A. PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan
besar yang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini adalah permasalahan di bidang
ekonomi. Semenjak Indonesia mengalami krisis moneter pada pertengahan 1997,
saat ini kelihatannya belum nampak tanda-tanda adanya pemulihan (recovery) ke
arah yang lebih baik. Berbagai problematika ekonomi yang dihadapi bangsa
Indonesia seperti pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan lain sebagainya masih
saja menjadi persoalan kebangsaan setiap tahunnya. Dan ini dapat menjadi salah
satu indikator lemahnya kondisi ekonomi bangsa. Padahal salah satu indikasi kemajuan peradaban manusia di antaranya ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan juga ekonomi. Semakin maju perkembangan
suatu masyarakat dan bangsa, maka semakin maju pula kehidupan ekonominya.
Sebaliknya, semakin merosot perkembangan ekonomi suatu bangsa, maka semakin
merosot pula kehidupan bangsa itu.
Bisa dikatakan
bahwa bisnis atau ekonomi –meminjam istilah Murtadha Muthahhari- merupakan
faktor penggerak sejarah.[1] Menurutnya, semua ragam masyarakat dan
sejarah suatu bangsa termasuk segi-segi budaya, politik, agama, militer, dan
masyarakat mencerminkan ragam dan hubungan-hubungan produksi suatu masyarakat.
Indonesia saat ini misalnya dikatakan terpuruk, karena kehidupan ekonomi dan
bisnisnya mengalami kemorosatan sejak pertengahan 1997. Berdasarkan data yang dipublikasikan BPS, dari 237,6
juta jiwa penduduk Indonesia (hasil sensus penduduk 2010), sekitar 29,89 juta
jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tentunya angka tersebut
semakin bertambah setiap tahunnya. Ditambah lagi, dari
dari total 107,7 juta angkatan kerja (mereka yang berumur > 15 tahun dan
giat secara ekonomi) di Indonesia terdapat 2,8 juta pengangguran.[2] Hal tersebut menjadikan Indonesia semakin jauh untuk mewujudkan
cita-citanya menjadi sebuah Negara yang adil, makmur dan sejahtera.
Kondisi ekonomi Indonesia yang carut marut tersebut
tentunya akan berdampak pada masalah yang sangat serius bagi keberlangsungan
kehidupan berbangsa. Hal ini diindikasikan dengan melambungnya harga
barang-barang kebutuhan, inflasi yang tinggi, membengkaknya jumlah pengangguran
dan kemiskinan yang berujung pada meningkatnya tingkat kriminalitas (korupsi,
perampokan, pencurian, penipuan, pembunuhan dll.) merupakan sebuah pemandangan
nyata yang kita saksikan di negeri Indonesia. Ironis memang, sebuah negeri yang
kaya dengan sumber daya alam harus mengalami kisah seperti ini.
Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi
mempan membendung berbagai tindak kriminal tersebut dan menghindarkan umat
manusia dari kecenderungan berkhianat, menyimpang dan berdusta. Nasihat agama
sepertinya tak berbekas, para tokoh agama kehilangan wibawa, moral dan ritual
ibadah juga ’mandul’ dan tidak memberi pengaruh pada perilaku
keseharian. Seharusnya setiap ibadah mampu mampu merubah perilaku dan mental
yang lebih baik. Sebagaimana yang dipesankan Allah melalui ayatNya tentang
shalat:
”Sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al-’Ankabut/29: 45)
Beribu-ribu umat Islam baik pegawai negeri maupun
karyawan swasta menunaikan shalat bahkan hampir seluruh masjid perkantoran dan
perindustrian. Tiap waktu shalat tidak pernah sepi dari jamaah, acara
kerohanian yang berupa kajian agama, dzikir berjamaah, istighosah, renungan dan
mabit mereka lakukan, namun catatan kejahatan agama, moral dan kemanusiaan
tetap saja tidak berkurang. Aksi kriminalitas sosial dan agama makin marak,
bahkan korupsi, kolusi, suap, sogok (risywah), pungli, dan money
politics, termasuk penyelundupan, illegal loging (pembalakan liar), illegal
fishing (pencurian ikan), illegal mining (penambangan liar) makin
subur.
Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja
bila bangsa ini ingin menjadi bangsa yang beradab. Keadaan seperti ini harus
dicari akar permasalahannya. Persoalan yang pelik ini bukan saja menjadi tanggungjawab
negara dan pemerintah sebagai pengayom masyarakat an sich, tetapi juga
keharusan bagi kita sebagai masyarakat—maka segenap bangsa Indonesia harus
dapat memulihkan kembali kehidupan ekonomi dan bisnisnya dengan turut
berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan, pembukaan kesempatan kerja,
dan peningkatan kualitas masyarakat yang melek teknologi dan informasi (IT
Literacy) bila bangsa ini ingin menjadi suatu bangsa yang disegani,
dihormati dan bermartabat.
Dengan demikian, perkembangan bisnis merupakan
indikator kemajuan atau kemunduran suatu bangsa.
Sebagai bangsa yang ingin maju tentu saja kita berharap kehidupan bisnis di
negeri ini dapat segera pulih dan bergariah kembali. Kegairahan kehidupan
bisnis akan membawa keuntungan semua pihak yang terlibat, seperti produsen,
distributor, pemasok, karyawan, konsumen, perbankan, pemerintahan dan
masyarakat luas.[3]
B. ETIKA BERBISNIS DALAM ISLAM
Berbicara masalah etika, maka tidak bisa dilepaskan dari tingkah laku
keseharian yang biasa kita kerjakan. Hal ini cukup beralasan mengingat etika
merupakan perangkat aturan yang berisi tentang nilai-nilia moral (kebaikan)
yang penting untuk difahami dan diaplikasikan dalam setiap aktivitas
sehari-hari. Etika senantiasa berhubungan dengan boleh dan tidaknya sesuatu
harus dikerjakan atau dijalankan. Dalam lingkungan masyarakat, kita acapkali
mendengar bahkan menyaksikan sendiri, bahwa seseorang akan dianggap tidak
memiliki etika manakala seseorang tersebut memerankan atau melakukan sesuatu
yang tidak lazim, atau dalam pengertian yang lebih detail adalah dianggap
bertentangan dengan asas kepantasan umum seperti melanggar norma dan
sejenisnya. Masyarakat akan menilai bahwa sesuatu yang dilakukan seseorang
adalah tidak baik atau tidak pantas dan sebutan sejenisnya tatkala masyarakat
menganggap bahwa apa yang dilakukan seseorang tersebut dinilai keluar dari
norma dan tradisi yang umum berlaku di masyarakat setempat. Oleh karena itu,
etika menjadi penting sebagai guideline yang harus difahami manusia
dalam kaitannya dengan aktivitias yang mereka lakukan.
Bisnis merupakan salah satu di antara sekian cara untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Sebagaian pakar—seperti dikutip Quraish Shihab—mendefinisikan bisnis
atau ilmu ekonomi sebagai “ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan
dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya.[4][4] Pendorong bagi kegiatan ini adalah kebutuhan dan keinginan manusia yang
tidak mungkin diperolehnya secara mandiri. Selama ini tidak sedikit orang yang
memahami bisnis adalah bisnis, yang tujuan utamanya adalah memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya, dan ini memang dibenarkan dalam Islam. Karena
dilakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah
madiyah).
Prinsip ekonomi klasik yang mengendalikan modal sekecil mungkin dan
mengeruk keuntungan sebesar mungkin ternyata telah menjadikan para ‘pelaku
bisnis’ menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan, mulai dari cara
memperoleh bahan baku, bahan yang digunakan, tempat produksi, tenaga kerja,
pengelolaannya, dan pemasarannya dilakukan seefektif dan seefisien mungkin. Hal
ini tidak mengherankan jika para pelaku bisnis jarang memperhatikan tanggung
jawab sosial dan mengabaikan etika bisnis.
Etika bisnis dalam studi Islam selama ini kajiannya didasarkan pada
Al-Qur’an. Faisal Badroen mendeskripsikan etika bisnis sebagai seperangkat nilai
baik, buruk, salah, dan benar dalam dunia bisnis berdasarkan pada
prinsip-prinsip moralitas.[5] [5] Menurutnya, etika bisnis mempunyai prinsip dan norma di mana para pelaku
bisnis harus komit padanya dalam bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna
mencapai tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat. Etika bisnis dapat berarti
juga etika manajerial atau etika organisasional yang disepakati oleh sebuah
perusahaan. Etika bisnis juga dapat diartikan sebagai pemikiran atau refleksi
tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yakni refleksi tentang perbuatan
baik, buruk, benar dan salah, terpuji, tercela, wajar, tidak wajar, pantas,
tidak pantas dari perilaku seseorang dalam berbisnis atau bekerja.[6][6]
Senada dengan ini, Muhammad Saifullah, mendefinisikan etika bisnis sebagai
seperangkat prinsip-prinsip etika yang membedakan yang baik dan yang buruk,
harus, benar dan salah dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan seseorang
untuk mengaplikasikannya atas apa saja dalam dunia bisnis.[7][7]
Dalam pandangan Islam, setiap orang yang akan melakukan bisnis, apalagi dia
orang yang beriman, maka haruslah memperhatikan aturan ataupun etika yang
terdapat dalam Islam. Seorang mukmin yang berbisnis janganlah sampai melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syariat. Menurut Rahmat Hanna,
Rasulullah banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah[8] [8]; pertama, prinsip esensial dalam bisnis ialah kejujuran. Dalam
doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis.
Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Beliau
bersabda:
“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib,
kecuali ia menjelaskan aibnya.” (HR. Quzwani)
Kejujuran Nabi Muhammad dalam bertransaksi dilakukan dengan cara
menyampaikan kondisi riil barang dagangannya. Ia tidak menyembunyikan kecacatan
barang atau mengunggulkan barang dagangannya, kecuali sesuai dengan kondisi barang
yang dijualnya. Praktek ini dilakukan dengan cara yang wajar dan dengan bahasa
yang santun. Beliau tidak menggunakan sumpah untuk meyakinkan apa yang
dikatakannya, termasuk menggunakan nama Tuhan.
Kedua, ta’awun (tolong-menolong). Dalam
Islam, berbisnis tidak hanya mengejar keuntungan saja (profit oriented), tapi
juga harus memperhatikan sikap ta’awun (tolong-menolong) antar sesama sebagai
implikasi sosial bisnis. Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu. Nabi
Muhammad sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam
melakukan transaksi bisnis. Nabi bersabda:
“Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi
hasilnya tidak berkah.” (HR. Bukhari)
Keempat, bisnis dilakukan atas dasar suka rela atau tanpa paksaan.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu.” (Q.S. Annisa: 29).
Dan kelima, bisnis dalam Islam harus bersih dari unsur riba. Allah
jelaskan dalam ayat-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu
beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)
Sementara menurut M. Quraish Shihab paling tidak dalam Islam ada empat
prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam setiap aktivitasnya, termasuk di
dalamnya adalah aktivitas bisnis.[9][9] Keempat prinsip pokok tersebut ialah tauhid, keseimbangan, kehendak bebas
dan tanggung jawab.
Menurutnya, prinsip tauhid akan mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi
(bisnis) untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya
adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar
diberikan (sebagiannya) kepada yang membutuhkan. Allah berfirman:
“Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya
kepada kamu.” (QS. Annur: 33)
Dalam pandangan Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik
Allah. Jika diamati, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atau
harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah
yang telah disiapkan oleh Allah. Di samping itu, keberhasilan para pengusaha
bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga
partisipasi orang lain atau masyarakat. Makanya wajar, jika Allah memerintahkan
manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang ada di genggaman tangannya
demi kepentingan masyarakat umum.
Banyak ayat Al-Qur’an maupun hadis yang mendorong umat Islam untuk
mengembangkan harta dengan semangat etos kerja yang tinggi guna memperoleh
harta kekayaan secara halal.
Dorongan utama seorang muslim untuk bekerja adalah bahwa aktivitas yang
dilakukan guna memperoleh harta, dalam pandangan Islam merupakan bagian dari
ibadah. Karena termasuk nilai ibadah tersebutlah, maka aktivitas perolehan
harta yang dilakukan haruslah dengan prinsip kehati-hatian sehingga terlepas
dari perihal perbuatan yang dapat merugikan orang lain dan usaha yang haram,
semisal adanya unsur riba, (Al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang
yang dilarang, atau haram (Al-Maidah: 90-91), mencuri, merampok, penggosoban
(Al-Maidah: 38), curang dalam takaran atau timbangan (Al-Muthaffifin: 1-6),
melalui cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah: 188), dan melalui suap
menyuap.[10][10] Di samping itu juga, usaha perolehan harta yang dilakukan tidak
menyebabkan pelakunya menjadi lalai akan kewjiban-kewajiban syar’i yang lain,
misalnya melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala
ketentuan-Nya) (Al-Munafikun: 9), melupakan shalat dan zakat (an-Nur: 37),
serta kewajiban-kewajiban lainnya terkait hubungan yang bersifat transenden
maupun kehidupan sosial.[11][11]
Prinsip tauhid,
menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar para pelaku bisnis
untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih
kekal dan abadi. Prinsip tauhid juga mengantarkan para pelaku bisnis untuk
menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Seorang pedagang
yang melakukan shalat secara khusyuk misalnya, maka setelah selesai shalat ia
akan mendapatkan pencerahan rohani dan intelektual yang sangat dahsyat dan akan
menjadi pemicu meningkatkan etos kerjanya secara islami demi mengejar rezeki
Tuhan.[12][12] (QS. Al-Jumu’ah : 9-10)
Prinsip keseimbangan mengantarkan kepada pencegahan segala bentuk monopoli
dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Allah
menjelaskan melalui firman-Nya:
“Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara
kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Dari sini juga datang pemahaman tentang larang penimbunan dan pemborosan.
