GUDANG MAKALAH

Monday, 25 August 2014

HAKIKAT DUNIA DALAM PERSPEKTIF AL QUR'AN



A.    PENDAHULUAN
Dalam suasana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, masalah manusia dan kehidupan dunia semakin santer dibahas. Masalah ini memang cukup penting, karena ia merupakan titik tolak dalam memberikan pembatasan perhatian karena menyangkut hakikat kehidupan dunia, peran dan manusia dalam kehidupan ini. 
Dari hasil pembatasan ini, kemudian disusun prinsip-prinsip dasar yang menyangkut dalam segala aspek kehidupan manusia : politik, ekonomi, sosial bahkan etika. Dalam arti bahwa bentuk dan sistem aspek-aspek kehidupan tersebut harus ditentukan oleh pengertian hakikat manusia atau sumber-sumber lainnya. Kalau tiada demikian sistem-sistem tersebut akan segera gagal.
Urgensi membahas judul ini lebih terasa lagi setelah telah disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat menjamin kebahagiaan manusia selama nilai-nilainya tidak tunduk di bawah nilai-nilai spiritual. Jawaban para ahli tentang masalah ini sangat berbeda-beda, akibat berbeda landasan pijak, corak pemikiran serta keyakinan masing-masing. Pemikiran tentang evolusi, komunisme, kapitalis dan liberalisme, dan lain sebagainya. Di samping kenyataan kehidupan manusia yang multikompleks, baik dari segi fisik maupun dari psikis.
Dengan kajian dan pemahaman yang benar tentang apa hakikat kehidupan dunia, hakikat manusia dan peranan manusia menrurut Al Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW diharapkan umat Islam tidak terjebak dengan pemahaman-pemahaman dan pikiran yang mengarah ke jalan kesesatan.

B.     AL QUR’AN DAN HAKIKAT DUNIA
Ketika Allah menggambarkan tentang sesuatu di dalam Al-Quran, tentu ada maksud dan hakikat yang ingin disampaikan, boleh jadi akan keterkaitan gambaran tersebut dengan sebuah nilai atau karena ada hubungannya dengan aktualisasi keimanan terhadap diri pribadi dan kehidupan nyata.
Gambaran Al-Quran tentang kehidupan dunia di dalam banyak ayat hampir sama dan serupa yang berpulang pada suatu muara bahwa kehidupan dunia adalah permainan, senda gurau dan kenikmatan yang sedikit. 

Artinya : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20).[1]

Tatkala kehidupan dunia diukur dengan ukuran duniawi dan timbangan duniawi, tampaklah pada mata dan rasa sebagai sesuatu yang besar dan mencengangkan. Namun, tatkala diukur dengan timbangan akhirat, tampaklah sebagai sesuatu yang hina dan tak berarti. Di dalam ayat ini dunia digambarkan demikian, sehingga ia tampak seperti permainan anak-anak jika dikaitkan dengan kesungguhan yang ada di akhirat yang menjadi muara seluruh penghuni dunia setelah sebelumnya sebagai mainan kehidupan.  Kedengarannya terlalu ekstrim memang, jika dianggap hanyalah permainan anak kecil dan senda gurauan yang melenakan, apabila hal itu dihubungkan dengan realitas keseharian yang menyita perhatian penduduknya, yang di sana ada kompetisi dan keseriusan dalam mencapai tujuan-tujuan hidup masing-masing orang. Namun itulah gambaran yang Allah berikan atas dunia ini, bukan tanpa alasan dan tujuan.

