada contoh hipotesis di atas, pengujiannya adalah dengan cara mengambil satu kelompok sebagai sampel, yang diberi makan telur ayam  secara teratur selama enam bulan, sebagai kelompok eksperimen. Demikian juga, mengambil satu kelompok yang lain, yang tidak boleh makan telur  ayam selama enam bulan, sebagai kelompok kontrol. Setelah enam bulan, kesehatan kedua kelompok diamati.  Hasilnya, kelompok yang teratur makan telur ayam rata-rata lebih sehat. Setelah terbukti (sebaiknya eksperimen dilakukan berkali-kali), maka hipotesis yang dibuat tadi berubah menjadi teori. Teori ”makan telur ayam berpengaruh terhadap kesehatan” adalah teori yang rasional - empiris. Teori seperti ini disebut sebagai teori ilmiah (scientific theory).
Cara kerja dalam memperoleh teori tadi adalah cara kerja metode ilmiah. Rumus baku metode ilmiah adalah : logico - hypotheticom - verificatif  (buktikan bahwa itu logis - tarik hipotesis - ajukan bukti empiris). Pada dasarnya cara kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab akibat, atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sains ialah tidak ada kejadian tanpa sebab. Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.
Selain itu, ilmu pada dasarnya bebas nilai, artinya ilmu hanya memberi nilai benar atau salah terhadap sesuatu. Tidak pernah ilmu memberi nilai baik atau buruk, halal atau haram,sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah, perlu atau tidak perlu. Oleh pakar atau pengguna ilmu itulah kemudian sering berubah fungsi penilaiannya, jadi bukan oleh ilmu itu sendiri. Bahkan pada perkembangannya kita sering mendengar istilah, disamping rumpun sesuai dengan bidang kajian, adanya rumpun ilmu hitam yang penggunaanya untuk membantu niat tidak baik. Putih atau menjadi hitam tentu lebih dikarenakan oleh orang-orang yang menggunakan atas penguasaan ilmu tersebut. Atau pihak lain yang merasa terkenakan oleh penggunaan ilmu tersebut.
Dari kajian ontologis sains diatas memunculkan disiplin-disiplin ilmu yang lain. Secara garis besar terdapat dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Sains Kealaman
  1. Astronomi;
  2. Fisika ; mekanika, bunyi, cahaya, dan optic, fisika, nuklir;
  3. Kimia ; kimia organik, kimia teknik;
  4. Ilmu bumi ; paleontology, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogy, geografi.
  5. Ilmu hayat ; biofisika, botani, zoology
  1. Sains Sosial
  1. Sosiologi ; sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan
  2. Antropologi ; antropologi budaya, antropologi ekonomi, antropologi politik
  3. Psikologi ; psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal
  4. Ekonomi ; ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan
  5. Politik ; politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional
  1. Berikut ada tambahan dari dua sains di atas, yaitu :
  1. Seni ; seni abstrak, seni grafik, seni pahat, seni tari
  2. Hukum ; hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat
  3. Filsafat ; logika, etika, estetika
  4. Bahasa ; sastra
  5. Agama ; Islam, Kristen, Confucius
  6. Sejarah ; sejarah Indonesia, sejarah dunia