Nabi bersabda:
“Barang siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan
menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah juga berlepas diri
darinya.” (HR. Abu Daud)
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan pemerintah untuk
mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menjamin agar bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh
seluruh anggota masyarakat.
Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia
(pelaku bisnis) demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun
kolektif.
Dalam perkembangannya etika bisnis dipengaruhi oleh setidaknya tiga hal,
yaitu filsafat, kebudayaan dan agama. Pengaruh filsafat terhadap etika bisnis
sangat besar, karena etika itu merupakan bagian dari filsafat. Kebudayaan juga
berpengaruh dalam etika bisnis, karena pelaku bisnis biasanya memiliki
kebudayaan tertentu, termasuk di bidang bisnis. Lalu agama berpengaruh pula
dalam etika bisnis, terutama bagi pelaku bisnis yang beragama. Kalau pelaku
bisnis itu beragama Islam, maka etika bisnis Islam tentu berpengaruh pada
kehidupan bisnis mereka.[13][13]
C.
BISNIS DAN TASAWUF
Etika bisnis dalam Islam dipengaruhi oleh tasawuf, suatu ilmu yang
mempelajari cara dan jalan bagi orang untuk berada sedekat mungkin dengan
Allah. Sebab untuk mendekatkan diri dengan Allah orang Islam harus menjauhi
akhlak yang tercela dan mengamalkan akhlak yang terpuji. Dalam tasawuf orang
harus lebih dahulu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela, kemudian mengisi
dirinya dengan akhlak yang terpuji.[14][14]
Tasawuf juga
menghendaki pelaksanaan syariat, sebab tasawuf dan syariat tidak boleh
dipisahkan satu sama lain, apalagi dipertentangkan. Seperti yang dikatakan Imam
Malik, “Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq Barang siapa
berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik Barang siapa menggabung keduanya maka
dia akan sampai pada hakikat.”
Tasawuf merupakan aspek esoteric (batiniah), sedang syariat adalah aspek eksoteris (lahiriyah) Islam. Kedua aspek Islam ini saling terintegrasi. Karena itu, orang Islam yang bersyariat harus mengamalkan tasawuf. Sebaliknya orang yang bertasawuf harus pula melaksanakan syariat. Dalam syariat terdapat ajaran tentang hubungan sesama manusia di segala bidang kehidupan, termasuk bisnis.
Tasawuf merupakan aspek esoteric (batiniah), sedang syariat adalah aspek eksoteris (lahiriyah) Islam. Kedua aspek Islam ini saling terintegrasi. Karena itu, orang Islam yang bersyariat harus mengamalkan tasawuf. Sebaliknya orang yang bertasawuf harus pula melaksanakan syariat. Dalam syariat terdapat ajaran tentang hubungan sesama manusia di segala bidang kehidupan, termasuk bisnis.