Sayyid Qutb menjelaskan dalam tafsirnya, “Tujuan ayat ini ialah untuk meluruskan ukuran perasaan dan nilai-nilai psikologis serta mengatasi tipuan harta yang cepat sirna serta daya tariknya yang mengikat ke bumi. Pandangan atas kehidupan dunia yang seperti ini sangat diperlukan oleh seorang mukmin dalam rangka mengaktualisasikan keimanannya, bahwa di sana ada dorongan akan kehidupan dunia yang melalaikan dan tuntutan akhirat yang membuat dirinya melambung tinggi ke langit karena menginginkan sesuatu yang abadi, tanpa henti dan tanpa akhir dan tak pernah habis”. Oleh sebab itulah dalam ayat ini Al-Quran mengilustrasikan dunia dengan perumpamaan yang mengesankan bahwa dunia itu “seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan petani”. Di sini kata “al-kuffar” diartikan petani, karena secara bahasa kafir berarti penanam karena ia suka menutupi biji ke dalam tanah. Penggunaan kata itu di sini merupakan sindiran kepada orang-orang kafir yang yang terpesona oleh kehidupan dunia. Karena bagi orang beriman gambaran dunia itu telah jelas, merupakan tempat singgah menuju kehidupan haqiqi. Hal ini juga disebutkan pula bahwa kehidupan dunia membuat orang-orang kafir terkagum-kagum, karena mereka itu adalah makhluk yang paling rakus dan paling cenderung kepada kehidupan dunia. “kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.” Tanaman berupa padi, jagung atau apapun setelah dipanen maka ia akan mengering lalu hancur karena ia memiliki batas akhir. Seluruh rangkaian kehidupan berakhir dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan yang biasa dilihat manusia. Dunia berakhir dalam pandangan kehancuran. Hal ini memperingatkan, bahwa kehidupan dunia, pertama muda belia kemudian menginjak remaja, dewasa kemudian menjadi tua, lemah tak berdaya lagi.  Adapun permasalahan akhirat sungguh berbeda dari permasalahan dunia. Suatu permasalahan yang layak untuk diperhitungkan, dicermati dan tentunya dipersiapkan. Karena akhirat tidak pernah berakhir dengan kehancuran seperti hancurnya tanaman yang telah mencapai batas akhir. Ayat ini ditutup dengan: “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Kesenangan ini tidaklah memiliki substansi karena topangannya berupa tipuan dan kemayaan. Di samping itu, duniapun melenakan dan melupakan, karena memang begitulah permainan jika sedang asyik dimainkan, kadang seorang lupa makan dan ibadah. Dunia itu sendiri merupakan kenyataan tatkala hati mencari hakikat dengan mendalam. Ia merupakan hakikat yang Al-Quran tidak bermaksud memisahkan manusia dari kehidupan dunia dan tidak bermaksud supaya dia mengabaikan pengolahan dan penataannya, karena manusia itu diserahi pekerjaan ini. Pekerjaan yang besar dan agung sebagai khalifah Allah di muka bumi.

 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat,"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. Al-Baqoroh: 30).[2]

Karena itu, Allah menyeru manusia supaya berkompetisi di arena pertandingan yang hakiki untuk meraih tujuan yang berhak dimiliki oleh pemenang. Tujuan yang menjadi akhir tempat kembali mereka, yang memastikan mereka tinggal di alam keabadian. Dunia merupakan ladang menanam amal shaleh sebanyak-banyaknya sebagai investasi masa depan (akherat), sebagaimana hadis “Dunia adalah ladang (untuk) akherat”. Allah memberi kebebasan kepada manusia menggunakan dunia ini, mau ditanami dengan amal yang baik maupun ditanami dengan amal jelek diserahkan sepenuhnya kepada manusia ( فمن شاء فاليؤمن ومن شاء فاليكفر), namun Allah telah memberi kita akal untuk berfikir dan hidayah Al Qur’an sebagai alat untuk berfikir dan menganalisa bagaimana sebaiknya mengambil sikap yang dapat mengantarkan kita mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun keberuntungan hidup di akherat.