  1. PROBLEMATIKA ONTOLOGI SAINS DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Secara mikro, telaah ilmu pendidikan Islam menyangkut seluruh komponen dalam unsur yang termasuk didalamnya dalam pendidikan Islam. Sedangkan secara makro, objek formal ilmu pendidikan Islam ialah upaya normatif (sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam fenomena qauliyah dan kauniyah) keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik dalam skala kedaerahan, nasional maupun internasional.
Objek kajian pendidikan Islam senantiasa bersumber dari landasan normatif Islam yaitu al-qur’an (qauliyah) melalui pengalaman batin nabi Muhammad SAW yang kemudian kita kenal dengan wahyu. Kemudian disampaikan kepada seluruh umat dan alam semesta (kauniyah/sains). Dari kedua landasan inilah kemudian digali dan dikaji sehingga melahirkan konsep dan teori pendidikan yang bersifat universal. Kemudian, teori dan konsep yang bersifat universal tersebut dalam kegiatan eksprimen dan penelitian ilmiah pada gilirannya mampu melahirkan teori-teori atau ilmu pendidikan Islam dan diuraikan secara operasional untuk kemudian dikembangkan menjadi metode, kurikulum dan teknik pendidikan Islam.
Kajian pendidikan Islam senantiasa bertolak pada problem yang ada didalamnya, kesenjangan antara fakta dan realita, kontroversi antara teori dan empiri. Maka dari itulah, wilayah kajian pendidikan Islam bermuara pada tiga problem pokok, antara lain:
  1. Fondational Problems, yang terdiri dari atas religious fondation and philosophic foundational problemsempiric fondational problems, (Masalah dasar, fondasi agama dan masalah landasan filosofis-empiris) yang didalamnya menyangkut dimensi-dimensi dan kajian tentang konsep pendidikan yang bersifat universal, seperti hakikat manusia, masyarakat, akhlak, hidup, ilmu pengetahuan, iman, ulul albab dan lain sebagainya. Yang semuanya bersumber dari kajian fenomena qauliyah dan fenomena kauniyah yang membutuhkan pendekatan filosofis.
  2. structural problems (masalah struktural), ditinjau dari struktur demografis dan geografis bisa dikategorikan ke dalam kota, pinggiran kota, desa dan desa terpencil. Dari struktur perkembangan jiwa manusia bisa dikategorikan kedalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan manula. Dari struktur ekonomi dikategorikan kedalam masyarakat kaya, menengah dan miskin. Dari struktur rumah tangga, terdapat rumah tangga karier dan non karier. Dari struktur jenjang pendidikan bisa dikategorikan kedalam pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
  3. Operational problem (masalah operasional), secara mikro akan berhubungan dengan dengan berbagai komponen pendidikan Islam, misalnya hubungan interaktif lima faktor pendidikan yaitu tujuan pendidikan, pendidik dan tenaga pendidikan, peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam (kurikulum, metodologi, manajemen, administrasi, sarana dan prasarana, media, sumber dan evaluasi) dan lingkungan atau konteks pendidikan. Atau bisa bertolak dari hubungan input, proses dan output. Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik yang bersifat Nasional dan Internasional.

  1. SOLUSI ALTERNATIF DARI PROBLEMA ONTOLOGI SAINS DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakekat hidup. Ontologi diartikan juga dengan  hakekat apa yang terjadi. Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin adalah dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia.
Lalu pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia yang seperti apa atau yang bagaimana yang dikehendaki sesuai dengan pendidikan nasional. Menurut Al-Qur’an, manusia diberi tugas Allah sebagai khalifah. Manusia mendapatkan wewenang dan kuasa untuk melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri dan manusia pun mempunyai potensi untuk melaksanakannya. Dengan demikian pendidikan merupakan tanggung jawab manusia sendiri. Untuk dapat mendidik dirinya sendiri, manusia harus memahami dirinya sendiri. Apa hakekat manusia, bagaimana hakekat hidup dan kehidupannya? Apa tujuan hidup dan apa pula tugas hidupnya
Dimensi ontologis mengarahkan kurikulum agar lebih banyak memberi peserta didik untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta berkaitan dengan pelajaran yang memanipulasi benda-benda dan materi-materi kerja. Apalagi jika menyangkut tentang kurikulum 2013. Dalam kurikulum yang sering disebut dengan K13, menggunakan dasar ontoogis yang penuh makna. Siswa dituntut agar bias menjadi orang yang berkarakter cerdas dan kreatif serta tidak mengenyampinkan nilai-nilai budaya atau rohani.
Implikasi dimensi ontologi dalam kurikulum pendidikan ialah bahwa pengalaman yang ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam fisik. Maksud alam tak terbatas adalah alam rohaniah atau spiritual, yang menghantarkan manusia pada keabadian. Disamping itu, perlu juga ditanamkan pengetahuan tentang hukum dan sistem kemestaan yang melahirkan perwujudan harmoni di dalam alam semesta termasuk hukum dan tata tertib yang menentukan kehidupan manusia di masa depan.