Hubungan antara
tasawuf, syariat dan bisnis melahirkan etika usaha dalam Islam. Etika usaha
terlihat dalam praktik bisnis, seperti investasi, produksi, distribusi,
promosi, konsumsi, dan hubungan karyawan dengan perusahaan. Penerapan etika bisnis
Islam juga terlihat pada penanganan krisis ekonomi, hubungan bisnis
internasional, dan krisis lingkungan hidup.[15][15]
Kahf seperti
dikutip Tarigan mendefinisikan kegiatan produksi sebagai usaha manusia untuk
memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan hiduap sebagaimana yang digariskan dalam
agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan kata lain, produksi
dalam Islam tidak semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan belaka
seperti yang terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis. Dalam perspektif Islam,
yang paling utama tampaknya adalah pada hal kemanfaatan. Bagaimana barang atau
jasa yang dihasilkan dapat melahirkan sebesar-besarnya manfaat bagi
kemanusiaan.[16][16] Sedangkan tujuan distribusi adalah mempertemukan kepentingan konsumen dan
produsen dengan tujuan kemaslahtan umat. Ketika konsumen dan produsen memiliki
motif utama yaitu memenuhi kebutuhan maka distribusi sepatutnya melayani
kepentingan ini dan memperlancar segala usaha menuju pencapaian tersebut.[17][17]
Distribusi
barang-barang haram menurut agama Allah pasti tidak akan membawa berkah bagi
kesejahteraan masyarakat, bahkan sebaliknya berjalan dengan kehancuran. Amerika
yang disebut sebagai Negara adidaya misalnya, dalam system pertahanannya
ternyata tidak sanggup untuk menahan laju kehancuran masyarakatnya melalui
permabukan (lewat alcohol), kehilangan kesadaran (lewat narkoba), obesitas
(kegemukan, lewat lemak babi dan pola makan yang tamak), nasab keluarga yang
tidak jelas (lewat free sex), tingginya angka bunuh diri dan kriminalitas (material
oriented), dan sebagainya.[18] [18]
Berbagai pola telah dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, namun tampaknya
tidak ada satupun yang efektif karena sudah menjadi perilaku kehidupan
mayoritas masyarakatnya. Mengapa ? karena tidak ada kontrol agama yang berperan
dalam dinamika sosial masyarakatnya. Sekalipun agama Nasrani menjadi agama
utama penduduknya, namun ajaran tersebut terbatas dalam tembok gereja dan
peribadatan formal, sedangkan tatanan kemasyarakatan dianggap berada di luar
jangkauan agama.
Islam mengatur
perdagangan, dan perilaku masyarakat yang mengharamkan khamr, daging babi,
narkoba, pelacuran, dan sebagainya; secara empiris bagi Negara yang benar-benar
melaksanakannya maka akan terhindar dari gangguan orang mabuk di jalan,
ketularan penyakit menular lewat perzinahan, dan seterusnya. Pejabat yang
dengan kewanangannya telah menghambat laju keruntuhan suatu bangsa dengan
beribadah melalui pemberlakuan software Islami yakni aturan sosial Islam
ke masyarakat, jauh lebih berjasa jika dibandingkan dengan ahli ibadah formal
dalam masjid atau seorang syuhada dalam medan perang. Karena dampak sosialnya
yang jauh lebih luas dan penyelamatan kehormatan dan jiwa manusia yang demikian
banyak.[19][19]
Untuk mencapai arah
tersebut, tentunya seorang pejabat juga harus melalui pintu masuk yang benar
untuk menduduki posisinya, karena bagi seorang mujahid (pembela kebenaran
Allah) bukan jabatannya yang dikejar, namun bagaimana jabatan tersebut akan
digunakan. Allah menuntun kita ke arah demikian supaya kita tetap tabah dalam
berjuang melalui firman-Nya (Al-Isra: 80-81) kekuasaan yang didapat melalui
pintu masuk yang benar, pasti akan menumbuhkan keberanian yang luar biasa bagi
pejabat tersebut untuk mengoperasikan konsepsi Ilahiah dalam masa jabatannya,
karena ia senantiasa berada dalam kontrol Tuhannya.[20][20]
Suatu perdagangan
akan memenuhi standar Ilahiah bila terdapat beberapa ketentuan berikut; jelas
barangnya (azas keterbukaan), jelas kuantitasnya, suka sama suka (bukan tipu
daya), dan tidak mencari keuntungan berlebihan (nilainya relative dan sangat
tergantung kondisi masyarakat).
Keterlibatan Negara
Negara memiliki
kewajiban untuk melindungi konsumen dengan cara membuat aturan dan sanksinya
serta eksekusi dari sanksi tersebut. Mereka bisa menuntut ganti rugi terhadap
produsen barang yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Seorang negarawan
atau pejabat yang berkuasa untuk membuat undang-undang atau peraturan hendaknya
menyadari bahwa dalam hal perdagangan terdapat pintu masuk untuk melakukan amal
shaleh atau peribadatan sosial yang dampak sosial dan politiknya sangat luas,
baik bagi kemaslahatan umat maupun pembelaan terhadap berjalannya aturan Allah
di permukaan bumi. Distribusi barang-barang haram menurut agama Allah tidak
akan membawa berkah bagi kesejahteraan masyarakat.
