Pendahuluan
Negara
kita berlandaskan pancasila sila yang pertama yaitu ketuhanan yang maha esa.
Kegiatan ibadah ritual sebagian besar masyarakat terlihat baik, bahkan dalam
setiap kali pelaksanaan sholat masjid-mushola selalu ada jamaahnya, lembaga
zakat menjamur bak jamur di musim hujan, setiap tahun masyarakat indonesia yang
berangkat haji tidak kurang dari 200.000 jamaah.[1]
Hal di atas sudah bisa menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat
religius atau dengan bahasa lain tingkat keberagamaannya sudah cukup tinggi.
Namun sebaliknya ada fenomena yang menarik bahwa negara kita di kawasan Asia
dan dunia termasuk negara terkorup. Ini adalah salah satu paradoks negeri dengan penduduk 237 juta jiwa.
Korupsi
telah menjadi budaya, korupsi telah meracuni seluruh instansi baik negeri
maupun swasta, korupsi telah menjadi lazim ketika setiap hari selalu di
pertontonkan berita di televisi, orang sudah tidak kaget apabila
pemimpin-pemimpin negeri melakukan korupsi. Korupsi telah mengendemik dan
mensistemik. Dimanakah letak keberagamaan kita? Apakah ibadah hanya sebatas
ritual saja sehingga tidak merasuk dalam laku?
Problematika
di atas apabila disandingkan dengan pokok permasalahan yaitu tidak adanya
kejujuran dan keadilan. Kejujuran dan keadilan banyak tersebut dalam kitab suci
al-Qur’an namun belum mampu dipahami dan dilaksanakan oleh umatnya. Lihat saja
salah satunya dalam (Q.S. Al-Hadid:25) “Sesungguhnya
kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah kami turunkan bersamamu mereka al-Kitab dan neraca keadilan supaya
manusia dapat melaksankan keadilan.” Demikian juga dalam (Q.S. al-Ahzab :
23) “ Diantara orang-orang mukmin itu ada
orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah.”[2]
Setidaknya dua ayat ini bisa menjadi dasar bahwa kehidupan kita sebagai
seorang muslim harus melaksanakan ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Namun
apabila di runtut penyebab utamanya adalah pendidikan, pendidikan yang di awali
dari lingkungan keluarga, kemudian sekolah, dan masyarakat harus bersama-sama
secara kolektif melakukan pembudayaan perilaku kejujuran dan keadilan, dalam
kata lainnya pendidikan anti korupsi. Hal itu wajib di laksanakan jangan sampai
problem yang sudah endemik ini dibiarkan begitu saja bahkan masuk kedalamnya.
Perlu adanya gerakan nasional yang di awali dari pendidikan.
Nah, dalam makalah ini akan dibincangkan
beberapa permasalahan yang di awali dengan penjelasan akna keadilan dan
kejujuran, fenomena korupsi indonesia, korupsi: pengertian, ruang lingkup, dan
batasannya, rekonstruksi pendidikan Indonesia, korupsi dalam tinjauan
al-Qur’an. Semoga bisa menjadi bahan diskusi yang menarik....
1.
Makna Keadilan dan Kejujuran dalam al-Qur’an
a. Makna Keadilan
Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang
terambil dari bahsa Arab ‘adl. kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa
kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan
dengan hal-hal yang bersifat immaterial. Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
kata “adil” diartikan: 1. Tidak berat sebelah/tidak memihak. 2. Berpihak kepada
keenaran. 3. Sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
Persamaan yang merupakan makna asal kata “adil”
itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula
seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun
yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian ia melakukan
sesuatu yang patut lagi tidak sewenang-wenang. Keadilan dalam al-Qur’an antara
lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth,
al-mizan, dan dengan menafikan
kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman,
‘adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua
pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi persamaan.
Qisth arti asalnya adalah bagian (yang wajar dan
patut) ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. Bukankah “bagian” dapat
saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum daripada
‘adl, dan karena itu pula ketika al-qur’an menuntut seseorang untuk berlaku
adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya. Perhatikan
firman Allah dalam surat Al-Nisa’ : 135
Artinya :
“Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.”
Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti
timbangan. Oleh karena itu, mizan adalah “alat untuk menimbang”. Namun dapat
pula berarti “keadilan”, karena bahasa sering kali menyebut “alat” untuk makna
“hasil penggunaan alat itu”. Lebih tepatnya perbedaan kata al-‘adl, al-Qisth, dan al-Mizan adalah al-‘adl di gunakan sebagai ayat perintah untuk adil dan
kata adil yang terulang 28 kali dalam al-Qur’an ini tidak ada satupun yang
dinisbatkan kepada Allah menjadi sifatnya, berbeda dengan al-Qisth yang merupakan sifat Allah yang memilki sifat
adil, sedang mizan lebih kepada timbangan (neraca).[3]
b.
Makna Kejujuran dalam al-Qur’an
Kejujuran yang
dibicarakan dalam makalah ini merupakan terjemahan umum dari Istilah bahasa
arab as-Shidiq. Agar didapatkan pengertian yang tepat tentang
kata as-Shidiq maka pada bagian ini perlu diuraikan pengertian
dan gagasan dasar dari kata Shidiq tersebut baik secara etimologis dan terminologis.
