GUDANG MAKALAH

Monday, 11 August 2014

MEMBUMIKAN NILAI-NILAI SUFISTIK DALAM BERBISNIS





A.      PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan besar yang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini adalah permasalahan di bidang ekonomi. Semenjak Indonesia mengalami krisis moneter pada pertengahan 1997, saat ini kelihatannya belum nampak tanda-tanda adanya pemulihan (recovery) ke arah yang lebih baik. Berbagai problematika ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia seperti pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan lain sebagainya masih saja menjadi persoalan kebangsaan setiap tahunnya. Dan ini dapat menjadi salah satu indikator lemahnya kondisi ekonomi bangsa. Padahal salah satu indikasi kemajuan peradaban manusia di antaranya ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan juga ekonomi. Semakin maju perkembangan suatu masyarakat dan bangsa, maka semakin maju pula kehidupan ekonominya. Sebaliknya, semakin merosot perkembangan ekonomi suatu bangsa, maka semakin merosot pula kehidupan bangsa itu.

Bisa dikatakan bahwa bisnis atau ekonomi –meminjam istilah Murtadha Muthahhari- merupakan faktor penggerak sejarah.[1] Menurutnya, semua ragam masyarakat dan sejarah suatu bangsa termasuk segi-segi budaya, politik, agama, militer, dan masyarakat mencerminkan ragam dan hubungan-hubungan produksi suatu masyarakat. Indonesia saat ini misalnya dikatakan terpuruk, karena kehidupan ekonomi dan bisnisnya mengalami kemorosatan sejak pertengahan 1997. Berdasarkan data yang dipublikasikan BPS, dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia (hasil sensus penduduk 2010), sekitar 29,89 juta jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tentunya angka tersebut semakin bertambah setiap tahunnya. Ditambah lagi, dari dari total 107,7 juta angkatan kerja (mereka yang berumur > 15 tahun dan giat secara ekonomi) di Indonesia terdapat 2,8 juta pengangguran.[2] Hal tersebut menjadikan Indonesia semakin jauh untuk mewujudkan cita-citanya menjadi sebuah Negara yang adil, makmur dan sejahtera. 

Kondisi ekonomi Indonesia yang carut marut tersebut tentunya akan berdampak pada masalah yang sangat serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa. Hal ini diindikasikan dengan melambungnya harga barang-barang kebutuhan, inflasi yang tinggi, membengkaknya jumlah pengangguran dan kemiskinan yang berujung pada meningkatnya tingkat kriminalitas (korupsi, perampokan, pencurian, penipuan, pembunuhan dll.) merupakan sebuah pemandangan nyata yang kita saksikan di negeri Indonesia. Ironis memang, sebuah negeri yang kaya dengan sumber daya alam harus mengalami kisah seperti ini. 

Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung berbagai tindak kriminal tersebut dan menghindarkan umat manusia dari kecenderungan berkhianat, menyimpang dan berdusta. Nasihat agama sepertinya tak berbekas, para tokoh agama kehilangan wibawa, moral dan ritual ibadah juga ’mandul’ dan tidak memberi pengaruh pada perilaku keseharian. Seharusnya setiap ibadah mampu mampu merubah perilaku dan mental yang lebih baik. Sebagaimana yang dipesankan Allah melalui ayatNya tentang shalat:

”Sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al-’Ankabut/29: 45)

Beribu-ribu umat Islam baik pegawai negeri maupun karyawan swasta menunaikan shalat bahkan hampir seluruh masjid perkantoran dan perindustrian. Tiap waktu shalat tidak pernah sepi dari jamaah, acara kerohanian yang berupa kajian agama, dzikir berjamaah, istighosah, renungan dan mabit mereka lakukan, namun catatan kejahatan agama, moral dan kemanusiaan tetap saja tidak berkurang. Aksi kriminalitas sosial dan agama makin marak, bahkan korupsi, kolusi, suap, sogok (risywah), pungli, dan money politics, termasuk penyelundupan, illegal loging (pembalakan liar), illegal fishing (pencurian ikan), illegal mining (penambangan liar) makin subur.

Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja bila bangsa ini ingin menjadi bangsa yang beradab. Keadaan seperti ini harus dicari akar permasalahannya. Persoalan yang pelik ini bukan saja menjadi tanggungjawab negara dan pemerintah sebagai pengayom masyarakat an sich, tetapi juga keharusan bagi kita sebagai masyarakat—maka segenap bangsa Indonesia harus dapat memulihkan kembali kehidupan ekonomi dan bisnisnya dengan turut berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan, pembukaan kesempatan kerja, dan peningkatan kualitas masyarakat yang melek teknologi dan informasi (IT Literacy) bila bangsa ini ingin menjadi suatu bangsa yang disegani, dihormati dan bermartabat.

Dengan demikian, perkembangan bisnis merupakan indikator kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Sebagai bangsa yang ingin maju tentu saja kita berharap kehidupan bisnis di negeri ini dapat segera pulih dan bergariah kembali. Kegairahan kehidupan bisnis akan membawa keuntungan semua pihak yang terlibat, seperti produsen, distributor, pemasok, karyawan, konsumen, perbankan, pemerintahan dan masyarakat luas.[3]  

B.       ETIKA BERBISNIS DALAM ISLAM
Berbicara masalah etika, maka tidak bisa dilepaskan dari tingkah laku keseharian yang biasa kita kerjakan. Hal ini cukup beralasan mengingat etika merupakan perangkat aturan yang berisi tentang nilai-nilia moral (kebaikan) yang penting untuk difahami dan diaplikasikan dalam setiap aktivitas sehari-hari. Etika senantiasa berhubungan dengan boleh dan tidaknya sesuatu harus dikerjakan atau dijalankan. Dalam lingkungan masyarakat, kita acapkali mendengar bahkan menyaksikan sendiri, bahwa seseorang akan dianggap tidak memiliki etika manakala seseorang tersebut memerankan atau melakukan sesuatu yang tidak lazim, atau dalam pengertian yang lebih detail adalah dianggap bertentangan dengan asas kepantasan umum seperti melanggar norma dan sejenisnya. Masyarakat akan menilai bahwa sesuatu yang dilakukan seseorang adalah tidak baik atau tidak pantas dan sebutan sejenisnya tatkala masyarakat menganggap bahwa apa yang dilakukan seseorang tersebut dinilai keluar dari norma dan tradisi yang umum berlaku di masyarakat setempat. Oleh karena itu, etika menjadi penting sebagai guideline yang harus difahami manusia dalam kaitannya dengan aktivitias yang mereka lakukan.

Bisnis merupakan salah satu di antara sekian cara untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebagaian pakar—seperti dikutip Quraish Shihab—mendefinisikan bisnis atau ilmu ekonomi sebagai “ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya.[4][4] Pendorong bagi kegiatan ini adalah kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak mungkin diperolehnya secara mandiri. Selama ini tidak sedikit orang yang memahami bisnis adalah bisnis, yang tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, dan ini memang dibenarkan dalam Islam. Karena dilakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). 

Prinsip ekonomi klasik yang mengendalikan modal sekecil mungkin dan mengeruk keuntungan sebesar mungkin ternyata telah menjadikan para ‘pelaku bisnis’ menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan, mulai dari cara memperoleh bahan baku, bahan yang digunakan, tempat produksi, tenaga kerja, pengelolaannya, dan pemasarannya dilakukan seefektif dan seefisien mungkin. Hal ini tidak mengherankan jika para pelaku bisnis jarang memperhatikan tanggung jawab sosial dan mengabaikan etika bisnis.

Etika bisnis dalam studi Islam selama ini kajiannya didasarkan pada Al-Qur’an. Faisal Badroen mendeskripsikan etika bisnis sebagai seperangkat nilai baik, buruk, salah, dan benar dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas.[5] [5] Menurutnya, etika bisnis mempunyai prinsip dan norma di mana para pelaku bisnis harus komit padanya dalam bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna mencapai tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat. Etika bisnis dapat berarti juga etika manajerial atau etika organisasional yang disepakati oleh sebuah perusahaan. Etika bisnis juga dapat diartikan sebagai pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yakni refleksi tentang perbuatan baik, buruk, benar dan salah, terpuji, tercela, wajar, tidak wajar, pantas, tidak pantas dari perilaku seseorang dalam berbisnis atau bekerja.[6][6]
 
