GUDANG MAKALAH

Saturday, 16 August 2014

Kejujuran Dan Keadilan Dalam Perspektif Al-Qur’an Studi Fenomena Korupsi Di Indonesia



Pendahuluan
Negara kita berlandaskan pancasila sila yang pertama yaitu ketuhanan yang maha esa. Kegiatan ibadah ritual sebagian besar masyarakat terlihat baik, bahkan dalam setiap kali pelaksanaan sholat masjid-mushola selalu ada jamaahnya, lembaga zakat menjamur bak jamur di musim hujan, setiap tahun masyarakat indonesia yang berangkat haji tidak kurang dari 200.000 jamaah.[1] Hal di atas sudah bisa menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat religius atau dengan bahasa lain tingkat keberagamaannya sudah cukup tinggi. Namun sebaliknya ada fenomena yang menarik bahwa negara kita di kawasan Asia dan dunia termasuk negara terkorup. Ini adalah salah satu paradoks negeri dengan penduduk 237 juta jiwa.

Korupsi telah menjadi budaya, korupsi telah meracuni seluruh instansi baik negeri maupun swasta, korupsi telah menjadi lazim ketika setiap hari selalu di pertontonkan berita di televisi, orang sudah tidak kaget apabila pemimpin-pemimpin negeri melakukan korupsi. Korupsi telah mengendemik dan mensistemik. Dimanakah letak keberagamaan kita? Apakah ibadah hanya sebatas ritual saja sehingga tidak merasuk dalam laku?

Problematika di atas apabila disandingkan dengan pokok permasalahan yaitu tidak adanya kejujuran dan keadilan. Kejujuran dan keadilan banyak tersebut dalam kitab suci al-Qur’an namun belum mampu dipahami dan dilaksanakan oleh umatnya. Lihat saja salah satunya dalam (Q.S. Al-Hadid:25) “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersamamu mereka al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksankan keadilan.” Demikian juga dalam (Q.S. al-Ahzab : 23) “ Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah.”[2] Setidaknya dua ayat ini bisa menjadi dasar bahwa kehidupan kita sebagai seorang muslim harus melaksanakan ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Namun apabila di runtut penyebab utamanya adalah pendidikan, pendidikan yang di awali dari lingkungan keluarga, kemudian sekolah, dan masyarakat harus bersama-sama secara kolektif melakukan pembudayaan perilaku kejujuran dan keadilan, dalam kata lainnya pendidikan anti korupsi. Hal itu wajib di laksanakan jangan sampai problem yang sudah endemik ini dibiarkan begitu saja bahkan masuk kedalamnya. Perlu adanya gerakan nasional yang di awali dari pendidikan.
Nah, dalam makalah ini akan dibincangkan beberapa permasalahan yang di awali dengan penjelasan akna keadilan dan kejujuran, fenomena korupsi indonesia, korupsi: pengertian, ruang lingkup, dan batasannya, rekonstruksi pendidikan Indonesia, korupsi dalam tinjauan al-Qur’an. Semoga bisa menjadi bahan diskusi yang menarik....

1.      Makna Keadilan dan Kejujuran dalam al-Qur’an
a.       Makna Keadilan
Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang terambil dari bahsa Arab ‘adl. kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immaterial. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan: 1. Tidak berat sebelah/tidak memihak. 2. Berpihak kepada keenaran. 3. Sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
Persamaan yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian ia melakukan sesuatu yang patut lagi tidak sewenang-wenang. Keadilan dalam al-Qur’an antara lain dengan kata-kata al-‘adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman, ‘adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi persamaan.

Qisth arti asalnya adalah bagian (yang wajar dan patut) ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. Bukankah “bagian” dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum daripada ‘adl, dan karena itu pula ketika al-qur’an menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa’ : 135
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan adalah “alat untuk menimbang”. Namun dapat pula berarti “keadilan”, karena bahasa sering kali menyebut “alat” untuk makna “hasil penggunaan alat itu”. Lebih tepatnya perbedaan kata al-‘adl, al-Qisth, dan al-Mizan adalah al-‘adl di gunakan sebagai ayat perintah untuk adil dan kata adil yang terulang 28 kali dalam al-Qur’an ini tidak ada satupun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifatnya, berbeda dengan al-Qisth yang merupakan sifat Allah yang memilki sifat adil, sedang mizan lebih kepada timbangan (neraca).[3]

b.      Makna Kejujuran dalam al-Qur’an
Kejujuran yang dibicarakan dalam makalah ini merupakan terjemahan umum dari Istilah bahasa arab as-Shidiq. Agar didapatkan pengertian yang tepat tentang kata as-Shidiq maka pada bagian ini perlu diuraikan pengertian dan gagasan dasar dari kata Shidiq tersebut baik secara etimologis dan terminologis.

