GUDANG MAKALAH

Monday, 11 August 2014

MORAL, KARAKTER DAN PENDIDIKAN



MORAL DAN KONSEP PENDIDIKAN MORAL
Terdapat dua macam nilai yang terdapat di dunia iniyaitu nilai moral dan nilai nonmoral.Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggungjawab dan keadilan adalah hal yang dituntut dalam kehidupan ini. Kita akan merasa tertuntut untuk menepati janji, membayar berbagai macam tagihan dan lain-lain. Nilai-nilai moral meminta kita unguk melaksanakan apa yang sebaiknya kita lakukan. Kita harus melakukannya bahkan kalupun sebenarnya kita tidak ingin melakukannya.[1]

Nilai-nilai nonmoral tidak membawa tuntutan-tuntutan seperti nilai moral. Nilai tersebut lebih menunjukkan sikap yang berhubungan denganapa yang kita inginkan ataupun yang kita suka. Nilai-nilai yang muncul seperti saat mengerjakan hobi, membaca buku, belajar dan lain-lain.Tidak ada kewajiban pasti yang harus menjadi landasan dalam melaksanakannya.

Nilai-nilai moral sendiri (yang menjadi tuntutan) dapat dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu universal dan non universal.Nilai-nilai moral universal dapat menyatukan semua orang di manapun berada karena kita tentunya menjunjung tinggi dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan diri.Kita memiliki hak dan kewajiban untuk menuntut agar kita semua dapat berlaku sejalan dengan nilai-nilai moral yang berlaku secara universal ini.

Nilai-nilai moral yang bersifat non universal tidak membawa tuntutan moral yang bersifat universal.Ini adalah nilai-nilai seperti kewajiban yang berlaku pada agama tertentu (ketaatan, berpuasa dan memperingati hari besar keagamaan) yang secara individu menjadi sebuah tuntutan yang cukup penting. Namun, hal tersebut belum tentu dirasakan sama dengan individu lain.

M Natsir ketika berpidato pada Rapat Persatuan Islam di Bogor tahun 1934 menegaskan urgensi pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa.“Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu.”[2]

Hingga saat ini, sekolah di negara ini masih berfokus pada nilai capaian akademik.Marvin Berkowitz mengatakan bahwa kebanyakan pendidikan moral yang dilakukan di sekolah-sekolah tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perubahan perilaku.[3]Ada kesenjangan antara pengetahuan dengan perilaku.Hal ini mungkin terjadi, karena selama ini pendidikan moral atau yang dikaitkan dengan moral hanya menyentuh aspek kognitif saja, atau bersifat pengetahuan dan hafalan.Tanpa diikuti dengan aspek afektif maupun psikomotor.Padahal kedua aspek ini juga penting dalam pembentukan sikap dan perilaku seseorang.

Kesenjangan ini yang harus dibenahi oleh semua pihak, baik pemerintah, lembaga pendidikan maupun masyarakat itu sendiri.Perubahan yang mengarah pada perbaikan tentunya harus dimulai dari pendidikan karena manusia adalah produk pendidikan.Generasi Indonesia sekarang merupakan produk sistem pendidikan warisan kolonial yang telah nyata meninggalkan unsur etika serta agama. Pendidikan harus kembali diarahkan menjadi pabrik pencetak manusia berperadaban tinggi yang menjunjung tinggi norma dan etika.[4]

Pendidikan moral ini yang sampai sekarang belum bisa kita formulasikan dengan baik.Terjadi kesenjangan antara yang diajarkan dalam lembaga pendidikan dengan aplikasi yang ada dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan agama terlihat semakin gencar dalam dilakukan di Indonesia, dan indikator kasat mata tentang maraknya kehidupan beragama juga jelas terlihat di Indonesia. Namun yang terjadi, bahwa sebagian besar perilaku masyarakat Indonesia belum bisa dikatakan sesuai dengan ajaran agama yang ada.
Konsep pendidikan yang dijalankan haruslah sesuai dengan tujuan manusia diciptakan di dunia.Tujuan pertama sebagai Hamba Allah, yaitu untuk beribadah kepada Allah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz Dzariyat : 565)

Dalam tafsir Al Misbah, hakekat ibadah mencakup dua hal pokok.Pertama; kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan.Kedua; mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup.Semuanya hanya mengarah kepada Allah secara tulus.