Senada dengan ini, Muhammad Saifullah, mendefinisikan etika bisnis sebagai seperangkat prinsip-prinsip etika yang membedakan yang baik dan yang buruk, harus, benar dan salah dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan seseorang untuk mengaplikasikannya atas apa saja dalam dunia bisnis.[7][7]
 
Dalam pandangan Islam, setiap orang yang akan melakukan bisnis, apalagi dia orang yang beriman, maka haruslah memperhatikan aturan ataupun etika yang terdapat dalam Islam. Seorang mukmin yang berbisnis janganlah sampai melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syariat. Menurut Rahmat Hanna, Rasulullah banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah[8] [8]; pertama, prinsip esensial dalam bisnis ialah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Beliau bersabda: 

“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya.” (HR. Quzwani)

Kejujuran Nabi Muhammad dalam bertransaksi dilakukan dengan cara menyampaikan kondisi riil barang dagangannya. Ia tidak menyembunyikan kecacatan barang atau mengunggulkan barang dagangannya, kecuali sesuai dengan kondisi barang yang dijualnya. Praktek ini dilakukan dengan cara yang wajar dan dengan bahasa yang santun. Beliau tidak menggunakan sumpah untuk meyakinkan apa yang dikatakannya, termasuk menggunakan nama Tuhan. 

Kedua, ta’awun (tolong-menolong). Dalam Islam, berbisnis tidak hanya mengejar keuntungan saja (profit oriented), tapi juga harus memperhatikan sikap ta’awun (tolong-menolong) antar sesama sebagai implikasi sosial bisnis. Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis. Nabi bersabda: 

“Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah.” (HR. Bukhari)

 Keempat, bisnis dilakukan atas dasar suka rela atau tanpa paksaan. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (Q.S. Annisa: 29).
Dan kelima, bisnis dalam Islam harus bersih dari unsur riba. Allah jelaskan dalam ayat-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)

Sementara menurut M. Quraish Shihab paling tidak dalam Islam ada empat prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam setiap aktivitasnya, termasuk di dalamnya adalah aktivitas bisnis.[9][9] Keempat prinsip pokok tersebut ialah tauhid, keseimbangan, kehendak bebas dan tanggung jawab.

Menurutnya, prinsip tauhid akan mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi (bisnis) untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagiannya) kepada yang membutuhkan. Allah berfirman:

“Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya kepada kamu.” (QS. Annur: 33)

Dalam pandangan Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Allah. Jika diamati, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Allah. Di samping itu, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga partisipasi orang lain atau masyarakat. Makanya wajar, jika Allah memerintahkan manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang ada di genggaman tangannya demi kepentingan masyarakat umum. 

Banyak ayat Al-Qur’an maupun hadis yang mendorong umat Islam untuk mengembangkan harta dengan semangat etos kerja yang tinggi guna memperoleh harta kekayaan secara halal. 

Dorongan utama seorang muslim untuk bekerja adalah bahwa aktivitas yang dilakukan guna memperoleh harta, dalam pandangan Islam merupakan bagian dari ibadah. Karena termasuk nilai ibadah tersebutlah, maka aktivitas perolehan harta yang dilakukan haruslah dengan prinsip kehati-hatian sehingga terlepas dari perihal perbuatan yang dapat merugikan orang lain dan usaha yang haram, semisal adanya unsur riba, (Al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang dilarang, atau haram (Al-Maidah: 90-91), mencuri, merampok, penggosoban (Al-Maidah: 38), curang dalam takaran atau timbangan (Al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah: 188), dan melalui suap menyuap.[10][10] Di samping itu juga, usaha perolehan harta yang dilakukan tidak menyebabkan pelakunya menjadi lalai akan kewjiban-kewajiban syar’i yang lain, misalnya melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya) (Al-Munafikun: 9), melupakan shalat dan zakat (an-Nur: 37), serta kewajiban-kewajiban lainnya terkait hubungan yang bersifat transenden maupun kehidupan sosial.[11][11]
 
Prinsip tauhid, menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar para pelaku bisnis untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal dan abadi. Prinsip tauhid juga mengantarkan para pelaku bisnis untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Seorang pedagang yang melakukan shalat secara khusyuk misalnya, maka setelah selesai shalat ia akan mendapatkan pencerahan rohani dan intelektual yang sangat dahsyat dan akan menjadi pemicu meningkatkan etos kerjanya secara islami demi mengejar rezeki Tuhan.[12][12] (QS. Al-Jumu’ah : 9-10)

Prinsip keseimbangan mengantarkan kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Allah menjelaskan melalui firman-Nya:
“Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Dari sini juga datang pemahaman tentang larang penimbunan dan pemborosan. Nabi bersabda:
“Barang siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah juga berlepas diri darinya.” (HR. Abu Daud)
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota masyarakat. 

Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia (pelaku bisnis) demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif.

Dalam perkembangannya etika bisnis dipengaruhi oleh setidaknya tiga hal, yaitu filsafat, kebudayaan dan agama. Pengaruh filsafat terhadap etika bisnis sangat besar, karena etika itu merupakan bagian dari filsafat. Kebudayaan juga berpengaruh dalam etika bisnis, karena pelaku bisnis biasanya memiliki kebudayaan tertentu, termasuk di bidang bisnis. Lalu agama berpengaruh pula dalam etika bisnis, terutama bagi pelaku bisnis yang beragama. Kalau pelaku bisnis itu beragama Islam, maka etika bisnis Islam tentu berpengaruh pada kehidupan bisnis mereka.[13][13]


C.      BISNIS DAN TASAWUF
Etika bisnis dalam Islam dipengaruhi oleh tasawuf, suatu ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagi orang untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Sebab untuk mendekatkan diri dengan Allah orang Islam harus menjauhi akhlak yang tercela dan mengamalkan akhlak yang terpuji. Dalam tasawuf orang harus lebih dahulu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela, kemudian mengisi dirinya dengan akhlak yang terpuji.[14][14]

Tasawuf juga menghendaki pelaksanaan syariat, sebab tasawuf dan syariat tidak boleh dipisahkan satu sama lain, apalagi dipertentangkan. Seperti yang dikatakan Imam Malik, “Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat.”
Tasawuf merupakan aspek esoteric (batiniah), sedang syariat adalah aspek eksoteris (lahiriyah) Islam. Kedua aspek Islam ini saling terintegrasi. Karena itu, orang Islam yang bersyariat harus mengamalkan tasawuf. Sebaliknya orang yang bertasawuf harus pula melaksanakan syariat. Dalam syariat terdapat ajaran tentang hubungan sesama manusia di segala bidang kehidupan, termasuk bisnis.

Hubungan antara tasawuf, syariat dan bisnis melahirkan etika usaha dalam Islam. Etika usaha terlihat dalam praktik bisnis, seperti investasi, produksi, distribusi, promosi, konsumsi, dan hubungan karyawan dengan perusahaan. Penerapan etika bisnis Islam juga terlihat pada penanganan krisis ekonomi, hubungan bisnis internasional, dan krisis lingkungan hidup.[15][15]
 
Kahf seperti dikutip Tarigan mendefinisikan kegiatan produksi sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hiduap sebagaimana yang digariskan dalam agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan kata lain, produksi dalam Islam tidak semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan belaka seperti yang terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis. Dalam perspektif Islam, yang paling utama tampaknya adalah pada hal kemanfaatan. Bagaimana barang atau jasa yang dihasilkan dapat melahirkan sebesar-besarnya manfaat bagi kemanusiaan.[16][16] Sedangkan tujuan distribusi adalah mempertemukan kepentingan konsumen dan produsen dengan tujuan kemaslahtan umat. Ketika konsumen dan produsen memiliki motif utama yaitu memenuhi kebutuhan maka distribusi sepatutnya melayani kepentingan ini dan memperlancar segala usaha menuju pencapaian tersebut.[17][17]

Distribusi barang-barang haram menurut agama Allah pasti tidak akan membawa berkah bagi kesejahteraan masyarakat, bahkan sebaliknya berjalan dengan kehancuran. Amerika yang disebut sebagai Negara adidaya misalnya, dalam system pertahanannya ternyata tidak sanggup untuk menahan laju kehancuran masyarakatnya melalui permabukan (lewat alcohol), kehilangan kesadaran (lewat narkoba), obesitas (kegemukan, lewat lemak  babi dan pola makan yang tamak), nasab keluarga yang tidak jelas (lewat free sex), tingginya angka bunuh diri dan kriminalitas (material oriented), dan sebagainya.[18] [18] Berbagai pola telah dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, namun tampaknya tidak ada satupun yang efektif karena sudah menjadi perilaku kehidupan mayoritas masyarakatnya. Mengapa ? karena tidak ada kontrol agama yang berperan dalam dinamika sosial masyarakatnya. Sekalipun agama Nasrani menjadi agama utama penduduknya, namun ajaran tersebut terbatas dalam tembok gereja dan peribadatan formal, sedangkan tatanan kemasyarakatan dianggap berada di luar jangkauan agama.