Secara etimologis kata Shidiq adalah bentuk mashdar dari fi’il shodaqo-yasduqu-shidqon yang berarti lawan dari bohong, awalnya
dipergunkan untuk ucapan-ucapan informatif. Yaitu kesesuaian antara informasi
dengan kenyataan atau kesesuaian pernyataan lisan dengan kenyataan. Dalam kamus
dwi bahasa (Arab-Ingris) didapatkan bahwa as-Shidiq dipadankan dengan kata-kata : truth (kebenaran), trueness (betul/benar), truthfullness (keadaan yang sebenarnya), sincerity (ketulusan, kesungguhan hati), candor (keterusterangan), waracity (kejujuran, ketelitian), woreetness (cara yang benar/kebenaran), truly (sungguh-sungguh), realy (benar-benar). As-shidiq bermakna : a) kesesuaian antara yang dipersepsi
dengan kenyataan. b) kesesuaian antara informasi disampaikan dengan kenyataan.
c) kesesuaian antara lisan, pikiran, dan perbuatan. As-shidiq juga dimaknai kejelasan informasi dan kemantapan
hati/sesuatu yang baik yang tidak dikotori oleh kebohongan dan pengurangan.
Dalam tasawuf as-shidiq dimaknai sebagai. a) kesesuaian antara yang nampak
dantidak nampak. b) pernyataan yang benar dalam situasi yang bahaya sekalipun.
c) loyalitas kepada Allah melalui amal. d) tidak adanya kotoran dalam rohani.
e) ridak adanya keraguan dalam keyakinan dan tidak adanya cacat dalam amalan.
Dalam perspektif tasawuf as-shidiq meliputi aspek mental dan moral. Ia
merupakan pilar segala kebaikan dan merupakan perkembangan dari al-ma’rifah
(pencerahan ruhani).
Berdasarkan
keterangan-keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa as-shidiq (kejujuran) adalah sikap mental dan moral
(budaya/kebiasaan) yang mengedepankan kebenaran, keterusterangan, dan
ketulusan. Seseorang dikatakan jujur apabila dalam menginformasikan sesuatu
atau menyatakan sesuatu ia senantiasa objektif dan apa adanya sesuai dengan
fakta. Seseorang dikatakan jujur dalam berbuat apabila ia melakukan perbuatan
tersebut secara sungguh-sungguh dan tulus sesuai dengan kebenaran yang
diyakininya. Seseorang dikatakan jujur dalam keyakinan apabila loyalitasnya
kepada kebenaran yang diyakininya benar-benar murni, sungguh-sungguh dan tulus.[4]
Orang yang bersikap shidiq disebut shadiq aau shiddiq. Ada beberapa pendapat tentang perbedaan antara shadiq dan shiddiq, shadiq adalah orang memiliki sifat jujur dalam salah satu
aspek kejujuran saja. Sedangkan shiddiq apabila orang tersebut jujur dalam seluruh aspek
kehidupannya.[5]
Adapula yang berpendapat bahwa shadiq apabila sikap jujur tersebut muncul secara
temporal dan belum menjadi habit, artinya seringkali berlaku jujur tetapi pada
saat-saat tertentu iapun berlaku tidak jujur. Sebaliknya shaddiq berarti kejujuran telah menjadi habitnya.[6]
2.
Fenomena
Korupsi di Indonesia
Dalam sebuah
hasil penelitian mautakhir dari transparency International, Indonesia menempati
peringkat 12 dari 133 negara yang di survei.[7]
Menurut penelitian terbaru masih dalam institusi yang sama bahwa menempatkan Indonesia dalam
rangking ke 114 negara terkorup di dunia.[8] Tidak
heran jika selama lebih dari 68 tahun
kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak beranjak dari problem kemiskinan dan
kesengsaraan yang diderita rakyat kecil, bahkan justru semakin tambah
menderita. Menurut Frans Magnis-Suseno, korupsi merupakan bentuk pengkhianatan
paling kejam dan tercela terhadap bangsa. Sebeb korupsi merupakan pengkhiantan
terhadap kejujuran yang merupakan dasar semua orang untuk hidup bersama yang
lainnya.
Terlebih lagi
korupsi sudah menjadi epidemi penyakit karatan yang menghinggapi negara ini.
Pungutan-pungutan liar diharuskan aparat negara ketika masyarakat mengurusi
soal adminduk (KTP/KK), Izin usaha/ pertanahan, jembatan timbang pada angkutan
barang, dalam dunia pendidikan, dan lain-lain. Praktek-praktek ini nampaknya
sudah lazim hingga membudaya.
Apabila kita
runut ke belakang, fenomena mengguritanya korupsi di Indonesia bermula dari perilaku
bangsa kolonial yang amat lama menjajah kita. Pada masa kolonialisme, para penjajah
dengan politik devide at impera-nya (adu domba) melakukan pembusukan terhadap
moral bangsa dengan menjalankan perselingkuhan politik dan wanita bersama
penguasa daerah dan kerajaan, dengan wadah VOC mereka tidak segan-segan untuk
mendukung sekelompok orang yang ingin mendongkel sebuah kekuasaan resmi, asal
mendapatkan keuntungan politik dan materi.[9]
Hancur leburnya tatanan bangsa yang telah di bangun oleh para leluhur kita
akibat hegemoni kolonialisme yang sudah berubah menjadi paradigma masyarakat
indonesia, sehingga yang benar di katakan salah yang salah dikatakan benar.