C.    HAKEKAT MANUSIA PERSPEKTIF AL QUR’AN
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi, manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.
Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikaruniai akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan. Hakikat wujud manusia menurut Ahmad Tafsir, adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu dalam dua garis besar yaitu cenderung menjadi orang baik dan cenderung menjadi orang jahat. Manusia berada diantara naluri dan nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia berperilaku, baik perilaku yang positif maupun yang negatif. Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus diikuti dengan nurani yang tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi) dipahami sebagai superego, sebagai conscience atau sebagai nafsu muthmainnah (dorongan yang positif).
Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia bukan sekedar to live (bagaimana memiliki) dan to survive (bagaimana bertahan), melainkan juga to exist (bagaimana keberadaannya). Untuk itu, maka manusia memerlukan pembekalan yang kualitatif dan kuantitatif yang lebih baik daripada hewan. Manusia bisa berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak. Tetapi kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal sehat, melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya, sambil berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang negatif dan destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya sadar untuk mewujudkan kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara bertangung jawab.
Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan pertimbangan aqliah yang dikaruniai Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang paling murni. Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas tentang manusia. walaupun demikian, persoalan tentang manusia akan menjadi misteri yang tak terselesaikan.
Hal ini menurut Husein Aqil al-Munawwar dalam Jalaluddin, karena keterbatasan pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia. Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang istimewa agaknya memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh rahasia. Sesungguhnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya namun tidak mengetahui hakikat manusia itu sendiri secara utuh.[3]
Namun ada suatu prinsip, di saat tidak atau belum mampu untuk mengetahui sesuatu, maka adalah wajar dan lebih berguna untuk beralih dari mencari fenomina atau hakikat itu kepada pembehasan tentang fenomena yang menyangkut masalah tersebut, seperti: potensi, keistimewaan, ciri-ciri khas, fungsi dan kegunaan masalah yang dihadapi. Pembahasan tersebut dapat mengantarkan kita kepada kunci yang dapat mmembuka tabir suatu hakikat.
Dengan demikian, memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui segala aspek yang terdapat pada diri manusia itu adalah selain keterbasan para ilmuan untuk mengkajinya, juga dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu sendiri. Walaupun demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha untuk mempelajarinya tidaklah berhenti begitu saja. Banyak sumber yang mendukung untuk mempelajari manusia. Di antara sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Yang mana di dalamnya banyak terdapat petunjuk-petunjuk tentang penciptaan manusia. Konsep-konsep tentang manusia banyak dibahas, mulai dari proses penciptaan sampai kepada fungsinya sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dalam makalah ini,  kami berupaya untuk menguraikan secara sederhana tentang hakikat manusia dan kedudukannya di alam semesta. Yang sudah tentu hal ini merupakan kajian untuk mempelajari penciptaan manusia.
a.                      Konsep al-Basyr
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.
Penggunaan istilah bani Adam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf  nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Menurut Abdul Mukti Ro’uf , kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna.[4] Menurut Jalaluddin, mengatakan bahwa berdasarkan konsep basyr, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di dalam rahim, pembentukan fisik (QS. Al Mukminun (23) : 12-14);
2. Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut (QS. Al Mukmin (40) : 67).
Secara sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain. Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriyahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya.[5]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
b.                     Konsep Al-Insan
Kata insan bila dilihat asal kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya, dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk dididik.
Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Jelas sekali bahwa dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.[6]
c.                      Konsep An-Nas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesies di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas.[7]
d.                     Konsep Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.[8] Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat.
Menurut Thabathaba’i, penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu:
Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup auratnya.
Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran.
Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya.
Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain. Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13.
e.                      Konsep Al-Ins
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin, memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur.[9]  Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak .
Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia yang insia itu merupakan kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. bersifat halus dan tidak biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam “antah berantah” dan alam yang tak terinderakan. Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.[10]
f.                      Konsep Abd Allah
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Selain itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri. [11]
Menurut M.Quraish Shihab, Ja’far al-Shadiq memandang ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1.   Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan Allah;
2.   Menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
3.   Dalam mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, manusia merupakan hamba yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah. Yaitu dengan mentaati segala aturan-aturan Allah.
g.                     Konsep Khalifah Allah
Bilamana kita membahas konsep manusia sebagai khalifah Allah, tentu tidak akan terlepas dari eksistensi dan peranan manusia itu sendiri. Pada hakikatnya eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak Penciptanya. Menurut Jalaluddin, peran yang dilakonkan oleh manusia menurut statusnya sebagai khalifah Allah setidak-tidaknya terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horizontal dan jalur vertikal.
Peran dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peran dalam jalur vertikal menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah. Dalam peran ini manusia penting menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penegasan dari Penciptanya.[12]