Tujuan yang kedua adalah sebagai khalifatullah, sebagaimana tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 30. Sebagai khalifatullah, manusia mengemban amanah untuk mengelola bumi dan segala isinya baik yang berupa benda atau makhluk hidup.Allah telah memberi bekal yang sangat berharga bagi manusia untuk bisa mengelola hidupnya di muka bumi.

Konsep pendidikan yang ada di Indonesia haruslah mencakup pada dua hal utama, pengamalan dan pengalaman.Pengamalan adalah konsep mengaplikasikan ilmu yang dimiliki seseorang.Dalam aplikasinya, pengamalan yang dilakukan seeorang kadang memang harus diawali dengan paksaan. Dari paksaan, seseorang akan bisa mulai terbiasa untuk melakukan sesuatu. Disisi lain, pengamalan juga bisa di dorong lewat adanya reward yang disampaikan di awal. Konsep reward tidak hanya berupa materi, tetapi juga bisa dari bentuk lain seperti pahala atau kebahagiaan yang akan didapat kelak.

Pengalaman didapat dari kebiasaan seseorang melakukan sesuatu. Dari pengalaman melakukan, seseorang akan mampu memiliki rasa atau menjiwai apa yang dilakukannya. Akan ada banyak “penemuan” yang didapat sebagai hasil pengalaman seseorang melakukan sesuatu. Konsep pengulangan yang dijumpai dalam melakukan ibadah wajib dan sunnah secara rutin merupakan salah satu jalan “penemuan” dalam kehidupan manusia beragama.Penemuan-penemuan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas dari kehidupan seseorang.

Maka, dalam konsep pendidikan Indonesia haruslah mengakomodasi kedua hal tersebut.Mengakomodasi fungsi kedua belahan otak; otak kiri dan otak kanan.Mengakomodasi aspek pengetahuan yang harus dihafal dan juga mengakomodasi aspek cipta, rasa dan karsa dari manusia. Kalau pengajaran budi pekerti dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang seperti ini, maka pembentukan moral dan karakter bangsa akan tercapai. Tentu hal ini membutuhkan komitmen dari semua pihak.Tidak hanya institusi sekolah, namun juga melibatkan pihak pemerintah selaku penyokong system maupun masyarakat sebagai sasaran utama pendidikan pembentukan karakter.

KARAKTER DAN JATI DIRI
Thomas Lickona menerangkan bahwa ada 10 indikasi yang perlu diperhatikan agar generasi muda bisa berubah ke arah yang lebih baik.Memang tidak semua generasi muda zaman sekarang menunjukkan indikasi-indikasi ini, masih banyak generasi muda yang mampu menunjukkan nilai yang baik yang diharapkan mampu menjadi generasi penerus untuk bangsa yang lebih baik kedepannya. Tanda-tanda itu antara lain munculnya banyak kekerasan dan tindakan anarki, pencurian, tindakan curang, pengabaian terhadap aturan yang berlaku, tawuran antar siswa, ketidaktoleran, penggunaan bahasa yang tidak baik, kematangan seksual yang terlalu dini dan penyimpangannya, dan sikap perusakan diri.[5]

Dihadapkan pada masalah seperti demikian, banyak negara yang kembali pada sistem pendidikan yang berlaku sebagai media yang dapat menolong keterpurukan tersebut.Kelumpuhan dibidang nilai tersebut cenderung berfokus pada pengajaran tentang nilai.Pengabaian generasi muda terhadap kepekaan moral merupakan sebuah kegagalan yang menuai masalah serius menyangkut etika dalam kehidupan bermasyarakat.

Karakter bangsa yang kuat menjadi haluan bagi perubahan arah zaman sehingga terhindar dari kehancuran.Pembangungan karakter harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan negeri ini, terutama untuk generasi mudanya. Ada sebuah ungkapan “Jumlah anak-anak hanya 25 % dari total penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan bangsa”. Itu berarti maju tidaknya sebuah bangsa sangat bergantung pada kualitas generasi mudanya.Kualitas karakter generasi penerusnya.