Kejujuran dan keadilan di anggap tabu, kebohongan dan kemunafikan di anggap
lumrah.
Perkembangan
bangsa ini secara de facto dan de jure telah di percaya atas kemerdekaannya menjadi
negara kesatuan republik Indonesia, namun hegemoni kolonial masih saja hinggap
bahkan merasuk ke dalam relung kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini
berakibat membudayanya korupsi pada birokrasi pemerintahan kita semenjak orde
lama, orde baru hingga reformasi bahkan yang tersebut terkahir sudah masuk
semua ke semua lini baik eksekutif, legislatif, dan daerah. Otonomi daerah yang
seharusnya bertujuan adanya pemerataan yang terjadi malah bancakan (bagi-bagi bahasa jawa) bagi pejabat daerah.
Sudah banyak
langkah praktis dan teoritis dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi. Di
era Soekarno, telah dua kali dilakukan usaha pemberantasan korupsi, antara lain
perangkat undang-undang keadaan bahaya, panitia retooling aparatur negara yang
bertugas melakukan pendataan kekayaan pejabat negara, “Operasi Budhi” yang
bertugas meneliti pada lembaga-lembaga negara yang rawan melakukan praktek korupsi. Pada masa
orde baru dibentuk tim pemberantasan korupsi (TPK) diketuai jaksa agung. Pada masa
reformasi pemerintah mengeluarkan UU nomor 28 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Berlanjut dengan pembuatan
KPKPN dan Ombudsman.[10]
Hingga putusan judicial review
terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh Mahkamah Konstitusi.[11]
Namun nampaknya walaupun pemberantasan selalu dilakukan bahkan semakin ketat
akan tetapi prakteknya semakin merajalela pula bak lingkaran setan.
Bisa kita lihat
di Tahun 2013-2014 banyak rentetan kasus-kasus korupsi yang menghebohkan di
mulai dari Anas Urbaningrum dalam kasus wisma atlet yang konon kecipratan 2,21
M yang di gunakan untuk pencalonannya sebagai ketua Partai Demokrat, Luthfi
Hasan Ishaq sebagai ketua partai dengan jargon paling bersih itu sangat
menghentakkan masyarakat Indonesia karena terjerat kasus Korupsi impor sapi,
selain itu juga terjerat hubungan perselingkuhan dengan banyak wanita. Yang
paling megherankan lagi adalah kasus Akil Mochtar sebagai penegak keadilan
tertinggi negeri ini yaitu ketua Mahkamah Konstitusi yang di suap oleh banyak
kepala daerah dalam PILKADA, baik di lebak Banten, Jatim, dan banyak lagi yang
lainnya. Masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan hukum di negeri ini. Kasus
tubagus Chairi Wardana dan dinasti Atut Chisiyah yang begitu mudahnya memainkan
perpolitikan kekuasaan menyeluruh di prvinsi banten, dengan melakukan suap
terhadap MK. Yang terakhir yang paling menghebohkan lagi kasus Korupsi Hadi
Purnomo mantan Ketua BPK yang sebelumnya menjabat sebagai dirjen pajak itu
merugikan negara sebesar 375 M dalam kasus pajak bank BCA.
Selain tersebut
di atas masih sangat banyak kasus korupsi di negeri ini, dan harus bagaimanakah
merubahnya akan di mulai dari apa?
3.
Korupsi;
pengertian. Ruang lingkup dan batasannya
Korupsi
berarti kecurangan, penyelewengan, penyalahgunaan jabatan, untuk kepentingan
diri, dan pemalsuan.[12]
Andi Hamzah menyebutkan secara harfiah korupsi berasal dari bahasa latin coruptio atau coruptus
yang kemudian turun ke banyak bahasa eropa, seperti bahasa inggris, menjadi
corruption, corrupt, bahasa prancis, corruption, bahasa Belanda Corruptie. Dari
bahasa Bealnda inilah istilah korupsi dalam bahasa Indonesia di terjemahkan.[13]
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, korupsi di artikan buruk, rusak, busuk, suka memakai
barang (uang) yang dipercayakan kepadanya dengan di sogok, dan penyelewengan
atau penggelaan untuk kepentingan pribadi atau orang lain.[14]
Di malaysia juga terdapat peraturan anti korupsi diistilahkan peraturan anti
kerakusan sering pula menggunkan kata resuah, dari bahasa Arab Risywah yang menurut Kamus Arab
Indonesia diartikan dengan korupsi.[15]
Risywah berarti sogokan yakni memberikan harta agar orang yang diberi itu
melakukan korupsi sesuai dengan perintah pemberinya yang tdak sesuai dengan
aturan yang berlaku.[16]
Dalam
memahami korupsi banyak di antara peneliti maupun pakarnya berpendapat yang
seringkali berbeda. Seperti di sampaikan encyclopedia Americana korupsi adalah
hal yang buruk yang bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat
dan bangsa. [17]Sementara
itu S.H. Alatas menggunakan pendekatan sosiologis mengartikan korupsi sebagai
tindak penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Alatas juga
memasukkan nepotisme dalam kelompok korupsi. Namun nepotisme sukar dicari
normanya dalam hukum pidana.[18]
Sementara
itu dari sisi pendekatan ekonomi akutansi. Korupsi adalah kecurangan (Fraud)
yang diidentifikasikan dengan penyuapan, pemberian uang secara ilegal, konflik
kepentingan dan pemerasan bersifat ekonomi. Dari pendekatan politik, korupsi
digunakan untuk melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan kepada
penguasa otoriter, sehingga pemberantasan korupsi lebih dijadikan alat
pembenaran untuk kepentingan politik.[19]
Korupsi dari sisi kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya merupakan upaya
kejahatan yang dipergunakan oleh seseorang atau golong masyarakat dengan cara
mengkaitkan diri dengan sistem politik dan pemerintahan yang ada untuk ikut
bermain dengan maksud merusak atau bekerjanya sistem tersebut.[20]
a.