Secara etimologis kata Shidiq adalah bentuk mashdar dari fi’il shodaqo-yasduqu-shidqon yang berarti lawan dari bohong, awalnya dipergunkan untuk ucapan-ucapan informatif. Yaitu kesesuaian antara informasi dengan kenyataan atau kesesuaian pernyataan lisan dengan kenyataan. Dalam kamus dwi bahasa (Arab-Ingris) didapatkan bahwa as-Shidiq dipadankan dengan kata-kata : truth (kebenaran), trueness (betul/benar), truthfullness (keadaan yang sebenarnya), sincerity (ketulusan, kesungguhan hati), candor (keterusterangan), waracity (kejujuran, ketelitian), woreetness (cara yang benar/kebenaran), truly (sungguh-sungguh), realy (benar-benar). As-shidiq bermakna : a) kesesuaian antara yang dipersepsi dengan kenyataan. b) kesesuaian antara informasi disampaikan dengan kenyataan. c) kesesuaian antara lisan, pikiran, dan perbuatan. As-shidiq juga dimaknai kejelasan informasi dan kemantapan hati/sesuatu yang baik yang tidak dikotori oleh kebohongan dan pengurangan.

Dalam tasawuf as-shidiq dimaknai sebagai. a) kesesuaian antara yang nampak dantidak nampak. b) pernyataan yang benar dalam situasi yang bahaya sekalipun. c) loyalitas kepada Allah melalui amal. d) tidak adanya kotoran dalam rohani. e) ridak adanya keraguan dalam keyakinan dan tidak adanya cacat dalam amalan. Dalam perspektif tasawuf as-shidiq meliputi aspek mental dan moral. Ia merupakan pilar segala kebaikan dan merupakan perkembangan dari al-ma’rifah (pencerahan ruhani).
Berdasarkan keterangan-keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa as-shidiq (kejujuran) adalah sikap mental dan moral (budaya/kebiasaan) yang mengedepankan kebenaran, keterusterangan, dan ketulusan. Seseorang dikatakan jujur apabila dalam menginformasikan sesuatu atau menyatakan sesuatu ia senantiasa objektif dan apa adanya sesuai dengan fakta. Seseorang dikatakan jujur dalam berbuat apabila ia melakukan perbuatan tersebut secara sungguh-sungguh dan tulus sesuai dengan kebenaran yang diyakininya. Seseorang dikatakan jujur dalam keyakinan apabila loyalitasnya kepada kebenaran yang diyakininya benar-benar murni, sungguh-sungguh dan tulus.[4]

Orang yang bersikap shidiq disebut shadiq aau shiddiq. Ada beberapa pendapat tentang perbedaan antara shadiq dan shiddiq, shadiq adalah orang memiliki sifat jujur dalam salah satu aspek kejujuran saja. Sedangkan shiddiq apabila orang tersebut jujur dalam seluruh aspek kehidupannya.[5] Adapula yang berpendapat bahwa shadiq apabila sikap jujur tersebut muncul secara temporal dan belum menjadi habit, artinya seringkali berlaku jujur tetapi pada saat-saat tertentu iapun berlaku tidak jujur. Sebaliknya shaddiq berarti kejujuran telah menjadi habitnya.[6]

2.      Fenomena Korupsi di Indonesia
Dalam sebuah hasil penelitian mautakhir dari transparency International, Indonesia menempati peringkat 12 dari 133 negara yang di survei.[7] Menurut penelitian terbaru masih dalam institusi yang sama bahwa menempatkan Indonesia dalam rangking ke 114 negara terkorup di dunia.[8] Tidak heran jika selama lebih dari  68 tahun kemerdekaan, bangsa Indonesia tidak beranjak dari problem kemiskinan dan kesengsaraan yang diderita rakyat kecil, bahkan justru semakin tambah menderita. Menurut Frans Magnis-Suseno, korupsi merupakan bentuk pengkhianatan paling kejam dan tercela terhadap bangsa. Sebeb korupsi merupakan pengkhiantan terhadap kejujuran yang merupakan dasar semua orang untuk hidup bersama yang lainnya.

Terlebih lagi korupsi sudah menjadi epidemi penyakit karatan yang menghinggapi negara ini. Pungutan-pungutan liar diharuskan aparat negara ketika masyarakat mengurusi soal adminduk (KTP/KK), Izin usaha/ pertanahan, jembatan timbang pada angkutan barang, dalam dunia pendidikan, dan lain-lain. Praktek-praktek ini nampaknya sudah lazim hingga membudaya.

Apabila kita runut ke belakang, fenomena mengguritanya korupsi di Indonesia bermula dari perilaku bangsa kolonial yang amat lama menjajah kita. Pada masa kolonialisme, para penjajah dengan politik devide at impera-nya (adu domba) melakukan pembusukan terhadap moral bangsa dengan menjalankan perselingkuhan politik dan wanita bersama penguasa daerah dan kerajaan, dengan wadah VOC mereka tidak segan-segan untuk mendukung sekelompok orang yang ingin mendongkel sebuah kekuasaan resmi, asal mendapatkan keuntungan politik dan materi.[9] Hancur leburnya tatanan bangsa yang telah di bangun oleh para leluhur kita akibat hegemoni kolonialisme yang sudah berubah menjadi paradigma masyarakat indonesia, sehingga yang benar di katakan salah yang salah dikatakan benar. Kejujuran dan keadilan di anggap tabu, kebohongan dan kemunafikan di anggap lumrah.   