Tiga modal dasar dari kemajuan suatu bangsa yaitu wilayah yang luas, tersedianya seumber daya alam, dan jumlah penduduk yang besar harus pula diimbangi dengan kualitas karakter dari bangsa tersebut.Francis Fukuyama mengatakan, suatu bangsa bisa maju jika mempunyai social capital, yaitu high trust society.[6]Ciri-cirinya adalah masyarakat yang individu-individunya layak dipercaya.High trust society adalah karakter bangsa yang nilai-nilai integritas, kerja sama, tenggang rasa, etos kerja tinggi dan amanah (jujur dan bertanggung jawab) menjadi corak perilaku kehidupan.

Muhammad Fethullah Gulen menyebut istilah karakter dengan sebutan “jati diri”. Tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan “wujud jati diri” adalah refleksi hasrat internal yang kita miliki yang dibangun dari warisan peradaban dan kebudayaan kita sendiri; untuk kemudian diubah menjadi “poros” dimana kita mengorbit di sekelilingnya. Tampaknya banyak orang di zaman kita memahami kata “jati diri” sebagai semacam folklor yang tidak memiliki hubungan dengan akar “moralitas” umat kita ataupun dengan “insting” yang menyembul ketika umat manusia merasakan kebutuhan pada pemuasan hasrat “jasmani”-nya.

Jati diri memiliki makna yang lebih luas, menyeluruh dan mendalam.Jati diri merupakan sesuatu hal yang efeknya terasa di semua sendi kehidupan masyarakat; sesuatu yang nutrisinya bersumber dari memori, emosi dan nurani kolektif suatu umat seiring berjalannya waktu, sejak zaman dahulu kala sampai zaman sekarang kita saat ini.[7]

Jati diri itulah yang tercermin pada perasaan, pemikiran, ucapan, imajinasi manusia.Jati diri itulah yang kemudian secara turun temurun diajarkan melalui adat kebiasaan, tradisi sepanjang masa. Yang diajarkan baik secara langsung maupun tidak langsung lewat berbagai macam cara.

Dari model pendidikan yang diterapkan oleh para ibu kita, sampai perilaku nenek moyang kita yang kaya dengan spirit kepabapakn yang mencerminkan karakter jati diri kita semua.Dari polapendidikan dan muatan ruh jati diri kita yang ada di dalamnya, sampai upaya para pendidik untuk menghembuskan ruh tersebut dengan sebaik-baiknya.[8]

PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER
Salah satu solusi untuk membuat bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh adalah dengan melakukan pendidikan karakter.Pendidikan yang tidak hanya menyentuh aspek pengetahuan saja, tetapi juga menyentuh aspek perilaku atau penerapan. Ada kecenderungan di AS sekarang , untuk mengganti istilah “moral/value education” dengan “character education/building”. Karakter (watak) adalah istilah yang diambil dari Bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai), yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang.Seseorang dapat disebut sebagai “orang yang berkarakter” apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.[9]
Thomas Lickona menjelaskan mengenai komponen karakter yang baik dengan gambar berikut.
Pengetahuan Moral:
1.   Kesadaran moral
2.   Pengetahuan nilai moral
3.   Penentuan perspektif
4.   Pemikiran moral
5.   Pengambilan keputusan
6.   Pengetahuan pribadi

Tindakan Moral:
1.   Kompetensi
2.   Keinginan
3.   Kebiasaan

PerasaanMoral:
1.   Hati nurani
2.   Harga diri
3.   Empati
4.   Mencintai hal yang baik
5.   Kendali diri
6.   Kerendahan hati
 











Pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral memiliki kaitan satu sama lain. Ketiga hal tersebut tidak bisa berdiri sendiri dalam membentuk karakter yang baik. Perasaan moral dan tindakan moral yang tidak didasari oleh pengetahuan moral yang baik akan menghasilkan hasil yang tidak maksimal. Pengetahuan dan perasaan moral saja tanpa disertai dengan tindakan moral juga tidak akan memiliki fungsi apa-apa sebagai sebuah karakter yang baik.