D.    TUGAS DAN PERAN MANUSIA DI DUNIA
1.   Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda. manusia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain salah satunya manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk penciptaan namun kemuliaan manusia bukan terletak pada penciptaannya yang baik tetapi tergantung pada; apakah dia bisa menjalankan tugas dan peran yang telah digariskan Allah atau tidak bila tidak maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka dengan segala kesengsaraannya.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. At-Tiin ayat 7 yang artinya :
 Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin : 7)

2.   Ada tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia. sebagai seorang muslim kita bukan hanya harus mengetahuinya tetapi menjalankannya dalam kehidupan ini agar kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan. Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yang dilakukan oleh manusia dan sebagai apa pun dia seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya.

 “Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56).

3.   Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah SWT paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi. Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu amal karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya tanpa keikhlasan amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat apalagi amal yang jelas-jelas berat utk dilaksanakan tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat utk mengamalkannya. Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar bukan membenarkan segala cara sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah SWT maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ketiga adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah SWT. Ketiga, khalifah Allah di muka bumi, nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah SWT harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya manusia diperankan oleh Allah SWT sebagai khalifah Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya.
Allah SWT berfirman

 “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”(QS.Al Baqarah:30)

Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan ini merupakan perkara yang sangat mendasar utk bisa diterapkan. Tanpa kebenaran dan keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya.
4.   Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapa pun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah SWT kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya.

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. An Nisa’:58)

Mengingat keadilan begitu penting bagi upaya mewujudkan kehidupan yang baik keharusan berlaku adil tetap ditegakkan meskipun kepada orang yang kita benci sehingga jangan sampai karena kebencian kita kepadanya keadilan yang semestinya ia ni’mati tidak bisa mereka peroleh. Manakala keadilan bisa ditegakkan maka masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT cepat atau lambat akan terwujud.
Allah berfirman
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu utk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah:8)


5.   Membangun Peradaban Kehidupan dan martabat manusia sangat berbeda dengan binatang. Binatang tidak memiliki peradaban sehingga betapa rendah derajat binatang itu. Adapun manusia dicipta oleh Allah SWT untuk membangun dan menegakkan peradaban yang mulia karenanya Allah SWT menetapkan manusia sebagai pemakmur bumi ini. Allah berfirman yang artinya “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan pemakmurnya.” . Dan lebih spesifik lagi bahwa pengelola bumi ini kaum mukmin yang shalih mengambil peran aktiv dalam pengelolaan bumi ini, jangan hanya menjadi penonton dan kaum muslim justru dengan dalih untuk mencari jalan guna mendekat dengan Allah, malah meninggalkan dunia yang telah diwariskan Allah kepadanya “Sesungguhnya bumi itu pewarinya adalah hamba-hamba yang shalih”, sehingga yang terjadi selama ini yang mengelola bumi ini justru orang-orang kafir. Untuk bisa membangun kehidupan yang beradab ada lima pondasi masyarakat beradab yang harus diwujudkan dan diperjuangan pelestariannya yaitu :
Pertama nilai-nilai agama Islam yang datang dari Allah SWT
kedua akal yang merupakan potensi besar utk berpikir dan merenungkan segala sesuatu. Ketiga harta yang harus dicari secara halal dan bukan menghalalkan segala cara.
Keempat, kehormatan manusia dengan akhlaknya yang mulia yang harus dijaga dan dilestarikan.
kelima keturunan atau nasab manusia yang harus jelas sehingga dalam masalah hubungan seksual misalnya manusia tidak akan melakukannya kepada sembarang orang.
Manakala manusia tidak mampu membangun peradaban sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT maka martabat manusia akan menjadi lebih rendah dari binatang hal ini karena manusia bukan hanya memiliki potensi fisik yang sempurna dibanding binatang juga manusia punya botensi berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada para Nabi.
Dalam kaitan kemungkinan manusia menjadi lebih rendah atau lebih sesat dari binatang bahkan binatang ternak dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar . Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” . (QS. Al A’raf : 179).