Perkembangan bangsa ini secara de facto dan de jure telah di percaya atas kemerdekaannya menjadi negara kesatuan republik Indonesia, namun hegemoni kolonial masih saja hinggap bahkan merasuk ke dalam relung kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini berakibat membudayanya korupsi pada birokrasi pemerintahan kita semenjak orde lama, orde baru hingga reformasi bahkan yang tersebut terkahir sudah masuk semua ke semua lini baik eksekutif, legislatif, dan daerah. Otonomi daerah yang seharusnya bertujuan adanya pemerataan yang terjadi malah bancakan (bagi-bagi bahasa jawa) bagi pejabat daerah.

Sudah banyak langkah praktis dan teoritis dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi. Di era Soekarno, telah dua kali dilakukan usaha pemberantasan korupsi, antara lain perangkat undang-undang keadaan bahaya, panitia retooling aparatur negara yang bertugas melakukan pendataan kekayaan pejabat negara, “Operasi Budhi” yang bertugas meneliti pada lembaga-lembaga negara yang  rawan melakukan praktek korupsi. Pada masa orde baru dibentuk tim pemberantasan korupsi (TPK) diketuai jaksa agung. Pada masa reformasi pemerintah mengeluarkan UU nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Berlanjut dengan pembuatan KPKPN dan Ombudsman.[10] Hingga putusan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh Mahkamah Konstitusi.[11] Namun nampaknya walaupun pemberantasan selalu dilakukan bahkan semakin ketat akan tetapi prakteknya semakin merajalela pula bak lingkaran setan.

Bisa kita lihat di Tahun 2013-2014 banyak rentetan kasus-kasus korupsi yang menghebohkan di mulai dari Anas Urbaningrum dalam kasus wisma atlet yang konon kecipratan 2,21 M yang di gunakan untuk pencalonannya sebagai ketua Partai Demokrat, Luthfi Hasan Ishaq sebagai ketua partai dengan jargon paling bersih itu sangat menghentakkan masyarakat Indonesia karena terjerat kasus Korupsi impor sapi, selain itu juga terjerat hubungan perselingkuhan dengan banyak wanita. Yang paling megherankan lagi adalah kasus Akil Mochtar sebagai penegak keadilan tertinggi negeri ini yaitu ketua Mahkamah Konstitusi yang di suap oleh banyak kepala daerah dalam PILKADA, baik di lebak Banten, Jatim, dan banyak lagi yang lainnya. Masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan hukum di negeri ini. Kasus tubagus Chairi Wardana dan dinasti Atut Chisiyah yang begitu mudahnya memainkan perpolitikan kekuasaan menyeluruh di prvinsi banten, dengan melakukan suap terhadap MK. Yang terakhir yang paling menghebohkan lagi kasus Korupsi Hadi Purnomo mantan Ketua BPK yang sebelumnya menjabat sebagai dirjen pajak itu merugikan negara sebesar 375 M dalam kasus pajak bank BCA. 

Selain tersebut di atas masih sangat banyak kasus korupsi di negeri ini, dan harus bagaimanakah merubahnya akan di mulai dari apa?

3.      Korupsi; pengertian. Ruang lingkup dan batasannya
Korupsi berarti kecurangan, penyelewengan, penyalahgunaan jabatan, untuk kepentingan diri, dan pemalsuan.[12] Andi Hamzah menyebutkan secara harfiah korupsi berasal dari bahasa latin coruptio atau coruptus yang kemudian turun ke banyak bahasa eropa, seperti bahasa inggris, menjadi corruption, corrupt, bahasa prancis, corruption, bahasa Belanda Corruptie. Dari bahasa Bealnda inilah istilah korupsi dalam bahasa Indonesia di terjemahkan.[13]

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, korupsi di artikan buruk, rusak, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya dengan di sogok, dan penyelewengan atau penggelaan untuk kepentingan pribadi atau orang lain.[14] Di malaysia juga terdapat peraturan anti korupsi diistilahkan peraturan anti kerakusan sering pula menggunkan kata resuah, dari bahasa Arab Risywah yang menurut Kamus Arab Indonesia diartikan dengan korupsi.[15] Risywah berarti sogokan yakni memberikan harta agar orang yang diberi itu melakukan korupsi sesuai dengan perintah pemberinya yang tdak sesuai dengan aturan yang berlaku.[16]

Dalam memahami korupsi banyak di antara peneliti maupun pakarnya berpendapat yang seringkali berbeda. Seperti di sampaikan encyclopedia Americana korupsi adalah hal yang buruk yang bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa. [17]Sementara itu S.H. Alatas menggunakan pendekatan sosiologis mengartikan korupsi sebagai tindak penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Alatas juga memasukkan nepotisme dalam kelompok korupsi. Namun nepotisme sukar dicari normanya dalam hukum pidana.[18]

