GUDANG MAKALAH

Tuesday, 26 August 2014

KENISCAYAAN AKHIRAT 3


BUAH KEPERCAYAAN TENTANG AKHIRAT
Apakah meyakini akhirat ada pengaruhnya terhadap pola hidup orang-orang beriman bagi kehidupanya kini, di sini di dunia ini? Pertanyaan semacam ini perlu kita cari jawabannya, mengingat ternyata tidak sedikit orang-orang yang mengaku dirinya beriman atau meyakini adanya hari akhir atau akhirat namun dalam dalam perilaku kehidupannya tidak mencerminkan sikap terhadap apa yang diyakininya. Kita perlu menemukan jawabannya agar keyakinan tentang adanya hari kemudian tidak sebatas pengakuan di bibir atau di hati saja, namun yang lebih esensi dari itu semua adalah mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata kini, di sini, di dunia ini.
Meyakini adanya akhirat  merupakan bagian dari rukun iman yang enam. Mengetahui, memahami dan mengerti secara mendalam pertanyaan aksiologis tentang hakikat meyakini akhirat merupakan landasan fundamental yang akan menopang dan menumbuhkan kemantapan beragama yang kokoh dan kuat. Keyakinan terhadap akhirat selain memantapkan beragama, juga akan menguatkan landasan etika dan moralitas seorang muslim dalam menjalani kehidupan ini. Di antara buah keyakinan akan hari akhirat, seperti dijelaskan dalam buku “Keniscayaan Hari Akhir” Badan Litbang dan Diklat Kemeneg RI sebagai berikut:[1]
Pertama, meyakini akhirat meneguhkan tujuan hidup seorang muslim meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan beriman kepada akhirat, tujuan hidup seorang muslim tidak hanya untuk meraih kebahagiaan duniawi yang bersifat kebendaan (materi), tetapi juga untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Kedua, beriman kepada akhirat menjadi sumber inspirasi guna melahirkan  etos beramal saleh dengan sebaik-baiknya. Mengingat hidup di dunia ini sangat singkat dan terbatas, maka kesempatan, waktu, tenaga, pikiran dan peluang yang terbatas ini harus bisa dijadikan modal dengan sebaik-baiknya untuk meraih kepuasan, kelezatan dan kenikmatan hidup di akhirat. Ketiga, keyakinan terhadap akhirat merupakan generator yang senantiasa membangkitkan kekuatan moral dalam menegakkan keadilan dena kebenaran. Keyakinan tentang kebangkitan, pertanggungjawaban perbuatan manusia di hadapan Allah serta balasan tentang kebaikan dan keburukan secara obyektif di akhirat adalah sumber mata air yag memancarkan kesegaran dan ketegaran dalam perjuangan dan mewujudkan kebenaran, keadilan, kebaikan dan nilai-nilai kemanusiaan. Keempat, meyakini akhirat merupakan sumber kekuatan moral yang terus menerus membangkitkan etos untuk memperjuangkan persamaan dan keadilan dalam kehidupan pribadi dan sosial. Kelima, meyakini akhirat menekankan prinsip kebebasan memilih agar manusia bertindak atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan dan tekanan dari siapa pun. Namun prinsip kebebasan dalam Islam diimbangi dengan prinsip pertanggungjawaban atas pilihan-pilihan yang diambil dalam hidup ini. Puncak dari kebebasan dalam Islam tercermin dalam kebebasan untuk memilih di antara dua pilihan, beriman kepada Allah atau kufur kepada-Nya. Kebebasan memilih dalam pandangan Islam berujung pada prinsip pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.
Sementara itu M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keyakinan akan adanya hari akhir atau akhirat hendaknya mengantarkan manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif dalam kehidupannya, walaupun aktivitas itu tidak menghasilkan keuntungan materi dalam kehidupan dunianya.[2] Dalam beberapa riwayat, menurut Shihab, dikemukakan bahwa surat tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu. Namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir, dengan alasan bantuannya kepada anak yatim tidak akan menghasilkan apa-apa. Menurut Quraish Shihab hal ini terjadi hanya pada orang yang tidak yakin adanya hari pembalasan. Sekiranya seseorang meyakini adanya hari pembalasan, walaupun tidak menghasilkan sesuatu di dunia, dia sangat yakin bahwa balasan perbuatannya akan diganjar/dibalas di akhirat kelak. Dia akan meyakini bahwa Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan amal baik seseorang di akhirat nanti. Seseorang yang dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke  hari kemudian yang berada di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran atau pendustaan ad-din, baik dalam arti ‘agama’, lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian.

ARTIKEL TERKAIT :

[1]  Muchlis M. Hanafi,  et. al (Ed.), Op. Cit., hlm. 25-33
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Miza, 1996, Bandung, hlm. 63

No comments:

Post a Comment