MORAL
DAN KONSEP PENDIDIKAN MORAL
Terdapat
dua macam nilai yang terdapat di dunia iniyaitu nilai moral dan nilai
nonmoral.Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggungjawab dan keadilan adalah
hal yang dituntut dalam kehidupan ini. Kita akan merasa tertuntut untuk
menepati janji, membayar berbagai macam tagihan dan lain-lain. Nilai-nilai
moral meminta kita unguk melaksanakan apa yang sebaiknya kita lakukan. Kita
harus melakukannya bahkan kalupun sebenarnya kita tidak ingin melakukannya.[1]
Nilai-nilai
nonmoral tidak membawa tuntutan-tuntutan seperti nilai moral. Nilai tersebut
lebih menunjukkan sikap yang berhubungan denganapa yang kita inginkan ataupun
yang kita suka. Nilai-nilai yang muncul seperti saat mengerjakan hobi, membaca
buku, belajar dan lain-lain.Tidak ada kewajiban pasti yang harus menjadi
landasan dalam melaksanakannya.
Nilai-nilai
moral sendiri (yang menjadi tuntutan) dapat dibagi lagi menjadi dua kategori,
yaitu universal dan non universal.Nilai-nilai moral universal dapat menyatukan
semua orang di manapun berada karena kita tentunya menjunjung tinggi
dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan diri.Kita memiliki hak dan
kewajiban untuk menuntut agar kita semua dapat berlaku sejalan dengan
nilai-nilai moral yang berlaku secara universal ini.
Nilai-nilai
moral yang bersifat non universal tidak membawa tuntutan moral yang bersifat
universal.Ini adalah nilai-nilai seperti kewajiban yang berlaku pada agama
tertentu (ketaatan, berpuasa dan memperingati hari besar keagamaan) yang secara
individu menjadi sebuah tuntutan yang cukup penting. Namun, hal tersebut belum
tentu dirasakan sama dengan individu lain.
M
Natsir ketika berpidato pada Rapat Persatuan Islam di Bogor tahun 1934
menegaskan urgensi pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa.“Maju atau mundurnya
salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang
berlaku dalam kalangan mereka itu.”[2]
Hingga
saat ini, sekolah di negara ini masih berfokus pada nilai capaian
akademik.Marvin Berkowitz mengatakan bahwa kebanyakan pendidikan moral yang
dilakukan di sekolah-sekolah tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan
itu dapat berdampak terhadap perubahan perilaku.[3]Ada
kesenjangan antara pengetahuan dengan perilaku.Hal ini mungkin terjadi, karena
selama ini pendidikan moral atau yang dikaitkan dengan moral hanya menyentuh
aspek kognitif saja, atau bersifat pengetahuan dan hafalan.Tanpa diikuti dengan
aspek afektif maupun psikomotor.Padahal kedua aspek ini juga penting dalam
pembentukan sikap dan perilaku seseorang.
Kesenjangan
ini yang harus dibenahi oleh semua pihak, baik pemerintah, lembaga pendidikan
maupun masyarakat itu sendiri.Perubahan yang mengarah pada perbaikan tentunya
harus dimulai dari pendidikan karena manusia adalah produk pendidikan.Generasi
Indonesia sekarang merupakan produk sistem pendidikan warisan kolonial yang
telah nyata meninggalkan unsur etika serta agama. Pendidikan harus kembali
diarahkan menjadi pabrik pencetak manusia berperadaban tinggi yang menjunjung
tinggi norma dan etika.[4]
Pendidikan
moral ini yang sampai sekarang belum bisa kita formulasikan dengan baik.Terjadi
kesenjangan antara yang diajarkan dalam lembaga pendidikan dengan aplikasi yang
ada dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan agama terlihat semakin gencar dalam
dilakukan di Indonesia, dan indikator kasat mata tentang maraknya kehidupan beragama
juga jelas terlihat di Indonesia. Namun yang terjadi, bahwa sebagian besar
perilaku masyarakat Indonesia belum bisa dikatakan sesuai dengan ajaran agama
yang ada.
Konsep
pendidikan yang dijalankan haruslah sesuai dengan tujuan manusia diciptakan di
dunia.Tujuan pertama sebagai Hamba Allah, yaitu untuk beribadah kepada
Allah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku” (Adz Dzariyat : 565)
Dalam
tafsir Al Misbah, hakekat ibadah mencakup dua hal pokok.Pertama; kemantapan
makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan.Kedua; mengarah
kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan
setiap gerak dalam hidup.Semuanya hanya mengarah kepada Allah secara tulus.