Sementara itu dari sisi pendekatan ekonomi akutansi. Korupsi adalah kecurangan (Fraud) yang diidentifikasikan dengan penyuapan, pemberian uang secara ilegal, konflik kepentingan dan pemerasan bersifat ekonomi. Dari pendekatan politik, korupsi digunakan untuk melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan kepada penguasa otoriter, sehingga pemberantasan korupsi lebih dijadikan alat pembenaran untuk kepentingan politik.[19] Korupsi dari sisi kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya merupakan upaya kejahatan yang dipergunakan oleh seseorang atau golong masyarakat dengan cara mengkaitkan diri dengan sistem politik dan pemerintahan yang ada untuk ikut bermain dengan maksud merusak atau bekerjanya sistem tersebut.[20]

a.    Tipologi dan jenis Korupsi
Dari uraian di atas setidaknya kita dapat menyampaikan korupsi adalah bentuk kecurangan, penipuan, suap, uapaya merai kekuasaan dengan tidak sesuai aturan. Dari segi tipologi (formulasi kelompok) korupsi dibedakan dalam tujuh jenis,[21] pertama, korupsi transaktif, yaitu menunjukkan adanya kesepakatan pemberi dan penerima demi keuntungan dan ketercapaian apa yang di inginkan antara keduanya. Kedua, korupsi yang memeras dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah keinginan yang mengancam dirinya, ketiga, korupsi investif, yaitu keuntungan yang dibayangkan yang diperoleh di masa mendatang. Keempat, korupsi kekerabatan atau biasa dikenal dengan nepotisme, yaitu penunjukan atau mengutamakan yang tidak sah terhadap teman ataupun sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan. Kelima, korupsi defensif, adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan dalam rangka mempertahankan dirinya. Keenam, korupsi otogenik, yaitu tindakan korupsi yang melibatkan orang lain ataupun pelakunya seorang saja. Ketujuh, korupsi dukungan, yaitu korupsi yang dilakukan untuk mendapatkan dukungan, baik secara langsung ataupun di masa yang akan datang.


b.   Sebab-akibat Korupsi
Setidaknya ada tiga unsur terpenting seseorang melakukan korupsi, yaitu adanya tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.[22] Unsur pertama adalah unsur tekanan. Pada suatu keadaa tertentu seseorag merasa mendapat tekanandari orang lain ataupun keadaan, dia berupaya bagaimmisaana mempertahankan eksistensi dirinya, sehingga mendorong dirinya melakukan korupsi. Misalnya, bentuk tekanan tersebut berkaitan dengan keuangan, baik itu keserakahan untuk menguasai ataupun adanya himpitan hutang, ataupun masih mengalami kerugian. Bentuk tekanan lainnya berhubungan dengan pekerjaan dan eksternal atau tekanan dari yang lain, misalnya kurang di hargainya kinerja yang telah di capai, kebutuhan yang besar untuk memenuhi dan membahagiakan keluarga atau orang yang dicintainya di luar batas kemampuannya.

Unsur kedua kesempatan, dapat didefinisikan sebagai kewenangan mengendalikan atas suatu aset atau melakukan akses terhadap aset. Suradi menyebutkan, ada lima faktor yang menyebabkan kesempatan individu untuk melakukan kecurangan, 1) kurangnya pengendali pencegahan/ deteksi korupsi. 2) ketidakmampuan menilai kualitas kinerja. 3) terrbatasnya akses keterbukaan informasi informasi publik. 4) ketidaktahuan, apatis dan ketidakmampuan. 5) tidak danya jejak audit.[23] Sementara unsur ketiga rasionalisasi, adalah upaya pembenaran melakukan sesuatu untuk memuaskan diri maupun golongan walaupun tidak dapat dipertanggungjawabkan dari sisi norma, moral, dan etika.
Penjelasan berbeda di sampaikan hakim muda Harahap. Dia berpendapat bahwa ada dua faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi; faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan sesuatu yang disebut ciri kepribadian, fakto eksternal berupa kebudayaan, kekuasaan, ekonomi, dan kelemahan hukum.[24]

Pada intinya bahwa penyebab utama korupsi adalah sangat terkait dengan lemahnya karakter dan iman, apabila seseorang memilki karakter yang kuat hidup berprinsip dan kokoh atas prinsip-prinsip sebagai kekuatan karakter tersebut, maka jelas tidak akan tergiur dengan korupsi. Kekuatan karakter tersebut ada pada kekuatan iman seseorang. Kekuatan iman akan mendorong seseorang mampu menghadapi godaan nafsu setan, menahan diri dari berbuat maksiat dan perbuatan sia-sia, serta mampu menahan diri dari hal yang merugikan orang lain seperti tindakan korupsi. Kekuatan iman mampu mendorong seseorang mampu membaca situasi dan kondisi dengan benar. Namun kekuatan iman tersebut tidak mudah untuk di tancapkan dalam hati harus adanya pembiasaan-pembiasaan kegiatan yang mendorongnya yaitu membaca qur’an dengan artinya serta mampu mempraktekkannya dan majelis ilmu dengan banyak diskusi, refleksi, serta aksi nyata dalam kehidupan. Bahasa lainnya adalah mampu menjaga dzikir, fikir, dan amal sholeh.