Tipologi
dan jenis Korupsi
Dari uraian di atas setidaknya kita dapat
menyampaikan korupsi adalah bentuk kecurangan, penipuan, suap, uapaya merai
kekuasaan dengan tidak sesuai aturan. Dari segi tipologi (formulasi kelompok)
korupsi dibedakan dalam tujuh jenis,[21]
pertama, korupsi transaktif, yaitu menunjukkan adanya kesepakatan pemberi dan
penerima demi keuntungan dan ketercapaian apa yang di inginkan antara keduanya.
Kedua, korupsi yang memeras dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna
mencegah keinginan yang mengancam dirinya, ketiga, korupsi investif, yaitu
keuntungan yang dibayangkan yang diperoleh di masa mendatang. Keempat, korupsi
kekerabatan atau biasa dikenal dengan nepotisme, yaitu penunjukan atau
mengutamakan yang tidak sah terhadap teman ataupun sanak saudara untuk memegang
jabatan dalam pemerintahan. Kelima, korupsi defensif, adalah perilaku korban
korupsi dengan pemerasan dalam rangka mempertahankan dirinya. Keenam, korupsi
otogenik, yaitu tindakan korupsi yang melibatkan orang lain ataupun pelakunya
seorang saja. Ketujuh, korupsi dukungan, yaitu korupsi yang dilakukan untuk
mendapatkan dukungan, baik secara langsung ataupun di masa yang akan datang.
b.
Sebab-akibat
Korupsi
Setidaknya ada tiga unsur terpenting
seseorang melakukan korupsi, yaitu adanya tekanan, kesempatan, dan
rasionalisasi.[22]
Unsur pertama adalah unsur tekanan. Pada suatu keadaa tertentu seseorag merasa
mendapat tekanandari orang lain ataupun keadaan, dia berupaya bagaimmisaana
mempertahankan eksistensi dirinya, sehingga mendorong dirinya melakukan
korupsi. Misalnya, bentuk tekanan tersebut berkaitan dengan keuangan, baik itu
keserakahan untuk menguasai ataupun adanya himpitan hutang, ataupun masih
mengalami kerugian. Bentuk tekanan lainnya berhubungan dengan pekerjaan dan
eksternal atau tekanan dari yang lain, misalnya kurang di hargainya kinerja
yang telah di capai, kebutuhan yang besar untuk memenuhi dan membahagiakan
keluarga atau orang yang dicintainya di luar batas kemampuannya.
Unsur kedua kesempatan, dapat
didefinisikan sebagai kewenangan mengendalikan atas suatu aset atau melakukan
akses terhadap aset. Suradi menyebutkan, ada lima faktor yang menyebabkan
kesempatan individu untuk melakukan kecurangan, 1) kurangnya pengendali
pencegahan/ deteksi korupsi. 2) ketidakmampuan menilai kualitas kinerja. 3)
terrbatasnya akses keterbukaan informasi informasi publik. 4) ketidaktahuan,
apatis dan ketidakmampuan. 5) tidak danya jejak audit.[23]
Sementara unsur ketiga rasionalisasi, adalah upaya pembenaran melakukan sesuatu
untuk memuaskan diri maupun golongan walaupun tidak dapat dipertanggungjawabkan
dari sisi norma, moral, dan etika.
Penjelasan berbeda di sampaikan hakim
muda Harahap. Dia berpendapat bahwa ada dua faktor yang menyebabkan seseorang
melakukan korupsi; faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan sesuatu yang disebut ciri kepribadian, fakto eksternal berupa
kebudayaan, kekuasaan, ekonomi, dan kelemahan hukum.[24]
Pada intinya bahwa penyebab utama
korupsi adalah sangat terkait dengan lemahnya karakter dan iman, apabila
seseorang memilki karakter yang kuat hidup berprinsip dan kokoh atas
prinsip-prinsip sebagai kekuatan karakter tersebut, maka jelas tidak akan
tergiur dengan korupsi. Kekuatan karakter tersebut ada pada kekuatan iman
seseorang. Kekuatan iman akan mendorong seseorang mampu menghadapi godaan nafsu
setan, menahan diri dari berbuat maksiat dan perbuatan sia-sia, serta mampu
menahan diri dari hal yang merugikan orang lain seperti tindakan korupsi.