EPISTIMOLOGI DALAM SAINS

  1. PENGERTIAN EPISTIMOLOGI DALAM SAINS
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia. Epistimologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistimologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam epistimologi berkisar pada masalah: asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan keniscayaanm hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, kemungkinan skeptisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi baru mengenai dunia. Semua persoalan tersebut diatas terkait dengan persoalan-persoalan penting filsafat lainnya seperti: kodrat kebenaran, kodrat pengalaman dan makan.  
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan  dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun. Nanti ,tatkala ia 40 tahunan, pengetahuannya banyak sekali sementara kawannya yang berumur dengan dia mungkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak daripada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu ? mengapa dapat juga berbeda tingkat akurasinya ? Hal-hal semacam ini di bicarakan didalam epistemologi.
Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, strcture,methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854 (runes, 1971:94).
Menurut DW. Hamlyn, sebagimana yang dikutip Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu, epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Menurut Waryani Fajar Riyanto, filsafat ilmu sendiri adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau juga disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni :epistemology dan ontology (onbeing, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.

  1. PENGERTIAN SAINS (ILMU)
Kata “’ilm” merupakan terjemahan dari kata “science” yang secara etimologis berasal dari kata latin “scienre” artinya “to know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.
Menurut  Waryani Fajar Riyanto, istilah ‘ilm dalam tradisi Islam dan science dalam tradisi barat tidaklah identik. Istilah “sains” atau (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia barat sejak beberapa abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatar belakangi kebiasaan bahasa Inggris modern-berbeda dengan kebanyakan bahasa lain-untuk membedakan science, sebagai istilah yang di pakai untuk ilmu pengetahuan alam atau “ekstra” (pasti) ,dari berbagai cabang pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dikutip Amsal Bakhtiar, ilmu disamakan dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya, kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab ilm.
Dari berbagai pengertian tentang ilmu, pada dasarnya ilmu adalah sebuah pengetahuan yang digunakan untuk mengantarkan pada objek pengetahuan itu sendiri. Adapun objek pengetahuan itu bisa berwujud fisik atau metafisik, jasad atau ruhani, abstrak atau konkrit.

  1. CARA MEMPEROLEH SAINS
Ada beberapa cara dan sekaligus tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat kita cermati sebagai berikut :
  1. Menggunakan akal
Akal dapat dijadikan sebagai alat untuk berpikir secara logis untuk memperoleh ilmu.
  1. Berdasarkan empirik
Untuk mengatasi kelemahan rasional,disamping logis, maka diperlukan bukti empirik, bukti empirik merupakan fakta yang dapat di indra, baik dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan atau yang lainnya. Contoh: rasio orang awam susah memahami adanya ilmu santet, tapi kenyataannya ada, dan dapat dibuktikan.
  1. Terukur
Mengingat empirik baru pada batasan umum,yakni menyangkut misalnya : besar, sedang, dan kecil, atau dingin, hangat, dan panas. Pada pengkategorian tersebut belum ada ukuran seberapa besar dan panasnya. Untuk itu tentu diperlukan ukurannya, berapa drajat panasnya, berapa mili meter besarnya, dan sebagainya. Inilah sumbangan aliran positivisme yang menyatakan: ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya, dan yang terukur. Tapi bagaimana cara mengukurnya agar didapat simpulan yang akurat atau paling tidak mendekati ?.
  1. Metode ilmiah
Metode ilmiah menyatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar, maka sekali lagi di tegaskan –lakukan langkah sebagai berikut : logico-hypphothetico-verificatif,yang berarti: buktikan bahwa itu logis, selanjutnya ajukan hipotesis tersebut secara empiris. Secara rinci dan operasional, metode ilmiah dijelaskan oleh bidang ilmu yang disebut metode riset atau metode penelitian yang menghasilkan model-model penelitian dari hasil operasional , model-model peneletian inilah yang menghasilkan berbagai teori dan ilmu pengetahuan.

