MAKNA AKHIRAT
Kata akhirah (أخرة)
disebut 115 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini selalu disebut secara tersendiri, di samping dihubungkan dengan
kata daar (دار)
yang berarti negeri atau kampung seperti dalam ungkapan ad-daar al-akhirah,
yang berarti negeri akhirat. Dengan demikian, hari akhir atau hari kiamat
merupakan tahapan yang harus dilewati menuju negeri Akhirat. Selain kata akhirah
(أخرة),
Al-Qur’an juga menggunakan kata al-yaum al-akhir (اليوم الآخر), untuk menunjuk pengertian yang sama, dan
ini terulang sebanyak 26 kali.[1]
Disebut dengan ‘hari akhir’ karena tidak ada lagi hari sesudahnya, sedangkan
penghuni surga telah jelas akan menempati surga dan penduduk neraka akan
menempati neraka.[2]
Penggunaan kata
akhirat dalam Al-Qur’an menunjuk pada pengertian alam yang akan terjadi setelah
berakhirnya alam dunia ini. Dengan kata lain, kata akhirat merupakan antonim
dari kata dunia. Hal ini ditunjukkan dalam QS. Al-Baqarah: 201; QS. Ali Imron:
152.
“Dan
diantara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201)
“…..Diantaramu
ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki
akhirat…..” (QS. Ali Imran: 152)
Akhirat di
dalam Al-Qur’an juga disebut dengan istilah al-ghaib, sedangkan dunia
disebut dengan asy-syahadah. Kata asy-syahadah, menurut M.
Quraish Shihab berarti hadir atau disaksikan, baik dengan mata kepala maupun
mata hati. Jika demikian, yang tidak hadir adalah gaib. Sesuatu yang tidak
disaksikan juga adalah gaib, bahkan sesuatu yang tidak terjangkau oleh panca
indera juga merupakan gaib baik disebabkan oleh kurangnya kemampuan maupun oleh
sebab-sebab lainnya. Ada gaib mutlak yang tidak dapat terungkap sama sekali,
hanya Allah yang mengetahuinya, dan ada pula gaib yang relatif. Puncak dari
segala yang gaib adalah Allah sehingga manusia tidak dapat mengetahui hakekat
Allah.[3]
Karena akhirat merupakan sesuatu yang gaib, maka untuk dapat mengetahui segala
sesuatu yang berkaitan dengannya manusia tidaklah bisa meraihnya melainkan
hanya dengan melalui wahyu.
Dalam
Al-Qur’an, kehidupan akhirat juga diistilahkan dengan istilah al-hayawan
( الحيوان),
sebagaimana disebut dalam QS. Al-‘Ankabut: 64, yakni kehidupan yang berkualitas
atau kehidupan yang sempurna.[4]
Kehidupan akhirat menurut Al-Qur’an adalah kehidupan yang sempurna atau
kehidupan yang lebih berkualitas dibandingkan dengan kehidupan dunia. Allah menjelaskan maksud ayat di atas dengan
ayat berikutnya:
“Dan
Sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan. (Ad-Duha: 4)
Sejalan dengan
penegasan Al-Qur’an bahwa kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang sempurna,
Rasulullah membandingkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat seperti
setetes air dalam telunjuk dibandingkan dengan samudra yang luas. Beliau
menegaskan yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Al-Mustawrid:
“Tidaklah
perumpamaan kehidupan dunia dengan akhirat kecuali seperti salah seorang kamu
mencelupkan jemarinya ke dalam laut, maka lihatlah bagaimana kualitas air yang
jatuh dari jemarinya itu? (Itulah kualitas kehidupan dunia).”
Fazlur Rahman
dalam bukunya “The Major Themes of the Qur’an”,[5]
memberikan beberapa alasan tentang pentingnya kehidupan akhirat. Pertama,
moral dan keadilan sebagai konstitusi realitas menurut Al-Qur’an adalah
kualitas untuk menilai amal perbuatan manusia, karena keadilan tidak dapat
dijamin di kehidupan dunia. Kedua, manusia dapat melihat apa yang telah
diperjuangkannya dan tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan dunia. Ketiga,
segala bentuk perbantahan, perbedaan pendapat, dan konflik antar manusia hanya
bisa diselesaikan di kehidupan akhirat.
Bagi
mereka yang beragama samawi meyakini bahwa kehidupan akhirat sebagai tempat
dimana segala perbuatan seseorang di dalam kehidupan dunia ini akan dibalas. Akhirat
adalah suatu masa dimana manusia harus bertanggung jawab secara individual (QS.
Maryam (19): 95), tidak ada sanak kerabat, teman dan orang-orang yang selama
ini dijadikan sandaran untuk dimintai pertolongan, karena masing-masing sibuk
dengan urusannya sendiri-sendiri (QS. Al-Ma’arij: 10-14; QS. ‘Abasa: 34-37). Mereka
yang meyakini adanya kehidupan akhirat ada yang menyatakan: 'Mudahnya meyakini
adanya kehidupan setelah kematian sama mudahnya dengan meyakini adanya hari
esok setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, adanya memetik setelah
menanam'. Dengan meyakini adanya kehidupan akhirat setelah kehidupan didunia
ini akan menjaga seseorang dari bertindak sesuka hatinya, karena ia yakin
segala hal yang ia perbuat dalam kehidupannya sekarang akan dituainya kemudian
di alam setelah kematian.