Kekuatan iman mampu mendorong seseorang mampu membaca situasi dan kondisi
dengan benar. Namun kekuatan iman tersebut tidak mudah untuk di tancapkan dalam
hati harus adanya pembiasaan-pembiasaan kegiatan yang mendorongnya yaitu
membaca qur’an dengan artinya serta mampu mempraktekkannya dan majelis ilmu
dengan banyak diskusi, refleksi, serta aksi nyata dalam kehidupan. Bahasa
lainnya adalah mampu menjaga dzikir, fikir, dan amal sholeh.
4.
Rekonstruksi
pendidikan Indonesia; Pendidikan anti-korupsi perspektif al-Qur’an.
Pendidikan
anti korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2005, sebagaiamna disampaikan
pada konferensi “pengembangan kebijakan pendidikan Anti korupsi bagi UIN/IAIN
se-Indonesia di kantor kementrian agama, Jakarta tahun 2006, kurikulum
pendidikan anti korupsi sudah mulai di uji coba di sejumlah kampus, antara lain
di Medan, Malang, Banjarmasin dan Riau.[25]
Sementara itu pada tingkat pendidikan sekolah. Pendidikan anti korupsi
diujicobakan oleh Basuki seorang Guru sekaligus Kepala SMP Keluarga Kudus Jawa
Tengah, pada tahun 2005. Bentuknya ialah melalui pelajaran biasa dan dilakukan
pada jam-jam pelajaran. Pada tahun-tahun berikutnya perubahan dilakukan dalam
praktek pendidikan Anti Korupsi, yaitu dengan menerapkannya langsung pada
praktek sehari-hari, seperti adanya warung kejujuran pada tahun 2006, lalu
telepon kejujuran pada 2007.[26]
Kajian anti korupsi kemudian menjadi isu baru dalam dunia Pendidikan, salah
satunya adalah studi Muhammad Mufid mengenai pendidikan Islam kontra korupsi.[27]
Hal ini kemudian dilanjutkan oleh Kemendikbud kerjasama dengan KPK melalui
peluncuran pendidikan anti korupsi pada tahun ajaran 2012.[28]
Pengertian
pendidikan anti korupsi adalah usaha sadar dan terencana mewujudkan proses
belajar mengajar yang kritis terhadap nlai-nilai dan praksis korupsi.[29]
Dalam prakteknya bukan hanya media transfer pengetahuan saja (kognitif), akan
tetapi juga menekankan pembentukan karakter (afektif), dan sekaligus kesadaran
moral dalam melakukan aksi perlawanan (psikomotorik) terhadap perilaku korupsi.
Pengertian tersebut cukup mewakili Pendidikan Anti Korupsi sebagai mata
pelajaran/ mata kuliah. Akan tetapi pendidikan korupsi tidak akan berjalan
efektif apabila hanya di kelas saja, seharusnya dirumuskan dalam berbagai
kegiatan dan aktivitas pendukungnya. Seperti warung kejujuran, kegaiatan
kepemimpinan (leadership), pembiasaan
kegiatan pembentukan karakter anti korupsi yang terprogram dan terencana serta
kegiatan mutaba’ah yaumiyyah
(evaluasi setiap kegiatan sehari-hari) sebagai upaya melatih kejujuran menilai
diri dan mengkontrol aktifitas sehari-hari, dan lain sebagainya. Sehingga pendidikan
anti korupsi dalam perspektif al-Qur’an yaitu usaha yang dilandasi penuh
kesadaran untuk mengantarkan manusia memiliki karakter anti korupsi dengan
kekuatan imannya menjauhi, mencegah, berjuang, dan berdakwah untuk meninggalkan
maupun menerangi korupsi sebagai perwujudan hamba Allah (‘abid) dan pemimpin
dunia (khalifah fil ardh).[30]
4.
Korupsi Dalam al-Qur’an
Ketika menelaah pengertian korupsi sebagaiamana
tersebutkan di atas, semuanya menunjukkan korupsi adalah sesuatu yang buruk,
rusak, dan merugikan.ti- dak satupun yang menunjukkan kebaikan ataupun
kebajikan.
Al-qur’an merupakan rujukan utama umat muslim dalam
menjalani aktivitas sehari-hari. Pembahasan dan Kandungan maupun filosofinya
sangat luas yang tak pernah habis di kaji oleh peneliti sepanjang masa. Di
bawah ini adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan pendidikan anti korupsi. Ada
enam istilah dalam al-Qur’an yang memperlihatkan kesesuaian arti dengan
korupsi. Enam tersebut memilki arti khusus, yaitu gulul, al-suht, harb, al-sariqah, al-dalwu dan gasab.[31]dari
enam istilah tersebut hanya tiga yang akan di jelaskan sebagai berikut :
1.
Gulul
Term Gulul berarti pengkhianatan yaitu
mengambil sesuatu dan menyembunyikan dalam hartanya. Dalam perubahan tasrif-nya
dalam al-Qur’an terulang 18 kali dalam 14 surat.[32]
Allah berfirman :
161. tidak
mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.
162.
Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali
membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? dan
Itulah seburuk-buruk tempat kembali.
163.
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha melihat
apa yang mereka kerjakan.