Tujuan
yang kedua adalah sebagai khalifatullah, sebagaimana tercantum dalam
surat Al Baqarah ayat 30. Sebagai khalifatullah, manusia mengemban
amanah untuk mengelola bumi dan segala isinya baik yang berupa benda atau
makhluk hidup.Allah telah memberi bekal yang sangat berharga bagi manusia untuk
bisa mengelola hidupnya di muka bumi.
Konsep
pendidikan yang ada di Indonesia haruslah mencakup pada dua hal utama,
pengamalan dan pengalaman.Pengamalan adalah konsep mengaplikasikan ilmu yang
dimiliki seseorang.Dalam aplikasinya, pengamalan yang dilakukan seeorang kadang
memang harus diawali dengan paksaan. Dari paksaan, seseorang akan bisa mulai
terbiasa untuk melakukan sesuatu. Disisi lain, pengamalan juga bisa di dorong
lewat adanya reward yang disampaikan di awal. Konsep reward tidak
hanya berupa materi, tetapi juga bisa dari bentuk lain seperti pahala atau
kebahagiaan yang akan didapat kelak.
Pengalaman
didapat dari kebiasaan seseorang melakukan sesuatu. Dari pengalaman melakukan,
seseorang akan mampu memiliki rasa atau menjiwai apa yang dilakukannya. Akan
ada banyak “penemuan” yang didapat sebagai hasil pengalaman seseorang melakukan
sesuatu. Konsep pengulangan yang dijumpai dalam melakukan ibadah wajib dan sunnah
secara rutin merupakan salah satu jalan “penemuan” dalam kehidupan manusia
beragama.Penemuan-penemuan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas dari
kehidupan seseorang.
Maka,
dalam konsep pendidikan Indonesia haruslah mengakomodasi kedua hal tersebut.Mengakomodasi
fungsi kedua belahan otak; otak kiri dan otak kanan.Mengakomodasi aspek pengetahuan
yang harus dihafal dan juga mengakomodasi aspek cipta, rasa dan karsa dari
manusia. Kalau pengajaran budi pekerti dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan yang seperti ini, maka pembentukan moral dan karakter bangsa akan
tercapai. Tentu hal ini membutuhkan komitmen dari semua pihak.Tidak hanya
institusi sekolah, namun juga melibatkan pihak pemerintah selaku penyokong
system maupun masyarakat sebagai sasaran utama pendidikan pembentukan karakter.
KARAKTER
DAN JATI DIRI
Thomas
Lickona menerangkan bahwa ada 10 indikasi yang perlu diperhatikan agar generasi
muda bisa berubah ke arah yang lebih baik.Memang tidak semua generasi muda
zaman sekarang menunjukkan indikasi-indikasi ini, masih banyak generasi muda
yang mampu menunjukkan nilai yang baik yang diharapkan mampu menjadi generasi
penerus untuk bangsa yang lebih baik kedepannya. Tanda-tanda itu antara lain
munculnya banyak kekerasan dan tindakan anarki, pencurian, tindakan curang,
pengabaian terhadap aturan yang berlaku, tawuran antar siswa, ketidaktoleran,
penggunaan bahasa yang tidak baik, kematangan seksual yang terlalu dini dan
penyimpangannya, dan sikap perusakan diri.[5]
Dihadapkan
pada masalah seperti demikian, banyak negara yang kembali pada sistem
pendidikan yang berlaku sebagai media yang dapat menolong keterpurukan
tersebut.Kelumpuhan dibidang nilai tersebut cenderung berfokus pada pengajaran
tentang nilai.Pengabaian generasi muda terhadap kepekaan moral merupakan sebuah
kegagalan yang menuai masalah serius menyangkut etika dalam kehidupan
bermasyarakat.
Karakter
bangsa yang kuat menjadi haluan bagi perubahan arah zaman sehingga terhindar
dari kehancuran.Pembangungan karakter harus menjadi prioritas utama dalam
pembangunan negeri ini, terutama untuk generasi mudanya. Ada sebuah ungkapan
“Jumlah anak-anak hanya 25 % dari total penduduk, tetapi menentukan 100% masa
depan bangsa”. Itu berarti maju tidaknya sebuah bangsa sangat bergantung pada
kualitas generasi mudanya.Kualitas karakter generasi penerusnya.