Islam mengatur perdagangan, dan perilaku masyarakat yang mengharamkan khamr, daging babi, narkoba, pelacuran, dan sebagainya; secara empiris bagi Negara yang benar-benar melaksanakannya maka akan terhindar dari gangguan orang mabuk di jalan, ketularan penyakit menular lewat perzinahan, dan seterusnya. Pejabat yang dengan kewanangannya telah menghambat laju keruntuhan suatu bangsa dengan beribadah melalui pemberlakuan software Islami yakni aturan sosial Islam ke masyarakat, jauh lebih berjasa jika dibandingkan dengan ahli ibadah formal dalam masjid atau seorang syuhada dalam medan perang. Karena dampak sosialnya yang jauh lebih luas dan penyelamatan kehormatan dan jiwa manusia yang demikian banyak.[19][19]

Untuk mencapai arah tersebut, tentunya seorang pejabat juga harus melalui pintu masuk yang benar untuk menduduki posisinya, karena bagi seorang mujahid (pembela kebenaran Allah) bukan jabatannya yang dikejar, namun bagaimana jabatan tersebut akan digunakan. Allah menuntun kita ke arah demikian supaya kita tetap tabah dalam berjuang melalui firman-Nya (Al-Isra: 80-81) kekuasaan yang didapat melalui pintu masuk yang benar, pasti akan menumbuhkan keberanian yang luar biasa bagi pejabat tersebut untuk mengoperasikan konsepsi Ilahiah dalam masa jabatannya, karena ia senantiasa berada dalam kontrol Tuhannya.[20][20]

Suatu perdagangan akan memenuhi standar Ilahiah bila terdapat beberapa ketentuan berikut; jelas barangnya (azas keterbukaan), jelas kuantitasnya, suka sama suka (bukan tipu daya), dan tidak mencari keuntungan berlebihan (nilainya relative dan sangat tergantung kondisi masyarakat).
Keterlibatan Negara
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen dengan cara membuat aturan dan sanksinya serta eksekusi dari sanksi tersebut. Mereka bisa menuntut ganti rugi terhadap produsen barang yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Seorang negarawan atau pejabat yang berkuasa untuk membuat undang-undang atau peraturan hendaknya menyadari bahwa dalam hal perdagangan terdapat pintu masuk untuk melakukan amal shaleh atau peribadatan sosial yang dampak sosial dan politiknya sangat luas, baik bagi kemaslahatan umat maupun pembelaan terhadap berjalannya aturan Allah di permukaan bumi. Distribusi barang-barang haram menurut agama Allah tidak akan membawa berkah bagi kesejahteraan masyarakat.

D.      PENTINGNYA ETIKA DALAM BISNIS
Selain kita berhubungan dengan manusia (hablum minannas) kita juga harus menjalin hubungan dengan Sang Khaliq (hablum minallah), sehingga dalam setiap tindakan kita merasa ada yang mengawasi yakni Allah SWT. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena bisnis dalam Islam tidak semata – mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.

Mencermati secara mendalam terhadap makna etika bisnis, maka pendekatan ini sangat krusial dalam perkembangan dunia ekonomi mengingat sudah banyak fakta membuktikan bahwa pelaksanaan hukum ekonomi dalam dunia usaha acapkali tidak mengindahkan pentingnya penerapan etika. Dan peraturan hukum semata tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadinya perbuatan curang yang merugikan dalam kegiatan bisnis. Sebagai buatan manusia peraturan hukum mengandung kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam bisnis untuk meraih keuntungan sendiri walaupun konsekuensinya menimbulkan kerugian di pihak lain. Karena itu, selain peraturan hukum diperlukan perangkat lain yang bisa mencegah pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis untuk berbuat curang. Perangkat itu adalah etika. Etika dapat mencegah orang berbuat curang, karena bersumber dari hati nurani. Perbuatan yang baik dan yang buruk dapat dirasakan oleh hati nurani.[21][21]
 