4.      Rekonstruksi pendidikan Indonesia; Pendidikan anti-korupsi perspektif al-Qur’an.
Pendidikan anti korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2005, sebagaiamna disampaikan pada konferensi “pengembangan kebijakan pendidikan Anti korupsi bagi UIN/IAIN se-Indonesia di kantor kementrian agama, Jakarta tahun 2006, kurikulum pendidikan anti korupsi sudah mulai di uji coba di sejumlah kampus, antara lain di Medan, Malang, Banjarmasin dan Riau.[25] Sementara itu pada tingkat pendidikan sekolah. Pendidikan anti korupsi diujicobakan oleh Basuki seorang Guru sekaligus Kepala SMP Keluarga Kudus Jawa Tengah, pada tahun 2005. Bentuknya ialah melalui pelajaran biasa dan dilakukan pada jam-jam pelajaran. Pada tahun-tahun berikutnya perubahan dilakukan dalam praktek pendidikan Anti Korupsi, yaitu dengan menerapkannya langsung pada praktek sehari-hari, seperti adanya warung kejujuran pada tahun 2006, lalu telepon kejujuran pada 2007.[26] Kajian anti korupsi kemudian menjadi isu baru dalam dunia Pendidikan, salah satunya adalah studi Muhammad Mufid mengenai pendidikan Islam kontra korupsi.[27] Hal ini kemudian dilanjutkan oleh Kemendikbud kerjasama dengan KPK melalui peluncuran pendidikan anti korupsi pada tahun ajaran 2012.[28]
 
Pengertian pendidikan anti korupsi adalah usaha sadar dan terencana mewujudkan proses belajar mengajar yang kritis terhadap nlai-nilai dan praksis korupsi.[29] Dalam prakteknya bukan hanya media transfer pengetahuan saja (kognitif), akan tetapi juga menekankan pembentukan karakter (afektif), dan sekaligus kesadaran moral dalam melakukan aksi perlawanan (psikomotorik) terhadap perilaku korupsi. Pengertian tersebut cukup mewakili Pendidikan Anti Korupsi sebagai mata pelajaran/ mata kuliah. Akan tetapi pendidikan korupsi tidak akan berjalan efektif apabila hanya di kelas saja, seharusnya dirumuskan dalam berbagai kegiatan dan aktivitas pendukungnya. Seperti warung kejujuran, kegaiatan kepemimpinan (leadership), pembiasaan kegiatan pembentukan karakter anti korupsi yang terprogram dan terencana serta kegiatan mutaba’ah yaumiyyah (evaluasi setiap kegiatan sehari-hari) sebagai upaya melatih kejujuran menilai diri dan mengkontrol aktifitas sehari-hari, dan lain sebagainya. Sehingga pendidikan anti korupsi dalam perspektif al-Qur’an yaitu usaha yang dilandasi penuh kesadaran untuk mengantarkan manusia memiliki karakter anti korupsi dengan kekuatan imannya menjauhi, mencegah, berjuang, dan berdakwah untuk meninggalkan maupun menerangi korupsi sebagai perwujudan hamba Allah (‘abid) dan pemimpin dunia (khalifah fil ardh).[30]

4. Korupsi Dalam al-Qur’an
Ketika menelaah pengertian korupsi sebagaiamana tersebutkan di atas, semuanya menunjukkan korupsi adalah sesuatu yang buruk, rusak, dan merugikan.ti- dak satupun yang menunjukkan kebaikan ataupun kebajikan.
Al-qur’an merupakan rujukan utama umat muslim dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pembahasan dan Kandungan maupun filosofinya sangat luas yang tak pernah habis di kaji oleh peneliti sepanjang masa. Di bawah ini adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan pendidikan anti korupsi. Ada enam istilah dalam al-Qur’an yang memperlihatkan kesesuaian arti dengan korupsi. Enam tersebut memilki arti khusus, yaitu gulul, al-suht, harb, al-sariqah, al-dalwu dan gasab.[31]dari enam istilah tersebut hanya tiga yang akan di jelaskan sebagai berikut :
 
1.      Gulul
Term Gulul berarti pengkhianatan yaitu mengambil sesuatu dan menyembunyikan dalam hartanya. Dalam perubahan tasrif-nya dalam al-Qur’an terulang 18 kali dalam 14 surat.[32] Allah berfirman :
161. tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
162. Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali.

163. (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.

164. sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Ayat di atas turun ketika perang badar, berkenaan dengan hilangnya permadani merah, kemudian orang-orang munafik memeberitakan : “Rasulullah barangkali yang mengambilnya atau barangkali pasukan memanah.” Maka Allah menurunkan ayat tersebut yang menyangkal tuduhan pengkhianatan Nabi dalam urusan harta rampasan perang (ganimah).[33] Menurut al-Zuhaily dalam tafsir al-Munir, ayat ini turun ketika pasukan mamanah meninggalkan markas, ketika ditugaskan oleh Rasulullah pada perang Uhud, meminta ganimah dan mereka khawatir tidak memperoleh bagian harta rampasan perang tersebut. Maka Rasulullah bersabda : bukankah aku telah membuat perjanjian kepadamu untuk tidak meninggalkan markas sehingga datang perintahku (untuk meninggalkannya)?   Merekapun (pasukan perag) menjawab “kami menugaskan sebagian kami untuk tetap disana” Rasulullah kemudian bersabda “Bahkan kalian mengira kami akan mengorupsinya tanpa membaginya ?[34]

Dalam ali Imran : 161-164, Allah kemudian menegaskan bahwa Rasulullah tidak akan pernah melakukan korupsi berupa gulul dengan mengambil ganimah yang bukan haknya. Allah juga menegaskan siksaan bagi orang yang melakukannya akan mendapatkan azab di hari kiamat dengan menjerat lehernya, bahkan Rasulullah pun tidak bisa menolongya di hari kiamat. Ancaman itu juga ditegaskan kembali dalam al-An’am : 31 yang menyebut “mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah amat buruklah apa yang mereka pikul itu.”[35]

Dalam al-Imran 164, Allah menegaskan perbedaan antara orang yang menaati Allah dan orang yang durhaka kepadaNya. Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa model pendidikan yang dilakukan Rasulullah, yaitu dengan membaca al-Qur’an (tilawah), pembersihan jiwa (tazkiyah), dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Karena itu ayat-ayat al-Qur’an di atas memberikan pelajaran penting yaitu :1) pentingnya mengetahui teori tentang korupsi, banyak membaca, dan mempelajari al-Qur’an, memahami korupsi, sebab, akibat maupun jenisnya. 2) menanamkan kejujuran, keadilan, dan tidak memanfaatkan kekuasaan untuk korupsi. 3) pembentukan karakter anti korupsi dan melakukan usaha-usaha agar tidak terjerumus dalam korupsi (tazkiyah). 4) keseimbangan antara balasan dan perbuatan merupakan aturan ilahi, serta 5) pendidikan dengan hikmah.[36]

2.      Al-Suht
Term al-Suht secara klasikal berasal dari kata “sabata’ yang memiliki makna memperoleh harta yang haram.[37] Allah Berfirman dalam Surat al-ma’idah 42:
“mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (Seperti uang sogokan dan sebagainya). jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Al-Zamakhsary dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah harta haram.[38]  Ibn khazom Andad, seperti yang dikutip oleh al-Qurthubi, menjelaskan al-suht sama artinya dengan suap (risywah).[39]

3.      Al-sariqah
Kata saraqa secara etimologi bermakna “akhizyu mali al-ghairi khifyatun” (mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi).[40] Sedangkan secara terminologi kata al-sariqah adalah mengambil harta orang lain yang bukan miliknya dengan jalan sembunyi-sembunyi tanpa kerelaan pemiliknya.[41] Allah berfirman dalam al-Quran al-maidah :38:
: Artinya
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Amr yang menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang mencuri. Maka datanglah orang yang merasa jadi korban kemudian bertanya pada Rasulullah. “wahai Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami.” Maka wanita itu berkata. “Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “potonglah tangannya!” kaumnya berkata “ Kami akan menebusnya dengan lima ratus Dinar.” Maka Nabi SAW pun bersbda, “potonglah tangannya!”. Maka di potonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu bertanya, “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertaobat?” jawab Rasul “ Engkau kini telah bersih dari dosamu, sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu.” Kemudian turnlah ayat mengenai ketentuan memotong tangan bagi pelaku tindak pencurian “ laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (Q.S. al-Ma’idah:38)

Ayat ini memberi gambaran secara jelas beberapa prinsip penting, yaitu 1) pentingnya penegakan hukum yang adil dan tegas. 2) membangun kekuatan iman (ghayatul imaniyah), sehingga tidak tergoda dengan limpahan harta untuk mengkhianati hukum tersebut. 3) menanamkan tanggung jawab atas apa yang  diperbuat, 4) Tazkiyatun nafs/pembersihan diri dengan berani mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Ketika hukum dilaksanakan dan orang yang bersangkutan mau bertaubat, maka patut untuk di hargai, sebagaimana Rasulullah berkata kepada perempuan tersebut : “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu.” 5) perlunya menyiapkan generasi berkarakeer kuat (perkasa) dan bijaksana dalam menghadapi segala persoalan. Karena itulah Allah menutup ayat yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pencuri yang berusaha menyuap tersebut, dengan berfirman : “ Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.[42]