164.
sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Ayat di atas turun
ketika perang badar, berkenaan dengan hilangnya permadani merah, kemudian
orang-orang munafik memeberitakan : “Rasulullah barangkali yang mengambilnya
atau barangkali pasukan memanah.” Maka Allah menurunkan ayat tersebut yang
menyangkal tuduhan pengkhianatan Nabi dalam urusan harta rampasan perang (ganimah).[33]
Menurut al-Zuhaily dalam tafsir al-Munir, ayat ini turun ketika pasukan mamanah
meninggalkan markas, ketika ditugaskan oleh Rasulullah pada perang Uhud,
meminta ganimah dan mereka khawatir tidak memperoleh bagian harta rampasan
perang tersebut. Maka Rasulullah bersabda : bukankah aku telah membuat
perjanjian kepadamu untuk tidak meninggalkan markas sehingga datang perintahku
(untuk meninggalkannya)? Merekapun
(pasukan perag) menjawab “kami menugaskan sebagian kami untuk tetap disana”
Rasulullah kemudian bersabda “Bahkan kalian mengira kami akan mengorupsinya
tanpa membaginya ?[34]
Dalam ali Imran :
161-164, Allah kemudian menegaskan bahwa Rasulullah tidak akan pernah melakukan
korupsi berupa gulul dengan mengambil ganimah yang bukan haknya. Allah juga
menegaskan siksaan bagi orang yang melakukannya akan mendapatkan azab di hari
kiamat dengan menjerat lehernya, bahkan Rasulullah pun tidak bisa menolongya di
hari kiamat. Ancaman itu juga ditegaskan kembali dalam al-An’am : 31 yang
menyebut “mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah amat buruklah
apa yang mereka pikul itu.”[35]
Dalam al-Imran 164,
Allah menegaskan perbedaan antara orang yang menaati Allah dan orang yang
durhaka kepadaNya. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa model pendidikan yang
dilakukan Rasulullah, yaitu dengan membaca al-Qur’an (tilawah), pembersihan
jiwa (tazkiyah), dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Karena itu
ayat-ayat al-Qur’an di atas memberikan pelajaran penting yaitu :1) pentingnya
mengetahui teori tentang korupsi, banyak membaca, dan mempelajari al-Qur’an,
memahami korupsi, sebab, akibat maupun jenisnya. 2) menanamkan kejujuran, keadilan,
dan tidak memanfaatkan kekuasaan untuk korupsi. 3) pembentukan karakter anti
korupsi dan melakukan usaha-usaha agar tidak terjerumus dalam korupsi
(tazkiyah). 4) keseimbangan antara balasan dan perbuatan merupakan aturan
ilahi, serta 5) pendidikan dengan hikmah.[36]
2.
Al-Suht
Term al-Suht secara
klasikal berasal dari kata “sabata’ yang memiliki makna memperoleh harta yang haram.[37]
Allah Berfirman dalam Surat al-ma’idah 42:
“mereka itu
adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram
(Seperti uang sogokan dan sebagainya). jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara
mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka
mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan
adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
Al-Zamakhsary
dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah harta haram.[38] Ibn khazom Andad, seperti yang dikutip oleh
al-Qurthubi, menjelaskan al-suht sama artinya dengan suap (risywah).[39]
3.
Al-sariqah
Kata saraqa secara
etimologi bermakna “akhizyu mali al-ghairi khifyatun” (mengambil harta orang
lain secara sembunyi-sembunyi).[40]
Sedangkan secara terminologi kata al-sariqah adalah mengambil harta orang lain
yang bukan miliknya dengan jalan sembunyi-sembunyi tanpa kerelaan pemiliknya.[41]
Allah berfirman dalam al-Quran al-maidah :38:
: Artinya
”laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
Ibn Katsir dalam
tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Amr yang
menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang mencuri.
Maka datanglah orang yang merasa jadi korban kemudian bertanya pada Rasulullah.
“wahai Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami.” Maka wanita itu berkata.
“Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “potonglah tangannya!” kaumnya
berkata “ Kami akan menebusnya dengan lima ratus Dinar.” Maka Nabi SAW pun bersbda,
“potonglah tangannya!”. Maka di potonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu
bertanya, “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertaobat?” jawab Rasul “
Engkau kini telah bersih dari dosamu, sebagaimana engkau lahir dari perut
ibumu.” Kemudian turnlah ayat mengenai ketentuan memotong tangan bagi pelaku
tindak pencurian “ laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya.” (Q.S. al-Ma’idah:38)
Ayat ini memberi gambaran secara
jelas beberapa prinsip penting, yaitu 1) pentingnya penegakan hukum yang adil
dan tegas. 2) membangun kekuatan iman (ghayatul imaniyah), sehingga tidak
tergoda dengan limpahan harta untuk mengkhianati hukum tersebut. 3) menanamkan
tanggung jawab atas apa yang diperbuat,
4) Tazkiyatun nafs/pembersihan diri dengan berani mengakui kesalahan dan
menerima hukuman. Ketika hukum dilaksanakan dan orang yang bersangkutan mau
bertaubat, maka patut untuk di hargai, sebagaimana Rasulullah berkata kepada
perempuan tersebut : “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau
lahir dari perut ibumu.” 5) perlunya menyiapkan generasi berkarakeer kuat
(perkasa) dan bijaksana dalam menghadapi segala persoalan. Karena itulah Allah
menutup ayat yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pencuri yang
berusaha menyuap tersebut, dengan berfirman : “ Allah maha perkasa lagi maha
bijaksana”.[42]
Kesimpulan
1.