D. PENTINGNYA ETIKA DALAM BISNIS
Selain kita
berhubungan dengan manusia (hablum minannas) kita juga harus menjalin
hubungan dengan Sang Khaliq (hablum minallah), sehingga dalam setiap
tindakan kita merasa ada yang mengawasi yakni Allah SWT. Keyakinan ini harus
menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena
bisnis dalam Islam tidak semata – mata orientasi dunia tetapi harus punya visi
akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan
etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Mencermati secara mendalam terhadap makna etika bisnis, maka pendekatan ini
sangat krusial dalam perkembangan dunia ekonomi mengingat sudah banyak fakta
membuktikan bahwa pelaksanaan hukum ekonomi dalam dunia usaha acapkali tidak
mengindahkan pentingnya penerapan etika. Dan peraturan hukum semata tidak dapat
sepenuhnya mencegah terjadinya perbuatan curang yang merugikan dalam kegiatan
bisnis. Sebagai buatan manusia peraturan hukum mengandung kelemahan yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam bisnis untuk meraih
keuntungan sendiri walaupun konsekuensinya menimbulkan kerugian di pihak lain.
Karena itu, selain peraturan hukum diperlukan perangkat lain yang bisa mencegah
pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis untuk berbuat curang. Perangkat itu
adalah etika. Etika dapat mencegah orang berbuat curang, karena bersumber dari hati
nurani. Perbuatan yang baik dan yang buruk dapat dirasakan oleh hati nurani.[21][21]
Fakta ini umumnya dipengaruhi oleh prinsip ekonomi yang bebas nilai.
Argumentasi ini diperkuat dengan asumsi bahwa pasar yang kompetitif tidak akan
pernah menjadikan aspek moral sebagai pertimbangan penting, melainkan aspek
produksi dan efisiensilah yang menjadi aspek krusial. Di sini pengusaha atau
para pemilik modal dituntut tidak sekedar harus mempunyai komitmen untuk
menjalankan bisnisnya sesuai dengan aturan main yang ada, akan tetapi mempunyai
tanggungjawab moral dan sosial terhadap lingkungan kerja dan sekitarnya. Lebih
tepatnya, usaha yang dikembangkan pelaku usaha dalam bidang apa pun tidak serta
merta hanya memikirkan keuntungan semata, melainkan bisa membawa nilai manfaat
bagi pekerja dan masyarakat.
Peraturan dan etika itulah, menurut Quraish Shihab, yang membedakan antara
ekonomi yang dianjurkan oleh Al-Qur’an dengan ekonomi lainnya.[22][22]
Harus diakui bahwa Al-Qur’an tidak menyajikan rincian, tetapi mengamanatkan
nilai-nilai (prinsip-prinsip)nya saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan
cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka
operasionalisasinya.
E. LANDASAN SUFISTIK
Esensi agama Islam adalah moral[23][23], yakni moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara seorang dengan
dirinya, antara dia dengan orang lain, termasuk anggota masyarakat dengan
lingkungannya. Moral yang terjalin antara seorang hamba dengan Tuhannya
menegasikan berbagai moral yang buruk, seperti tamak, rakus, gila harta
menindas, mengabdikan diri kepada selain Khaliq, membiarkan orang lain yang
lemah atau berkhianat. Sementara moral seseorang dengan dirinya melahirkan
tindakasn positif dalam dirinya, seperti menjaga kesehatan jiwa dan raga,
menjaga fitrah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruh dan jasmaninya. Adapun
moral terhadap orang lain atau anggota masyarakat akan melahirkan keharmonisan,
kedamaian dan keselarasan dalam hidup yang dapat mencegah, mengobati berbagai
krisis spiritual moral dan budaya.
Sejalan dengan itu, Mustafa Zuhri menekankan bahwa ajaran-ajaran tasawuf
membahas berbagai persoalan yang bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas,
khusyu’, tawadhu’, muraqabah, mujahadah, zuhud, sabar, ridha, tawakkal, dan
seluruh sifat yang terpuji yang berjalan dengan hati. Menurutnya, sasaran
tasawuf ialah akhlak dan budi pekerti yang baik yang berdasarkan kasih dan
cinta kepada Allah.[24][24]
Tasawuf yang
ajarannya mengenai moral/akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal.[25][25] Menurut Ibnu Khaldun seperti dikutip Ali Yafie, pola dasar tasawuf adalah
kedisiplinan beribadah, konstentrasi tujuan hidup menuju Allah untuk
mendapatkan ridha-Nya, dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada
kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan
duniawi lainnya. [26] 26]
Ajaran yang
terdapat dalam tasawuf, menurut Amin Syukur, meliputi takhalli, yaitu
penyucian diri dari sifat-sifat tercela, yang dilakukan dengan penghayatan,
keimanan dan ibadah, latihan sungguh-sungguh terhadap nafs dan muhasabah.