Dari keterangan di atas menjadi jelas bagi kita bahwa kemuliaan manusia sangat tergantung pada apakah ia bisa menjalankan tugas dan perannya dengan baik atau tidak bila tidak maka kemuliaannya sebagai manusia akan jatuh ke derajat yang serendah-rendah dan ia akan kembali kepada Allah dengan kehinaan yang sangat memalukan dan di akhirat ia menjadi hamba Allah yang mengalami kerugiaan yang tidak terbayangkan.

E.     PENUTUP
Dunia diciptakan Allah sebagai tempat kehidupan semua makhluk-Nya. Allah dengan sifat Ar Rahman-Nya, memberi kebebasan orang untuk menentukan jalan hidupnya di dunia ini sebab Allah telah memberi bekal akal pikiran dan hidayah wahyu bagi manusia. Semua keputusan manusia untuk memilih jalan hidupnya akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat. Orang-orang yang menggunakan akalnya dan berdasar wahyu-Nya akan memilih jalan yang diridhoi-Nya.
Dunia ini adalah tempat berkompetisi, berkreasi, inovasi bagi manusia sebagaimana hakikat manusia diciptakan (konsep al-insan), namun kreativitas dan inovasi manusia seharusnya didasarkan akal yang jernih dan wahyu Allah, agar peran manusia sebagai khalifah di bumi ini dapat dijalankannya dan untuk beribadah (konsep ‘abdullah) kepada Allah dengan berorientasi kebahagiaan dunia dan akherat.
Kita jangan terlena gemerlapnya kehidupan dunia, yang menyebabkan jauh dari jalan Allah sebab dunia ini hanya sebagai permainan dan cobaan, orang Islam harus mampu menjadi pemain yang baik dan mampu mengendalikan permainan serta dalam kompetisi hidup di dunia ini, namun sebaliknya Orang-orang shaleh jangan malah menjauhi bahkan meninggalkan dunia dengan dalih mendekatkan Allah, sebab hakikatnya dunia ini pewarisnya adalah orang-orang yang shalih.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mukti Ro’uf, Manusia Super, Pontianak: STAIN Pontianak Press. 2008.

Ahmad Yani Al-Islam -  Aisyah Bintu Syati Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia,  Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an,  Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.

Depag RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Penerbit J-Art, 2005.

Jalaluddin, Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Mizan, Bandung. 1997.

-------------------------,Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan. 1996.

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, jld. 4, Gema Insani Press, Jakarta. 2000.


[1] Depag RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit J-Art, 2005), hlm. 541
[2] Depag RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, … , hlm. 3
[3] Jalaluddin, Teologi Pendidikan,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.20

[4] Abdul Mukti Ro’uf,  Manusia Super, (Pontianak: STAIN Pontianak Press. 2008), hlm. 74
[5] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung : Mizan. 1996), hlm. 275
[6] Ahmad Yani Al-Islam - Aisyah Bintu Syati Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia,  Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999), hlm. 145
[7] Ahmad Yani Al-Islam - Aisyah Bintu Syati Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia, Op. Cit, hlm. 153
[8] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, ( Bandung : Mizan. 1996), hlm. 278
[9] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 28
[10] Ahmad Yani Al-Islam -  Aisyah Bintu Syati Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia,  Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an, …, hlm. 157
[11] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.29
[12] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.31

No comments:

Post a Comment