  1. MENGUKUR KEBENARAN ILMU
Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori, karena isi dari ilmu adalah teori-teori. Pada awalnya kita mengajukan hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji secara logika, contoh: “Ketika datang hari raya idul fitri, kebutuhan masyarakat Indonesia secara umum terhadap sandang dan pangan akan meningkat”. Menurut teori bahkan hukum ekonomi (penawaran dan permintaan), hipotesis ini lebih cenderung benar, karena itu tentu akan ada pihak-pihak yang berkesempatan untuk meraih keuntungan yang banyak. Secara uji logika , momentum idul fitri akan meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok, menjadi suatu hal yang rasional, dan luluslah ia.
Untuk meyakinkannya maka adakan peninjauan ke pasar-pasar dan tanyakan pada para pedagang dan pembeli tentang perkembangan harga-harga tersebut. Bila ternyata benar, uji empiris atau pengalaman lapangan menunjukan demikian, maka hipotesis secara logika dan empirik benar adanya, kemudian menjadi teori. Dan jika demikian terjadi pada setiap moment idul fitri, maka teori meningkat menjadi hukum atau aksioma.
Dengan demikian hipotesis yang kita rumuskan hendaknya telah mengandung kebenaran secara logika, sehingga kelanjutannya tinggal kebenaran empirisnyalah yang perlu dibuktikan. 

  1. PROBLEMATIKA EPISTEMOLOGI SAINS DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan,  jika memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam meyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan cara, proses, dan prosedur bagaimana ilmu itu diperoleh. Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang.
Pendekatan epistemologi diperlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Inilah yang menjadi persoalan epistimologis dalam memahami sains atau kauniyah Tuhan.
Bisa dipastikan bahwa jika pendekatan epistemologi ini benar-benar diimplementasikan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, maka dalam waktu dekat, insyaAllahsiswa dapat memiliki kemampuan memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. Jika pendidikan Islam mengedepankan pendekatan epistemologi dalam proses belajar mengajar, maka pendidikan Islam akan banyak membuahkan lulusan-lulusan yang berjiwa peneliti, enterpreneur, penemu, penggali, dan pengembang ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis dan problematika yang sangat komplek, yaitu:
  1. Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan konservatif, hal ini wajar karena orang memandang bahwa kegiatan pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan metodologis pembelajaran yang cenderung tidak menarik perhatian dan memberdayakan.
  2. Pendidikan Islam terasa kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi suatu “makna dan nilai” yang perlu di internalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, media dan forum.
  3. Metodologi pengajaran agama berjalan secara konvensional-tradisional, yakni menitik beratkan pada aspek korespondensi-tekstual yang lebih menekankan yang sudah ada pada kemampuan anak didik untuk menghafal teks-teks keagamaan daripada isu-isu sosial keagamaan yang dihadapi pada era modern seperti kriminalitas, kesenjangan sosial dan lain lain.
  4. Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat statis indoktrinatif-doktriner.