Kemudian tahalli, yaitu menghiasi dan membiasakan diri dengan
sikap perbuatan terpuji, dan tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi
(Cahaya Tuhan), atau terbukanya hijab serta mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan pada diri
manusia.[27] [27]
Ada beberapa nilai
moral dalam konsep kerja dan bisnis Islam dalam perspektif tasawuf yang dapat
diterjemahkan dalam bentuk aplikasi etos kerja, yakni: pertama, adanya
keimanan atau keyakinan bahwa tujuan manusia dalam melakukan pekerjaan adalah
beribadah kepada Allah dan memakmurkan kehidupan dengan mengelola bumi beserta
isinya. Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” (QS. Adz-Dzariyat:
56-57)
Kedua, bahwa kerja adalah usaha untuk
mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jiwa dan jasmani (QS.
Al-Qashash: 77). Menurut Hamka, keseimbangan antara jiwa dan jasmani adalah
suatu yang mutlak. Kalau jiwa dalam kondisi sehat, maka dengan sendirinya
akan terpancar bayangan kesehatan pada mata yang darinya memancar nur yang
gemilang timbul dari sukma yang tiada sakit. Demikian juga kesehatan badan yang
akan membukakan pikiran, kecerdasan akal, menyebabkan kebersihan jiwa
seseorang. Menurutnya, pengendalian diri terhadap timbulnya sakit jiwa dan
badan diperlukan pemeliharaan kesehatan yang berupa: bergaul dengan orang-orang
yang beriman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan syahwat dan marah,
bekerja dengan teratur dan menimbang sebelum mengerjakan, serta mengoreksi aib
sendiri.[28] [28]
Ketiga, bahwa bekerja keras adalah untuk
mendapatkan rezeki disertai dengan tawakkal dan takwa kepada Allah (QS.
Al-Mulk: 15). Keempat, bekerja atau usaha haruslah dilakukan dengan cara
yang halal dan menghindari cara yang haram (QS. Al-Maidah: 100). Kelima,
bekerja haruslah menghindari cara-cara ribawi (QS. Al-Baqarah: 278-279). Keenam,
tidak bekerja sama dengan musuh Islam (QS. At-Taubah: 71). Ketujuh,
memiliki keyakinan bahwa seluruh materi di dunia ini hanya milik Allah, seorang
manusia hanya bertugas sebagai khalifah (QS. Al-Hadid: 7). Kedelapan,
menjaga kepemilikan materi haruslah dilakukan dengan jalan yang halal (QS.
An-Nisa: 5). Kesembilan, adanya keharusan memiliki sifat amanah, jujur,
dan paham akan segala aspek perdagangan (QS. Al-Baqarah: 117).
Salah satu ajaran yang terdapat dalam tasawuf ialah zuhud. Zuhud selama ini
dipahami sebagian orang sebagai sikap anti dunia, atau kehidupan yang jauh dari
gemerlapan dunia, kehidupan yang menyepi dari keramaian dan hirup pikuk
kesibukan dunia. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak
segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal.
Zuhud bukanlah meninggalkan kenikmatan dunia, bukan berarti mengenakan
pakaian lusuh, dan bukan berarti miskin. Zuhud juga bukan berarti hanya duduk
di masjid, beribadah dan beribadah saja tanpa melakukan kegiatan-kegiatan
lainnya. Akan tetapi zuhud merupakan salah satu sikap untuk menjaga jarak dari
dunia, artinya kita menjadikan dunia sebagai sarana untuk beribadah, menggapai
kebahagiaan di akhirat, dan bukan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Zuhud
adalah hilangnya ketergantungan hati terhadap harta, bukan berarti sepi dari
harta. Di sini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang
telah ada di tangan, dan tidak merasa bersediah karena hilangnya kemewahan itu
dari tangannya.[29][29] Karena kehidupan dunia hanyalah sementara, sesuai dengan firman Allah: “Katakanlah
kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan teraniaya sedikitpun.” (QS.
Annisa: 77).
Dengan demikian sikap zuhud
melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif.
Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja aset
ilahiyah yang mempunyai nilai
ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan
mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap
pemanfaatan harta dalam masyarakat. Zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya
materi. Dengan zuhud akan tampil
sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah
ada/dimiliki), tawakkal (pasrah
kepada Allah Swt.), wara’ yaitu menjaga diri agar
jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar, yakni tabah menerima
keadaan dirinya baik keadaan itu
menyenangkan, menyusahkan dan
sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya. Yang perlu diketahui bahwa sifat-sifat itu merupakan bekal menghadapi
kenyataan hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif, seperti
tidak mau berusaha mencari nafkah, ekslusif dan menarik
diri dari keramaian dunia, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah,
yakni membawa fungsi
kekhalifahan, yang berarti sebagai pengganti Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang meramaikan
dunia ini. Sifat-sifat tersebut
merupakan sikap batin dalam
menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap
manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjadikan dirinya lebih baik dari keadaan sekarang.