Kesimpulan
1.      Bahwa perbincangan mengenai kejujuran dan keadilan dalam makalah ini di khususkan dalam studi kasus fenomena korupsi di Indonesia. Bukan berarti mau mempersempit dari pada tema tersebut, akan tetapi fenomena korupsi ini bisa menjadi satu contoh praktek dari ketidak jujuran dan ketidak adilan di negeri ini. Bagaimana tidak masih sangat banyak terjadinya kesenjangan sosial bagaikan bumi dan langit. Kasus pencurian helm di slamaran yang di lakukan oleh anak-anak usia SMP di hajar masa hingga hampir tutup usia.[43] Sedangkan pencuri berdasi para pelaku koruptor dengan merampas uang negara milyaran hingga triliunan rupiah hanya di penjara saja ketika tertangkap pun mereka masih bisa tersenyum tanpa rasa malu sedikitpun, bahkan negara memberikan fasilitas lebih apabila yang di penjara pejabat negara, walau di penjara serasa di rumah pribadi.

2.      Praktek korupsi terjadi akibat tidak adanya kejujuran dalam diri setiap pelakunya. Sehingga dalam makalah ini memberikan tawaran solusi pemberantasan korupsi di mulai dari pendidikan dengan jalan membudayakan pendidikan anti korupsi, yang di laksanakan tidak hanya di sekolah saja, akan tetapi di keluaga juga di masyarakat. Dengan pembudayaan kejujuran maka generasi penerus negeri ini dengan keyakinan 100% mampu berubah dengan syarat kesadaran kolektif masyarakat, mindset dan paradigma masyarakatpun diubah. Dengan selalu menancapkan keimanan dalam sanubari dan ketakwaan dalam tingkah laku.

3.      Praktek korupsi seperti yang telah dijelaskan dalam beberapa tafsir dari Gulul, Al Suht, dan al-Sariqah ketiganya begitu mengajarkan kepada kita sebagai umat Rasulullah Muhammad SAW. seharusnya patuh terhadap apa yang beliau ajarkan yang jelas tertulis dalam al-Qur’an sebagai firman Allah SWT. Dalam ayat Al-Imran: 164 di Jelaskan bahwa pendidikan di mulai dari tazkiyatun nafs (pembersihan diri) artinya bahwa sebelum menerima ilmu harusnyalah jiwa para murid dibersihkan sehingga mendapatkan ilmu itu dengan cemerlang dan disampaikan dengan cara penyamapaian hikmah. Dan dalam ayat Al-Ma’idah : 38, juga di jelaskan tazkiyatun nafs, untuk penguatan karakter siswa dengan cara memperkokoh iman, sehingga keadilan dalam hukum bisa di tegakkan.
  










Daftar Pustaka
Ø  Aba Zahrah, Zahrat al-Tafasir, jilid 3,
Ø  Abdul Halim, Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Kencana: Jakarta, 2006.
Ø  Ahmad Warson al-Munawwir, Al- Munawwir, Pustaka Progressif: Surabaya, 1997.
Ø  Al-Qurtuby, al-jami’ li ahkam al-qur’an-Tafsir al-Qurtuby, Dar al-Kutub al-Misriyah : Mesir, 1964.
Ø  Al-Zamakhsary, Tafsir al-Kasysyaf, juz III, Dar al-Ilmiyaj: Beirut, 1968.
Ø  Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia: Solusi dan Pemecahannya, Jakarta : Gramedia, 1984.
Ø  Darmawan Hendro, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, cet-ke 3, Bintang Cemerlang : Yogyakarta, 2011.
Ø  Harahap, Hakim Muda, Ayat-Ayat Korupsi, Gama Media : Yogyakarta, 2006.
Ø  http/ suaramerdeka.com/2012/03/09/ di akses 2 Mei 2014
Ø  http://www.republika.co.id, di akses pada tangal 01/04/2014 pukul 15:20.
Ø  http;//rangnusantarakata.blogdpot.com/. di akses 2 mei 2014
Ø  http;//www.suarakarya-online.com/. Di akses 2 mei 2014
Ø  Mufid Muhammad, “Pendidikan Korupsi dalam Perspektif Islam” skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007.
Ø  Mustakim Muhammad, Wawasan al-Qur’an tentang pendidikan korupsi, Jurnal Mukaddimah, Vol 19, No.1, 2013.
Ø  Purnomo Bambang, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia,Yogyakarta : Bina Aksara, 1983.
Ø  Suradi, Korupsi dalam Sistem Pemerintah dan Swasta, Gama Media : Yogyakarta, 2006.
Ø  Syamsudin Amir, KPK dan Asas Retroaktif dalam Jihad Melawan Korupsi, Kompas : Jakarta, 2005.
Ø  Taher Tarmizi, Jihad NU-Muhammadiyah melawan korupsi, dalam Jihad Melawan Korupsi, Kompas : Jakarta, 2005.
Ø  Tim Penyusun Kamus pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka : Jakarta, 1995.
Ø  Wahid Sholahudin, Agama Budaya, dan Pemberantasan Korupsi, dalam Jihad Melawan Korupsi, Kompas : Jakarta. 2005.
Ø  Zuhaily Wahbah, Tafsir al-Munir, jilid 4, hlm 146, asbabun nuzul.