Tiga
modal dasar dari kemajuan suatu bangsa yaitu wilayah yang luas, tersedianya
seumber daya alam, dan jumlah penduduk yang besar harus pula diimbangi dengan
kualitas karakter dari bangsa tersebut.Francis Fukuyama mengatakan, suatu
bangsa bisa maju jika mempunyai social capital, yaitu high trust
society.[6]Ciri-cirinya
adalah masyarakat yang individu-individunya layak dipercaya.High trust
society adalah karakter bangsa yang nilai-nilai integritas, kerja sama,
tenggang rasa, etos kerja tinggi dan amanah (jujur dan bertanggung jawab)
menjadi corak perilaku kehidupan.
Muhammad
Fethullah Gulen menyebut istilah karakter dengan sebutan “jati diri”. Tidak
diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan “wujud jati diri” adalah refleksi
hasrat internal yang kita miliki yang dibangun dari warisan peradaban dan
kebudayaan kita sendiri; untuk kemudian diubah menjadi “poros” dimana kita
mengorbit di sekelilingnya. Tampaknya banyak orang di zaman kita memahami kata
“jati diri” sebagai semacam folklor yang tidak memiliki hubungan dengan akar
“moralitas” umat kita ataupun dengan “insting” yang menyembul ketika umat
manusia merasakan kebutuhan pada pemuasan hasrat “jasmani”-nya.
Jati
diri memiliki makna yang lebih luas, menyeluruh dan mendalam.Jati diri
merupakan sesuatu hal yang efeknya terasa di semua sendi kehidupan masyarakat;
sesuatu yang nutrisinya bersumber dari memori, emosi dan nurani kolektif suatu
umat seiring berjalannya waktu, sejak zaman dahulu kala sampai zaman sekarang
kita saat ini.[7]
Jati
diri itulah yang tercermin pada perasaan, pemikiran, ucapan, imajinasi
manusia.Jati diri itulah yang kemudian secara turun temurun diajarkan melalui
adat kebiasaan, tradisi sepanjang masa. Yang diajarkan baik secara langsung
maupun tidak langsung lewat berbagai macam cara.
Dari
model pendidikan yang diterapkan oleh para ibu kita, sampai perilaku nenek
moyang kita yang kaya dengan spirit kepabapakn yang mencerminkan karakter jati
diri kita semua.Dari polapendidikan dan muatan ruh jati diri kita yang ada di
dalamnya, sampai upaya para pendidik untuk menghembuskan ruh tersebut dengan
sebaik-baiknya.[8]
PENDIDIKAN
YANG BERKARAKTER
Salah
satu solusi untuk membuat bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh adalah dengan
melakukan pendidikan karakter.Pendidikan yang tidak hanya menyentuh aspek
pengetahuan saja, tetapi juga menyentuh aspek perilaku atau penerapan. Ada
kecenderungan di AS sekarang , untuk mengganti istilah “moral/value
education” dengan “character education/building”. Karakter (watak)
adalah istilah yang diambil dari Bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai),
yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang.Seseorang dapat disebut
sebagai “orang yang berkarakter” apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah
moral.[9]
Thomas
Lickona menjelaskan mengenai komponen karakter yang baik dengan gambar berikut.
Pengetahuan Moral:
1. Kesadaran
moral
2. Pengetahuan
nilai moral
3. Penentuan
perspektif
4. Pemikiran
moral
5. Pengambilan
keputusan
6. Pengetahuan
pribadi
|
Tindakan Moral:
1. Kompetensi
2. Keinginan
3. Kebiasaan
|
PerasaanMoral:
1. Hati nurani
2. Harga diri
3. Empati
4. Mencintai
hal yang baik
5. Kendali
diri
6. Kerendahan
hati
|
Pengetahuan
moral, perasaan moral dan tindakan moral memiliki kaitan satu sama lain. Ketiga
hal tersebut tidak bisa berdiri sendiri dalam membentuk karakter yang baik.
Perasaan moral dan tindakan moral yang tidak didasari oleh pengetahuan moral
yang baik akan menghasilkan hasil yang tidak maksimal. Pengetahuan dan perasaan
moral saja tanpa disertai dengan tindakan moral juga tidak akan memiliki fungsi
apa-apa sebagai sebuah karakter yang baik.