Fakta ini umumnya dipengaruhi oleh prinsip ekonomi yang bebas nilai. Argumentasi ini diperkuat dengan asumsi bahwa pasar yang kompetitif tidak akan pernah menjadikan aspek moral sebagai pertimbangan penting, melainkan aspek produksi dan efisiensilah yang menjadi aspek krusial. Di sini pengusaha atau para pemilik modal dituntut tidak sekedar harus mempunyai komitmen untuk menjalankan bisnisnya sesuai dengan aturan main yang ada, akan tetapi mempunyai tanggungjawab moral dan sosial terhadap lingkungan kerja dan sekitarnya. Lebih tepatnya, usaha yang dikembangkan pelaku usaha dalam bidang apa pun tidak serta merta hanya memikirkan keuntungan semata, melainkan bisa membawa nilai manfaat bagi pekerja dan masyarakat.

Peraturan dan etika itulah, menurut Quraish Shihab, yang membedakan antara ekonomi yang dianjurkan oleh Al-Qur’an dengan ekonomi lainnya.[22][22]

Harus diakui bahwa Al-Qur’an tidak menyajikan rincian, tetapi mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)nya saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka operasionalisasinya.

E.       LANDASAN SUFISTIK
Esensi agama Islam adalah moral[23][23], yakni moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara seorang dengan dirinya, antara dia dengan orang lain, termasuk anggota masyarakat dengan lingkungannya. Moral yang terjalin antara seorang hamba dengan Tuhannya menegasikan berbagai moral yang buruk, seperti tamak, rakus, gila harta menindas, mengabdikan diri kepada selain Khaliq, membiarkan orang lain yang lemah atau berkhianat. Sementara moral seseorang dengan dirinya melahirkan tindakasn positif dalam dirinya, seperti menjaga kesehatan jiwa dan raga, menjaga fitrah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruh dan jasmaninya. Adapun moral terhadap orang lain atau anggota masyarakat akan melahirkan keharmonisan, kedamaian dan keselarasan dalam hidup yang dapat mencegah, mengobati berbagai krisis spiritual moral dan budaya.

Sejalan dengan itu, Mustafa Zuhri menekankan bahwa ajaran-ajaran tasawuf membahas berbagai persoalan yang bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu’, tawadhu’, muraqabah, mujahadah, zuhud, sabar, ridha, tawakkal, dan seluruh sifat yang terpuji yang berjalan dengan hati. Menurutnya, sasaran tasawuf ialah akhlak dan budi pekerti yang baik yang berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah.[24][24]
 
Tasawuf yang ajarannya mengenai moral/akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal.[25][25] Menurut Ibnu Khaldun seperti dikutip Ali Yafie, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan beribadah, konstentrasi tujuan hidup menuju Allah untuk mendapatkan ridha-Nya, dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya. [26] 26]
 
Ajaran yang terdapat dalam tasawuf, menurut Amin Syukur, meliputi takhalli, yaitu penyucian diri dari sifat-sifat tercela, yang dilakukan dengan penghayatan, keimanan dan ibadah, latihan sungguh-sungguh terhadap nafs dan muhasabah.  Kemudian tahalli, yaitu menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap perbuatan terpuji, dan tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi (Cahaya Tuhan), atau terbukanya hijab serta mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan pada diri manusia.[27] [27]

Ada beberapa nilai moral dalam konsep kerja dan bisnis Islam dalam perspektif tasawuf yang dapat diterjemahkan dalam bentuk aplikasi etos kerja, yakni: pertama, adanya keimanan atau keyakinan bahwa tujuan manusia dalam melakukan pekerjaan adalah beribadah kepada Allah dan memakmurkan kehidupan dengan mengelola bumi beserta isinya. Allah menjelaskan dalam firman-Nya:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-57)