[1] Sholahudin Wahid, Agama, Budaya, dan pemberantasan korupsi, dalam jihad melawan korupsi, Kompas:Jakarta, 2005, hlm. 137.
[2] Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Qur’an dan terjemah, CV Penerbit J-Art: Bandung, 2005.
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung : Mizan Media Utama,2013, hlm. 148-152.
[4] http//www.jiaionline.com di akses pada tanggal 9 Juli 2014 pukul 17:00 WIB
[5] Sad Riyadh, ilm an-Nafs fii al-hadits as-syarif as-syarif (Kairo: mu;asasah iqra’, 2004), hlm 82.
[6] Muh Abdul Rauf al-Munawi, attawaquf ‘ala muhimmah at’ta’aruf (Beirut, dar-al-Fikr, 1990), hlm. 451.
[7] Tarmizi Taher, Jihad Nu-Muhammadiyah melawan korupsi, dalam jihad melawan korupsi, kompas:Jakarta, 2005, hlm. 107-108.
[8] http://www.republika.co.id, di akses pada tangal 01/04/2014 pukul 15:20.
[9] Ibid, Tarmizi Taher, hlm. 108.
[10] Ibid, Tarmizi Taher, hlm. 108-109.
[11] Amir Syamsudin, KPK dan Asas Retroaktif, dalam jihad melawan korupsi, kompas:Jakarta, 2005, hlm 14.
[12] Hendro Darmawan, dkk., Kamus Ilmiah Populer Lengkap, cet ke-3 (Yogyakarta:Bintang Cemerlang, 2011), hlm. 342.
[13] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 9.
[14] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 527.
[15] Ibid, hlm. 10.
[16] Abu Hasan ‘Ali an-Nahwiy, al-Mukhassas cet-ke 1 (Beirut Dar Ihya’ at-Turas, 1960) hlm. 287. Sebagaimana di sadur Muh. Mustakim dalam jurnal Mukaddimah, hlm. 6.
[17] Andi Hamzah, Op. Cit. Hlm. 10.
[18] S.H. Alatas, The sociology of Coruption, terj. Al-Ghozie Usman (Jakarta: LP3ES, 1986), Hlm. 11.
[19] Ahmad Hamzah, Op. Cit, hlm. 10.
[20] Bambang Purnomo, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia (Yogyakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 16.
[21] S.H. Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi, hlm ix.
[22] Suradi, Korupsi dalam sektor Pemerintah dan Swasta, hlm. 8-15.
[23] Suradi, korupsi dalam sektor pemerintah dan swasta, hlm 13.
[24] Hakim Muda Harahap, Ayat-Ayat Korupsi (Yogyakarta: Gama Media, 2009), hlm. 21.
[25] http;//www.suarakarya-online.com/. Di akses 2 mei 2014
[26] http;//rangnusantarakata.blogdpot.com/. di akses 2 mei 2014
[27] Muhammad Mufid, “Pendidikan anti korupsi dalam perspektif Islam”, skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalihaga Jogjakarta.
[28] http/ suaramerdeka.com/2012/03/09/ di akses 2 Mei 2014
[29] Muhammad Mufid, Op.Cit. hlm. 28.
[30] Muh. Mustakim, Jurnal Mukaddimah, Vol 19. No. 1, 2013, hlm 11.
[31] H.M Hrahap, ayat-ayat Korupsi, hlm. 50.
[32] Ibid, hlm. 50.
[33] Ibid, hlm. 55.
[34] Wahbah Zuhaily, Tafsir al-Munir, jilid 4, hlm 146, dan al wahidy, asbabun nuzul, hlm 72-73.
[35] Ibid, jilid 4, hlm 147.
[36] Aba Zahrah, Zahrat al-Tafasir, jilid 3, hlm. 1486.
[37] Ahmad Warson al-Munawwir, Al- Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif), 1997, hlm. 614.
[38] Al-Zamakhsary, Tafsir al-Kasysyaf, juz III, (Beirut:Dar al-Ilmiyaj, 1968), hlm. 57.
[39] Al-Qurtuby, al-jami’ li ahkam al-qur’an-Tafsir al-Qurtuby, (Mesir, Dar al-Kutub al-Misriyah, 1964), jilid 6, hlm. 183.
[40] Ahmad Warson Munawwir, Al- munawwir, hlm. 628.
[41] Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 628.
[42] Moh. Mustakim, Wawasan al-Qur’an tentang pendidikan korupsi, Jurnal Mukaddimah, Vol 19, No.1, 2013, hlm. 17.
[43] Kejadian pada bulan maret 2014 di pantai Slamaran Kota Pekalongan.

No comments:

Post a Comment