  1. SOLUSI ALTERNATIF EPISTEMOLOGI SAINS DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Persoalan epistimologis yang sering muncul dalam memahami sains atau kauniyah Tuhan adalah ada pada proses belajar mengajar. Belajar bisa membuat orang menjadi pintar dan cerdas, akan tetapi terkadang tidak bisa menggunakanya pada hal-hal yang bermanfaat. Justru digunakan untuk hal-hal yang merusak nilai-nilai sosial atau ruhani. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi. Adapun langkah yang tepat untuk mengatasi hal tersebut adalah:
  1. Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai. Ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu, itulah sebabnya diperlukan adanya pencerahan dan mengupayakan integralisasi keilmuan.
  2. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.
  3. Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma ideologis ini -karena otoritasnya-dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, menemukan, ilmu pengetahuan (ayat kauniyah). . Pradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler. Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah.
  4. Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap ayat qouliyah atau naqliyah (al-qur’an dan sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komperhensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, spikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris.
  5. Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada perumbuhan yang integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu menghasilkan manusia paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada Al-Qur’an.
  6. Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan.
  7. Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi kompetensi personal, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Sehingga dengan pemenuhan kompetensi inilah, seorang tenaga pendidik mampu menemukan metode yang diharapkan sebagaimana harapan dalam kajian epistemologis.

PENUTUP

Dari penjelasan diatas dapat diambil benang mereah tentang ontologi ilmu, bahwa sains pada hakikatnya ilmu yang bersifat rasional-empiris atau teori ilmiah yang dapat dibuktikan dengan pertautannya antara sebab dan akibat, jadi sains penyelidikannya melalui riset. oleh karena rasional-empiris tersebut maka struktur sains, secara garis besar  terbagi menjadi dua, yakni ilmu tentang kealaman dan ilmu tentang sosial.
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan  dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Adapun tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan adalah: a)  Menggunakan akal, b) Berdasarkan empirik, c) Terukur, d) Metode ilmiah. Kemudian perlu diuji pengetahuan itu dengan cara mengukur kebenaran ilmu, yang pada intinya kita mengukur kebenaran teori, karena isi dari ilmu adalah teori-teori.
Secara ontologis terjadi kesenjangan antara fakta dan realita terhadap metode, kurikulum dan teknik dalam pendidikan Islam. Solusi yang tepat unutuk mengatasi hal ini adalah memberi pembelajaran kepada peserta didik untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta berkaitan dengan pelajaran yang memanipulasi benda-benda dan materi-materi kerja.
Secara epistimologis proses belajar mengajar adalah suatu cara baik untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, akan tetapi terkadang menjadi ironi ketika disalahgunakan untuk melakukan hal-hal yang menyimpang. Solusi yang tepat agar tidak terjadi hal yang demikian adalah melakukan tindakan-tindakan yang bernuansas nilai-nilai social maupun rohani.


DAFTAR PUSTAKA

Esha, Muhammad In’am. Institusional Transpormation, Reformasi dan Modernisasi Pendidikan Tinggi Islam. Malang: UIN-Malang Press.
Rahmat, Aceng. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana. 2011.
Qomar, Mujamil. Epistimolgi Pendidikan islam, Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. 2012.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2010.
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu, Ontologi Epistimologi Aksiologi dan logika ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum.  Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004.
Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Operasionalnya. Bandung: Trigenda karya. 1993.
Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan/ Bandung: Refika Aditama. 2011.
Mujtahid. Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih Paradigma Unggul. Malang: UIN-Maliki Press. 2011.
Rahardjo, Mudjia. Filsafat Ilmu. Malang: UIN Malang Press. 2009.
Sutrisno. Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Fadilatama. 2011.
Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010.
Maifur. Filsafat Ilmu. Bandung: CV.Bintang WarliArtika. 2008.
Riyanto, Waryani Fajar.  Filsafat Ilmu Integral [FIT]. Yogyakarta. 2012.
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT.Bumi Aksara. 2008.
Zaini, Syahminan. Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 1986.
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1995.

Title : PROBLEMATIKA ONTOLOGI DAN EPISTIMOLOGI DALAM SAINS
Description : PENDAHULUAN Cabang  filsafat yang tidak bisa ditinggalkan untuk mengetahui haikat pengetahuan adalah ontologi dan epistimologi. Ontolo...

0 Response to "PROBLEMATIKA ONTOLOGI DAN EPISTIMOLOGI DALAM SAINS"

Contact me

Isi Pesan*

*wajib diisi

Gadget