Pendidikan
di Indonesia haruslah mampu mengakomodir semua aspek tersebut.Selama ini yang
ktia temui hanya sebatas pada pengetahuan moral tanpa disertai dengan mengasah
perasaan moral dan membiasakannya dalam tindakan moral. Pengetahuan yang
dilengkapi dengan perasaan akan menimbulkan motivasi tersendiri dalam diri
seseorang untuk menghasilkan suatu tindakan moral yang baik.
Kompetensi
yang didasari dengan pengetahuan moral yang dikolaborasikan dengan perasaan
moral akan memunculkan keinginan seseorang untuk bertindak. Dengan melatih
“keinginan” untuk bertindak, manusia akan memiliki kebiasaan yang baik yang
akan menjadi karakter pribadinya yang kuat.
Sekolah
sebagai institusi yang memberikan pengetahuan mengenai moral harus mampu
bersinergi dengan lingkungan dalam melatih perasaan moral anak didiknya.Salah
satu caranya ialah dengan penerapan nilai-nilai positif dalam pembelajaran yang
dilakukan di sekolah, serta mengasah perasaan moral dengan memperbanyak
tindakan atau perilaku yang positif.
Pembiasaan-pembiasaan
positif perlu dilakukan di sekolah agar peserta didik mampu mengaplikasikannya
secara mandiri di luar sekolah, terutama di masyakarat umum.Dengan harapan
bahwa kebiasaan yang terbentuk disekolah mampu diaplikasikan dalam masyarakat
sehingga mampu membawa perubahan dalam lingkungan sekitarnya.
Karakter
selalu mengingatkan manusia untuk tidak lupa “memperbaiki diri”.Maka karakter
dapat didefinisikan sebagai kumpulan sifat baik yang menjadi perilaku
sehari-hari, sebagai perwujudan kesadaran menjalankan peran, fungsi dan
tugasnya dalam mengemban amanah dan tanggung jawab.[10]
Pendidikan
karakter diharapkan mampu membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan
budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu
tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain,
kerja keras, dan sebagainya.
Karakter
hanya bisa dididik, ditingkatkan dan disempurnakan terus menerus. Dididik oleh
pendidik yang berkarakter, ditingkatkan dalam situasi lingkungan yang
berkarakter dan disempurnakan dalam proses dan sistem yang berkarakter.
Dengan
memadukan dunia pendidikan dan dunia nyata, pembenahan karakter harus dimulai
oleh pucuk pimpinan nasional hingga masyarakat umum.Dua hal yang mendesak harus
dilakukan adalah perbaikan sistem sekaligus perbaikan orang yang menjalankan
sistem tersebut. Sinergi dari semua pihak akan menjadi kunci utama dalam
terlaksananya pendidikan karakter yang akan merubah karakter bangsa ini ke arah
yang lebih baik.
By : Hidayat Burhanuddin
DAFTAR
PUSTAKA
Falah , Saiful.Rindu
Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir.Jakarta: Republika, 2012
Fethullah Gulen,
Muhamad. Membangun Peradaban Kita, Jakarta: Republika, 2013
Lickona, Thomas.Mendidik
Untuk Membentuk Karakter, Jakarta: Bumi Aksara, 2012
Megawangi ,
Ratna.Semua Berakar Pada Karakter, Jakarta: LPFEUI, 2007
Natsir, M.Capita
Selecta 1, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 2008
Sudewo, Erie.Character
Building. Jakarta: Republika, 2011
[1]
Thomas Lickona, Mendidik Untuk Membentuk Karakter, Jakarta: Bumi Aksara,
2012, hlm 63
[2] M.
Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 2008, hlm 79
[3]Thomas
Lickona, op cit; hlm 82
[4]Saiful
Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir. Jakarta: Republika, 2012,
hlm xv
[6]
Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter, Jakarta: LPFEUI, 2007, hlm
58
[7]
Muhamad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita, Jakarta:
Republika, 2013, hlm 31
[8]
Ibid; hlm 32
[9]
Ratna Megawangi, op cit; hlm 83
[10]Erie
Sudewo, Character Building. Jakarta: Republika, 2011, hlm 14
No comments:
Post a Comment