Pendidikan di Indonesia haruslah mampu mengakomodir semua aspek tersebut.Selama ini yang ktia temui hanya sebatas pada pengetahuan moral tanpa disertai dengan mengasah perasaan moral dan membiasakannya dalam tindakan moral. Pengetahuan yang dilengkapi dengan perasaan akan menimbulkan motivasi tersendiri dalam diri seseorang untuk menghasilkan suatu tindakan moral yang baik.

Kompetensi yang didasari dengan pengetahuan moral yang dikolaborasikan dengan perasaan moral akan memunculkan keinginan seseorang untuk bertindak. Dengan melatih “keinginan” untuk bertindak, manusia akan memiliki kebiasaan yang baik yang akan menjadi karakter pribadinya yang kuat.

Sekolah sebagai institusi yang memberikan pengetahuan mengenai moral harus mampu bersinergi dengan lingkungan dalam melatih perasaan moral anak didiknya.Salah satu caranya ialah dengan penerapan nilai-nilai positif dalam pembelajaran yang dilakukan di sekolah, serta mengasah perasaan moral dengan memperbanyak tindakan atau perilaku yang positif.

Pembiasaan-pembiasaan positif perlu dilakukan di sekolah agar peserta didik mampu mengaplikasikannya secara mandiri di luar sekolah, terutama di masyakarat umum.Dengan harapan bahwa kebiasaan yang terbentuk disekolah mampu diaplikasikan dalam masyarakat sehingga mampu membawa perubahan dalam lingkungan sekitarnya.

Karakter selalu mengingatkan manusia untuk tidak lupa “memperbaiki diri”.Maka karakter dapat didefinisikan sebagai kumpulan sifat baik yang menjadi perilaku sehari-hari, sebagai perwujudan kesadaran menjalankan peran, fungsi dan tugasnya dalam mengemban amanah dan tanggung jawab.[10]

Pendidikan karakter diharapkan mampu membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.

Karakter hanya bisa dididik, ditingkatkan dan disempurnakan terus menerus. Dididik oleh pendidik yang berkarakter, ditingkatkan dalam situasi lingkungan yang berkarakter dan disempurnakan dalam proses dan sistem yang berkarakter.

Dengan memadukan dunia pendidikan dan dunia nyata, pembenahan karakter harus dimulai oleh pucuk pimpinan nasional hingga masyarakat umum.Dua hal yang mendesak harus dilakukan adalah perbaikan sistem sekaligus perbaikan orang yang menjalankan sistem tersebut. Sinergi dari semua pihak akan menjadi kunci utama dalam terlaksananya pendidikan karakter yang akan merubah karakter bangsa ini ke arah yang lebih baik.
By : Hidayat Burhanuddin

DAFTAR PUSTAKA

Falah , Saiful.Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir.Jakarta: Republika, 2012
Fethullah Gulen, Muhamad. Membangun Peradaban Kita, Jakarta: Republika,  2013
Lickona, Thomas.Mendidik Untuk Membentuk Karakter, Jakarta: Bumi Aksara, 2012
Megawangi , Ratna.Semua Berakar Pada Karakter, Jakarta: LPFEUI, 2007
Natsir, M.Capita Selecta 1, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 2008
Sudewo, Erie.Character Building. Jakarta: Republika, 2011


[1] Thomas Lickona, Mendidik Untuk Membentuk Karakter, Jakarta: Bumi Aksara, 2012,  hlm 63
[2] M. Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 2008, hlm 79
[3]Thomas Lickona, op cit; hlm 82
[4]Saiful Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir. Jakarta: Republika, 2012, hlm xv
[6] Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter, Jakarta: LPFEUI, 2007, hlm 58
[7] Muhamad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita, Jakarta: Republika,  2013,  hlm 31
[8] Ibid; hlm 32
[9] Ratna Megawangi, op cit; hlm 83
[10]Erie Sudewo, Character Building. Jakarta: Republika, 2011, hlm 14

No comments:

Post a Comment