F. PENUTUP
Islam mengajarkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan untuk
bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia
memiliki harta kekayaan, dan salah satu ragam bekerja adalah berbisnis sebagai
usaha atau mata pencaharian (ma’isah) dengan cara dan mekanisme
perolehan yang halal dan sesuai dengan aturan main-Nya.
Bila masing-masing pelaku bisnis memperhatikan, memahami dan menyadari
serta mengaktualisasikan praktek-praktek bisnis yang berlandaskan pada
nilai-nilai esoteris Islam, antara pedagang dan pembeli, antara produsen
dan konsumen, antara pemilik modal dan pelaksananya, disertai dengan
aturan-aturan hukum yang jelas dan pemahaman tentang etika berbisnis yang
terdapat pada diri mereka, maka dapat dipastikan akan tercipta suatu kondisi
bangsa yang dijanjikan Allah sebagai “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun
Ghafur.” Di samping itu, upaya terealisasinya “Mentasawufkan Indonesia”
melalui jalur bisnis atau ekonomi akan bisa terwujud. Wallahu A’lam.
Oleh : Ali Sumitro
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam menanggulangi Krisis Spiritual,
dalam Amin Syukur dan Abdul Muhaya (Pengantar), Spiritual dan Krisis,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2001
Ali Yafie, Syari’ah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budhy
Munawar Rahman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,
(Jakarta: Yayasan Paramadina), 1995
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, Solusi Problem Manusia Modern,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2012
-----------------, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), 1997
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir ayat-ayat ekonomi, sebuah eksplorasi
melalui kata-kata kunci dalam al-Qur’an, Cipta Pustaka Media Perintis
Bekerjasama dengan Prodi Ekonomi Islam Fakultas Syariah IAIN Sumut, 2012
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas) 1996
Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun Etos Kerja dan Logika Berfikir
Islami, (Malang: UIN-Malang Press), 2009
M. Fajar Hidayanto, Etika Bisnis dalam Islam (Book Review Faisal
Badroen), Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Vol. I. No. 1, Juli 2007
Muhammad Saifullah,
Etika Bisnis Islami, Jurnal Walisongo, Volume 19, No. 1, Mei 2011
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Penerbit Mizan), Edisi Kedua, 2013
Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, Kritik Islam atas Marxisme
dan Teori Lainnya, (Bandung: Penerbit Mizan), 1992
Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu),
1976
Rahmat Hanna, Etika Bisnis dalam Islam, Makalah
Sofyan Zefry, Konsep Harta dalam Islam, Kajian terhadap Peran Harta
dalam Aktivitas Bisnis Berbasis Syari’ah, Makalah
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Bogor: Penerbit Kencana), 2003
[4]M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan,
Bandung, Edisi Kedua, 2013, hal. 530
[5]M. Fajar Hidayanto, Etika Bisnis
dalam Islam (Book Review Faisal Badroen), Jurnal Ekonomi Islam La_Riba,
Vol. I. No. 1, Juli 2007, hal. 145
[10]Sofyan Zefry, Konsep Harta dalam
Islam, Kajian terhadap Peran Harta dalam Aktivitas Bisnis Berbasis Syari’ah,
Makalah, hal. 22
[12] Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Membangun
Etos Kerja dan Logika Berfikir Islami, UIN-Malang Press, 2009, hal. 36
[16] Azhari Akmal Tarigan, Tafsir
ayat-ayat ekonomi, sebuah eksplorasi melalui kata-kata kunci dalam al-Qur’an,
Cipta Pustaka Media Perintis Bekerjasama dengan Prodi Ekonomi Islam Fakultas
Syariah IAIN Sumut, 2012, hal.179
[23] Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf
dalam menanggulangi Krisis Spiritual, dalam Amin Syukur dan Abdul Muhaya
(Pengantar), Spiritual dan Krisis, Pustaka Pelajar, 2001, Yogyakarta,
hal. 23
[25]Ali Yafie, Syari’ah, Thariqah,
Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budhy Munawar Rahman (Editor), Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, 1995, hal. 181
[27] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual,
Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar, 2012, Yogyakarta,
hal. 2
No comments:
Post a Comment