Kedua, bahwa kerja adalah usaha untuk mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jiwa dan jasmani (QS. Al-Qashash: 77). Menurut Hamka, keseimbangan antara jiwa dan jasmani adalah suatu  yang mutlak. Kalau jiwa dalam kondisi sehat, maka dengan sendirinya akan terpancar bayangan kesehatan pada mata yang darinya memancar nur yang gemilang timbul dari sukma yang tiada sakit. Demikian juga kesehatan badan yang akan membukakan pikiran, kecerdasan akal, menyebabkan kebersihan jiwa seseorang. Menurutnya, pengendalian diri terhadap timbulnya sakit jiwa dan badan diperlukan pemeliharaan kesehatan yang berupa: bergaul dengan orang-orang yang beriman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan syahwat dan marah, bekerja dengan teratur dan menimbang sebelum mengerjakan, serta mengoreksi aib sendiri.[28] [28]
 
Ketiga, bahwa bekerja keras adalah untuk mendapatkan rezeki disertai dengan tawakkal dan takwa kepada Allah (QS. Al-Mulk: 15). Keempat, bekerja atau usaha haruslah dilakukan dengan cara yang halal dan menghindari cara yang haram (QS. Al-Maidah: 100). Kelima, bekerja haruslah menghindari cara-cara ribawi (QS. Al-Baqarah: 278-279). Keenam, tidak bekerja sama dengan musuh Islam (QS. At-Taubah: 71). Ketujuh, memiliki keyakinan bahwa seluruh materi di dunia ini hanya milik Allah, seorang manusia hanya bertugas sebagai khalifah (QS. Al-Hadid: 7). Kedelapan, menjaga kepemilikan materi haruslah dilakukan dengan jalan yang halal (QS. An-Nisa: 5). Kesembilan, adanya keharusan memiliki sifat amanah, jujur, dan paham akan segala aspek perdagangan (QS. Al-Baqarah: 117).
Salah satu ajaran yang terdapat dalam tasawuf ialah zuhud. Zuhud selama ini dipahami sebagian orang sebagai sikap anti dunia, atau kehidupan yang jauh dari gemerlapan dunia, kehidupan yang menyepi dari keramaian dan hirup pikuk kesibukan dunia. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. 

Zuhud bukanlah meninggalkan kenikmatan dunia, bukan berarti mengenakan pakaian lusuh, dan bukan berarti miskin. Zuhud juga bukan berarti hanya duduk di masjid, beribadah dan beribadah saja tanpa melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Akan tetapi zuhud merupakan salah satu sikap untuk menjaga jarak dari dunia, artinya kita menjadikan dunia sebagai sarana untuk beribadah, menggapai kebahagiaan di akhirat, dan bukan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Zuhud adalah hilangnya ketergantungan hati terhadap harta, bukan berarti sepi dari harta. Di sini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersediah karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya.[29][29] Karena kehidupan dunia hanyalah sementara, sesuai dengan firman Allah: “Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan teraniaya sedikitpun.” (QS. Annisa: 77). 

Dengan demikian sikap zuhud melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat. Zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam  menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima  apa  yang  telah ada/dimiliki), tawakkal (pasrah kepada Allah Swt.),  wara’   yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar, yakni tabah menerima keadaan dirinya baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya. Yang perlu diketahui bahwa  sifat-sifat itu merupakan bekal menghadapi kenyataan  hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif, seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, ekslusif dan menarik diri dari keramaian dunia, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah, yakni membawa fungsi kekhalifahan,  yang berarti sebagai pengganti Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang   meramaikan dunia ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sikap batin dalam menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjadikan dirinya  lebih baik dari keadaan sekarang.


F.       PENUTUP
Islam mengajarkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan, dan salah satu ragam bekerja adalah berbisnis sebagai usaha atau mata pencaharian (ma’isah) dengan cara dan mekanisme perolehan yang halal dan sesuai dengan aturan main-Nya.
Bila masing-masing pelaku bisnis memperhatikan, memahami dan menyadari serta mengaktualisasikan praktek-praktek bisnis yang berlandaskan pada nilai-nilai esoteris Islam, antara pedagang dan pembeli, antara produsen dan konsumen, antara pemilik modal dan pelaksananya, disertai dengan aturan-aturan hukum yang jelas dan pemahaman tentang etika berbisnis yang terdapat pada diri mereka, maka dapat dipastikan akan tercipta suatu kondisi bangsa yang dijanjikan Allah sebagai “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.” Di samping itu, upaya terealisasinya “Mentasawufkan Indonesia” melalui jalur bisnis atau ekonomi akan bisa terwujud. Wallahu A’lam.
Oleh : Ali Sumitro
baca makalah PSA lainnya :