Bahwa
perbincangan mengenai kejujuran dan keadilan dalam makalah ini di khususkan
dalam studi kasus fenomena korupsi di Indonesia. Bukan berarti mau mempersempit
dari pada tema tersebut, akan tetapi fenomena korupsi ini bisa menjadi satu
contoh praktek dari ketidak jujuran dan ketidak adilan di negeri ini. Bagaimana
tidak masih sangat banyak terjadinya kesenjangan sosial bagaikan bumi dan
langit. Kasus pencurian helm di slamaran yang di lakukan oleh anak-anak usia
SMP di hajar masa hingga hampir tutup usia.[43]
Sedangkan pencuri berdasi para pelaku koruptor dengan merampas uang negara
milyaran hingga triliunan rupiah hanya di penjara saja ketika tertangkap pun
mereka masih bisa tersenyum tanpa rasa malu sedikitpun, bahkan negara
memberikan fasilitas lebih apabila yang di penjara pejabat negara, walau di
penjara serasa di rumah pribadi.
2. Praktek
korupsi terjadi akibat tidak adanya kejujuran dalam diri setiap pelakunya.
Sehingga dalam makalah ini memberikan tawaran solusi pemberantasan korupsi di
mulai dari pendidikan dengan jalan membudayakan pendidikan anti korupsi, yang
di laksanakan tidak hanya di sekolah saja, akan tetapi di keluaga juga di
masyarakat. Dengan pembudayaan kejujuran maka generasi penerus negeri ini
dengan keyakinan 100% mampu berubah dengan syarat kesadaran kolektif
masyarakat, mindset dan paradigma masyarakatpun diubah. Dengan selalu
menancapkan keimanan dalam sanubari dan ketakwaan dalam tingkah laku.
3.
Praktek korupsi
seperti yang telah dijelaskan dalam beberapa tafsir dari Gulul, Al Suht, dan
al-Sariqah ketiganya begitu mengajarkan kepada kita sebagai umat Rasulullah
Muhammad SAW. seharusnya patuh terhadap apa yang beliau ajarkan yang jelas
tertulis dalam al-Qur’an sebagai firman Allah SWT. Dalam ayat Al-Imran: 164 di
Jelaskan bahwa pendidikan di mulai dari tazkiyatun nafs (pembersihan diri)
artinya bahwa sebelum menerima ilmu harusnyalah jiwa para murid dibersihkan
sehingga mendapatkan ilmu itu dengan cemerlang dan disampaikan dengan cara
penyamapaian hikmah. Dan dalam ayat Al-Ma’idah : 38, juga di jelaskan
tazkiyatun nafs, untuk penguatan karakter siswa dengan cara memperkokoh iman,
sehingga keadilan dalam hukum bisa di tegakkan.
Daftar
Pustaka
Ø Aba Zahrah,
Zahrat al-Tafasir, jilid 3,
Ø Abdul
Halim, Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Kencana:
Jakarta, 2006.
Ø Ahmad Warson
al-Munawwir, Al- Munawwir, Pustaka
Progressif: Surabaya, 1997.
Ø Al-Qurtuby, al-jami’ li ahkam al-qur’an-Tafsir
al-Qurtuby, Dar al-Kutub al-Misriyah : Mesir, 1964.
Ø Al-Zamakhsary,
Tafsir al-Kasysyaf, juz III, Dar al-Ilmiyaj: Beirut, 1968.
Ø Andi
Hamzah, Korupsi di Indonesia: Solusi dan
Pemecahannya, Jakarta : Gramedia, 1984.
Ø Darmawan
Hendro, Kamus Ilmiah Populer Lengkap,
cet-ke 3, Bintang Cemerlang : Yogyakarta, 2011.
Ø Harahap,
Hakim Muda, Ayat-Ayat Korupsi, Gama
Media : Yogyakarta, 2006.
Ø http/
suaramerdeka.com/2012/03/09/ di akses 2 Mei 2014
Ø http;//rangnusantarakata.blogdpot.com/.
di akses 2 mei 2014
Ø http;//www.suarakarya-online.com/.
Di akses 2 mei 2014
Ø Mufid
Muhammad, “Pendidikan Korupsi dalam Perspektif Islam” skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007.
Ø Mustakim
Muhammad, Wawasan al-Qur’an tentang pendidikan korupsi, Jurnal Mukaddimah, Vol 19, No.1,
2013.
Ø Purnomo
Bambang, Potensi Kejahatan Korupsi di
Indonesia,Yogyakarta : Bina Aksara, 1983.
Ø Suradi,
Korupsi dalam Sistem Pemerintah dan Swasta,
Gama Media : Yogyakarta, 2006.
Ø Syamsudin
Amir, KPK dan Asas Retroaktif dalam Jihad Melawan Korupsi, Kompas : Jakarta,
2005.
Ø Taher
Tarmizi, Jihad NU-Muhammadiyah melawan korupsi, dalam Jihad Melawan Korupsi,
Kompas : Jakarta, 2005.
