BUAH KEPERCAYAAN TENTANG AKHIRAT
Apakah meyakini
akhirat ada pengaruhnya terhadap pola hidup orang-orang beriman bagi
kehidupanya kini, di sini di dunia ini? Pertanyaan semacam ini perlu kita cari
jawabannya, mengingat ternyata tidak sedikit orang-orang yang mengaku dirinya
beriman atau meyakini adanya hari akhir atau akhirat namun dalam dalam perilaku
kehidupannya tidak mencerminkan sikap terhadap apa yang diyakininya. Kita perlu
menemukan jawabannya agar keyakinan tentang adanya hari kemudian tidak sebatas
pengakuan di bibir atau di hati saja, namun yang lebih esensi dari itu semua
adalah mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata kini, di sini, di
dunia ini.
Meyakini adanya
akhirat merupakan bagian dari rukun iman
yang enam. Mengetahui, memahami dan mengerti secara mendalam pertanyaan
aksiologis tentang hakikat meyakini akhirat merupakan landasan fundamental yang
akan menopang dan menumbuhkan kemantapan beragama yang kokoh dan kuat.
Keyakinan terhadap akhirat selain memantapkan beragama, juga akan menguatkan
landasan etika dan moralitas seorang muslim dalam menjalani kehidupan ini. Di
antara buah keyakinan akan hari akhirat, seperti dijelaskan dalam buku
“Keniscayaan Hari Akhir” Badan Litbang dan Diklat Kemeneg RI sebagai berikut:[1]
Pertama, meyakini akhirat meneguhkan tujuan hidup seorang muslim meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan beriman kepada akhirat, tujuan hidup
seorang muslim tidak hanya untuk meraih kebahagiaan duniawi yang bersifat
kebendaan (materi), tetapi juga untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Kedua,
beriman kepada akhirat menjadi sumber inspirasi guna melahirkan etos beramal saleh dengan sebaik-baiknya.
Mengingat hidup di dunia ini sangat singkat dan terbatas, maka kesempatan,
waktu, tenaga, pikiran dan peluang yang terbatas ini harus bisa dijadikan modal
dengan sebaik-baiknya untuk meraih kepuasan, kelezatan dan kenikmatan hidup di
akhirat. Ketiga, keyakinan terhadap akhirat merupakan generator yang
senantiasa membangkitkan kekuatan moral dalam menegakkan keadilan dena
kebenaran. Keyakinan tentang kebangkitan, pertanggungjawaban perbuatan manusia
di hadapan Allah serta balasan tentang kebaikan dan keburukan secara obyektif
di akhirat adalah sumber mata air yag memancarkan kesegaran dan ketegaran dalam
perjuangan dan mewujudkan kebenaran, keadilan, kebaikan dan nilai-nilai
kemanusiaan. Keempat, meyakini akhirat merupakan sumber kekuatan moral
yang terus menerus membangkitkan etos untuk memperjuangkan persamaan dan
keadilan dalam kehidupan pribadi dan sosial. Kelima, meyakini akhirat
menekankan prinsip kebebasan memilih agar manusia bertindak atas dasar
kesadaran, bukan karena paksaan dan tekanan dari siapa pun. Namun prinsip
kebebasan dalam Islam diimbangi dengan prinsip pertanggungjawaban atas
pilihan-pilihan yang diambil dalam hidup ini. Puncak dari kebebasan dalam Islam
tercermin dalam kebebasan untuk memilih di antara dua pilihan, beriman kepada
Allah atau kufur kepada-Nya. Kebebasan memilih dalam pandangan Islam berujung
pada prinsip pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.
Sementara itu
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keyakinan akan adanya hari akhir atau
akhirat hendaknya mengantarkan manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas
positif dalam kehidupannya, walaupun aktivitas itu tidak menghasilkan keuntungan
materi dalam kehidupan dunianya.[2]
Dalam beberapa riwayat, menurut Shihab, dikemukakan bahwa surat tersebut turun
berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl yang setiap minggu menyembelih seekor
unta. Suatu ketika seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging
yang telah disembelih itu. Namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir,
dengan alasan bantuannya kepada anak yatim tidak akan menghasilkan apa-apa. Menurut
Quraish Shihab hal ini terjadi hanya pada orang yang tidak yakin adanya hari
pembalasan. Sekiranya seseorang meyakini adanya hari pembalasan, walaupun tidak
menghasilkan sesuatu di dunia, dia sangat yakin bahwa balasan perbuatannya akan
diganjar/dibalas di akhirat kelak. Dia akan meyakini bahwa Allah pasti tidak
akan menyia-nyiakan amal baik seseorang di akhirat nanti. Seseorang yang
dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada di depan sana.
Sikap demikian merupakan pengingkaran atau pendustaan ad-din, baik dalam
arti ‘agama’, lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian.
ARTIKEL TERKAIT :
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Miza, 1996, Bandung, hlm. 63
No comments:
Post a Comment