MORAL, KARAKTER DAN PENDIDIKAN



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam menanggulangi Krisis Spiritual, dalam Amin Syukur dan Abdul Muhaya (Pengantar), Spiritual dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2001
Ali Yafie, Syari’ah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budhy Munawar Rahman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina), 1995
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, Solusi Problem Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2012
-----------------, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1997
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir ayat-ayat ekonomi, sebuah eksplorasi melalui kata-kata kunci dalam al-Qur’an, Cipta Pustaka Media Perintis Bekerjasama dengan Prodi Ekonomi Islam Fakultas Syariah IAIN Sumut, 2012
Hamka, Tasawuf  Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas)  1996
Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja dan Logika Berfikir Islami, (Malang: UIN-Malang Press), 2009
M. Fajar Hidayanto, Etika Bisnis dalam Islam (Book Review Faisal Badroen), Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Vol. I. No. 1, Juli 2007
Muhammad Saifullah, Etika Bisnis Islami, Jurnal Walisongo, Volume 19, No. 1, Mei 2011

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan), Edisi Kedua, 2013
Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, (Bandung: Penerbit Mizan), 1992
Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu), 1976
Rahmat Hanna, Etika Bisnis dalam Islam, Makalah
Sofyan Zefry, Konsep Harta dalam Islam, Kajian terhadap Peran Harta dalam Aktivitas Bisnis Berbasis Syari’ah, Makalah
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Bogor: Penerbit Kencana), 2003




Baca juga makalah Pendidikan Spiritualitas Akhlak :
MORAL, KARAKTER DAN PENDIDIKAN








[1]
[3]
[4]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, Edisi Kedua, 2013, hal. 530
[5]M. Fajar Hidayanto, Etika Bisnis dalam Islam (Book Review Faisal Badroen), Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Vol. I. No. 1, Juli 2007, hal. 145
[6]Ibid.
[7]Muhammad Saifullah, Etika Bisnis Islami, Jurnal Walisongo, Volume 19, No. 1, Mei 2011
[8]Rahmat Hanna, Etika Bisnis dalam Islam, Makalah, hal. 1
[9]M. Quraish Shihab, Op. Cit., hal. 539
[10]Sofyan Zefry, Konsep Harta dalam Islam, Kajian terhadap Peran Harta dalam Aktivitas Bisnis Berbasis Syari’ah, Makalah, hal. 22
[11]Ibid, hal. 23
[12] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja dan Logika Berfikir Islami, UIN-Malang Press, 2009, hal. 36
[13]Sudirman Tebba, Op. Cit., hal. 184
[14]Ibid., hal. 186
[15]Ibid., hal.  187
[16] Azhari Akmal Tarigan, Tafsir ayat-ayat ekonomi, sebuah eksplorasi melalui kata-kata kunci dalam al-Qur’an, Cipta Pustaka Media Perintis Bekerjasama dengan Prodi Ekonomi Islam Fakultas Syariah IAIN Sumut, 2012, hal.179
[17]Ibid., hal. 198
[18] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Op. Cit., hal. 46
[19]Ibid., hal. 47
[20]Ibid
[21]Sudirman Tebba, Op.Cit., hal. 183
[22]M. Quraish Shihab, Op. Cit, hal. 531
[23] Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam menanggulangi Krisis Spiritual, dalam Amin Syukur dan Abdul Muhaya (Pengantar), Spiritual dan Krisis, Pustaka Pelajar, 2001, Yogyakarta, hal. 23
[24]Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, 1976, Surabaya, hal. 143
[25]Ali Yafie, Syari’ah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budhy Munawar Rahman (Editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, 1995, hal. 181
[26]Ibid., hal. 182
[27] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar, 2012,  Yogyakarta, hal. 2
[28]Hamka, Tasawuf  Modern,  Pustaka Panjimas, Jakarta,  1996, hal. 225
[29]Amin Syukur, Tasawuf di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hal. 3



[1] Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, Penerbit Mizan, 1992, Bandung, hal. 210
[2] BPS, Sensus Penduduk 2010
[3] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Penerbit Kencana, Bogor, 2003, hal. 181
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]

No comments:

Post a Comment