Ø Tim
Penyusun Kamus pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka : Jakarta, 1995.
Ø Wahid
Sholahudin, Agama Budaya, dan
Pemberantasan Korupsi, dalam Jihad
Melawan Korupsi, Kompas : Jakarta. 2005.
Ø Zuhaily
Wahbah, Tafsir al-Munir,
jilid 4, hlm 146, asbabun nuzul.
[1] Sholahudin Wahid, Agama, Budaya,
dan pemberantasan korupsi, dalam jihad melawan korupsi, Kompas:Jakarta, 2005,
hlm. 137.
[2] Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Qur’an dan terjemah, CV Penerbit
J-Art: Bandung, 2005.
[3] M. Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung : Mizan Media Utama,2013, hlm. 148-152.
[4]
http//www.jiaionline.com di akses pada tanggal 9 Juli 2014 pukul 17:00 WIB
[5] Sad Riyadh,
ilm an-Nafs fii al-hadits as-syarif as-syarif (Kairo: mu;asasah iqra’, 2004),
hlm 82.
[6] Muh Abdul Rauf
al-Munawi, attawaquf ‘ala muhimmah at’ta’aruf (Beirut, dar-al-Fikr, 1990), hlm.
451.
[7] Tarmizi Taher, Jihad
Nu-Muhammadiyah melawan korupsi, dalam jihad melawan korupsi, kompas:Jakarta,
2005, hlm. 107-108.
[9] Ibid, Tarmizi Taher, hlm. 108.
[10] Ibid, Tarmizi Taher, hlm. 108-109.
[11] Amir Syamsudin, KPK dan Asas
Retroaktif, dalam jihad melawan korupsi, kompas:Jakarta, 2005, hlm 14.
[12] Hendro Darmawan, dkk., Kamus
Ilmiah Populer Lengkap, cet ke-3 (Yogyakarta:Bintang Cemerlang, 2011), hlm.
342.
[13] Andi Hamzah, Korupsi di
Indonesia: Masalah dan Pemecahannya (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 9.
[14] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), hlm. 527.
[15] Ibid, hlm. 10.
[16] Abu Hasan ‘Ali an-Nahwiy, al-Mukhassas cet-ke 1 (Beirut Dar Ihya’
at-Turas, 1960) hlm. 287. Sebagaimana di sadur Muh. Mustakim dalam jurnal
Mukaddimah, hlm. 6.
[17] Andi Hamzah, Op. Cit. Hlm. 10.
[18] S.H. Alatas, The sociology of Coruption, terj.
Al-Ghozie Usman (Jakarta: LP3ES, 1986), Hlm. 11.
[19] Ahmad Hamzah, Op. Cit, hlm. 10.
[20] Bambang Purnomo, Potensi
Kejahatan Korupsi di Indonesia (Yogyakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 16.
[21] S.H. Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi, hlm ix.
[22] Suradi, Korupsi dalam sektor
Pemerintah dan Swasta, hlm. 8-15.
[23] Suradi, korupsi dalam sektor
pemerintah dan swasta, hlm 13.
[24] Hakim Muda Harahap, Ayat-Ayat
Korupsi (Yogyakarta: Gama Media, 2009), hlm. 21.
[25]
http;//www.suarakarya-online.com/. Di akses 2 mei 2014
[26]
http;//rangnusantarakata.blogdpot.com/. di akses 2 mei 2014
[27] Muhammad Mufid, “Pendidikan anti
korupsi dalam perspektif Islam”, skripsi,
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalihaga Jogjakarta.
[28] http/
suaramerdeka.com/2012/03/09/ di akses 2 Mei 2014
[29] Muhammad Mufid, Op.Cit. hlm. 28.
[30] Muh. Mustakim, Jurnal
Mukaddimah, Vol 19. No. 1, 2013, hlm 11.
[31] H.M Hrahap, ayat-ayat Korupsi,
hlm. 50.
[32] Ibid, hlm. 50.
[33] Ibid, hlm. 55.
[34] Wahbah Zuhaily, Tafsir al-Munir,
jilid 4, hlm 146, dan al wahidy, asbabun nuzul, hlm 72-73.
[35] Ibid, jilid 4, hlm 147.
[36] Aba Zahrah, Zahrat al-Tafasir,
jilid 3, hlm. 1486.
[37] Ahmad Warson al-Munawwir, Al-
Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif), 1997, hlm. 614.
[38] Al-Zamakhsary, Tafsir
al-Kasysyaf, juz III, (Beirut:Dar al-Ilmiyaj, 1968), hlm. 57.
[39] Al-Qurtuby, al-jami’ li ahkam
al-qur’an-Tafsir al-Qurtuby, (Mesir, Dar al-Kutub al-Misriyah, 1964), jilid 6,
hlm. 183.
[40] Ahmad Warson Munawwir, Al-
munawwir, hlm. 628.
[41] Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir
al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 628.
[42] Moh. Mustakim, Wawasan al-Qur’an
tentang pendidikan korupsi, Jurnal Mukaddimah, Vol 19, No.1, 2013, hlm. 17.
[43] Kejadian pada bulan maret 2014
di pantai Slamaran Kota Pekalongan.
No comments:
Post a Comment