Namun
tidak sedikit juga orang yang meragukan akan adanya kehidupan akhirat
(kehidupan setelah kematian). Pada umumnya masyarakat Arab meragukan bahkan
mengingkari hari akhir, sementara yang percaya pun memiliki kepercayaan keliru.
Mereka
berkata: “Jika kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur,
apakah benar-benar kami akan dibangkitkan dalam bentuk makhluk yang baru?”
(QS. Al-Isra: 49)
Mereka
berkata: “Ia (hidup ini) tidak lain kecuali kehidupan kita di dunia saja dan
kita tidak akan dibangkitkan.” (QS. Al-An’am: 29)
Bahkan
mereka bersumpah demi Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh: “Allah tidak
akan membangkitkan orang-orang yang mati.” (QS. An-Nahl: 38)
Terhadap
orang-orang yang meragukan atau mengingkari adanya hari kemudian, Al-Qur’an
menyanggahnya dengan beraneka ragam cara, ada yang langsung dan ada juga yang
secara tidak langsung. Perhatikan misalnya pada (QS. Al-‘Ankabut: 23)
“Orang-orang
kafir yang (mendustakan) ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya mereka itulah
yang berputus asa dari rahmat-Ku, dan buat mereka siksa yang pedih.”
“Sesungguhnya
merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah. Apabila kiamat datang
kepada mereka dengan tiba-tiba mereka berkata: “Alangkah besarnya penyesalan
kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat. Sambil mereka memikul dosa-dosa di
atas punggung mereka. Sungguh amat buruk apa yang mereka pikul itu.”
(QS. Al-An’am: 31)
Selain penggunaan kata akhirat secara langsung, Al-Qur’an
juga menggunakan istilah atau kata lain untuk menggambarkan peristiwa dalam
alam akhirat, antara lain yaum al-qiyamah (يوم
القيامة = hari
kebangkitan) dalam QS. Al-Qashash: 42; yaum ad-din (يوم
الدين = hari
pembalasan) dalam QS. Al-Fatihah: 4; as-sa’ah (الساعة = waktu) dalam QS. Al-Kahfi: 21; yaum
al-fashl (يوم الفصل = hari keputusan) dalam QS. Al-Mursalat:
77; yaum al-hisab (يوم الحساب = hari perhitungan) dalam QS.
Al-Mukmin: 27;
Selain itu juga digunakan istilah yaum al-fath ( الفتح يوم = hari kemenangan) pada Qs. as-Sajadah (32):
29; yaum al-jam‘i (الجمع يوم = hari pengumpulan) dan yaum at-taghabun (التّغابن يوم = hari pengungkapan kesalahan) pada Qs.
at-Taghabun (64): 9; yaum al-khulud (الخلود يوم = hari kekekalan) pada Qs. Qaf (50): 34; yaum
al-khuruj (الخروج يوم = hari keluar) pada Qs. Qaf (50): 42; yaum ‘azhim (عظيم يوم = hari yang besar) pada Qs. al-An‘am (6): 15; yaum
kabir (آبير يوم = hari yang besar) pada Qs. Hud (11): 3; yaum alim (اليم يوم = hari yang menyedihkan) pada Qs. Hud (11):
26; yaum muhith (محيط يوم = hari yang membinasakan) pada Qs. Hud (11): 84; yaum
al-hasrah (الحسرة يوم = hari penyesalan) pada Qs. Maryam (19): 39; yaum
‘aqim (عقيم يوم = hari siksaan) pada Qs. al-Hajj (22): 55; yaum
azh-zhullah (الظلّة يوم = hari naungan) pada Qs. asy-Syu‘ara’ (26): 189; yaum
al-ba‘ts (البعث يوم = hari kebangkitan) pada Qs. ar-Rum (30): 56.
Di samping juga digunakan istilah yaum ath-thalaq ( الطلاق يوم = hari
pertemuan) dalam Qs. al-Mukmin (40): 15; yaum al-azifah ( الآزفة يوم = hari yang
dekat) dalam Qs. al-Mukmin (40): 18; yaum at-tanad ( التّناد يوم hari
panggil-memanggil) dalam Qs. al-Mukmin (40): 32; Qs. al-Waqi‘ah الواقعة) = yang pasti terjadi) dan yaum ma‘lum (معلوم يوم
= hari yang dikenal) dalam Qs.
al-Waqi‘ah (56): 1 dan 50; yaum al-haqq (الحقّ يوم
= hari kebenaran) dalam Qs. an-Naba’
(78): 39; al-yaum al-mau‘ud ( الموعود اليوم = hari yang
dijanjikan) dalam Qs. al-Buruj (85): 2; al-qari‘ah ( القارعة = bencana
yang menggetarkan) dalam Qs. al-Qari‘ah (101): 1 dan alghasyiyah ( الغاشية = pembalasan) dalam Qs. al-Ghasyiyah (88): 1.
Lanjutkan baca.......
KENISCAYAAN AKHIRAT 1
KENISCAYAAN AKHIRAT 2
KENISCAYAAN AKHIRAT 3
Lanjutkan baca.......
KENISCAYAAN AKHIRAT 1
KENISCAYAAN AKHIRAT 2
KENISCAYAAN AKHIRAT 3
[1] Muchlis M. Hanafi, et. al
(Ed.), Keniscayaan Hari Akhir, Tafsir Al-Qur’an Tematik, Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan LItbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
Penerbit Aku Bisa, 2012, Jakarta, hlm. 2
[2] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi
Islam Al-Kamil, Penerbit Darus Sunnah, 2007, Jakarta, hlm. 152
No comments:
Post a Comment