A.
PENDAHULUAN
Dalam
suasana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, masalah manusia dan
kehidupan dunia semakin santer dibahas. Masalah ini memang cukup penting,
karena ia merupakan titik tolak dalam memberikan pembatasan perhatian karena
menyangkut hakikat kehidupan dunia, peran dan manusia dalam kehidupan ini.
Dari
hasil pembatasan ini, kemudian disusun prinsip-prinsip dasar yang menyangkut
dalam segala aspek kehidupan manusia : politik, ekonomi, sosial bahkan etika.
Dalam arti bahwa bentuk dan sistem aspek-aspek kehidupan tersebut harus
ditentukan oleh pengertian hakikat manusia atau sumber-sumber lainnya. Kalau
tiada demikian sistem-sistem tersebut akan segera gagal.
Urgensi
membahas judul ini lebih terasa lagi setelah telah disadari bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi belum dapat menjamin kebahagiaan manusia selama
nilai-nilainya tidak tunduk di bawah nilai-nilai spiritual. Jawaban para ahli
tentang masalah ini sangat berbeda-beda, akibat berbeda landasan pijak, corak
pemikiran serta keyakinan masing-masing. Pemikiran tentang evolusi, komunisme,
kapitalis dan liberalisme, dan lain sebagainya. Di samping kenyataan kehidupan
manusia yang multikompleks, baik dari segi fisik maupun dari psikis.
Dengan
kajian dan pemahaman yang benar tentang apa hakikat kehidupan dunia, hakikat
manusia dan peranan manusia menrurut Al Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW
diharapkan umat Islam tidak terjebak dengan pemahaman-pemahaman dan pikiran
yang mengarah ke jalan kesesatan.
B.
AL
QUR’AN DAN HAKIKAT DUNIA
Ketika
Allah menggambarkan tentang sesuatu di dalam Al-Quran, tentu ada maksud dan
hakikat yang ingin disampaikan, boleh jadi akan keterkaitan gambaran tersebut
dengan sebuah nilai atau karena ada hubungannya dengan aktualisasi keimanan
terhadap diri pribadi dan kehidupan nyata.
Gambaran
Al-Quran tentang kehidupan dunia di dalam banyak ayat hampir sama dan serupa
yang berpulang pada suatu muara bahwa kehidupan dunia adalah permainan, senda
gurau dan kenikmatan yang sedikit.
Artinya : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS.
Al-Hadid: 20).[1]
Tatkala
kehidupan dunia diukur dengan ukuran duniawi dan timbangan duniawi, tampaklah
pada mata dan rasa sebagai sesuatu yang besar dan mencengangkan. Namun, tatkala
diukur dengan timbangan akhirat, tampaklah sebagai sesuatu yang hina dan tak
berarti. Di dalam ayat ini dunia digambarkan demikian, sehingga ia tampak
seperti permainan anak-anak jika dikaitkan dengan kesungguhan yang ada di
akhirat yang menjadi muara seluruh penghuni dunia setelah sebelumnya sebagai
mainan kehidupan. Kedengarannya terlalu
ekstrim memang, jika dianggap hanyalah permainan anak kecil dan senda gurauan
yang melenakan, apabila hal itu dihubungkan dengan realitas keseharian yang
menyita perhatian penduduknya, yang di sana ada kompetisi dan keseriusan dalam
mencapai tujuan-tujuan hidup masing-masing orang. Namun itulah gambaran yang
Allah berikan atas dunia ini, bukan tanpa alasan dan tujuan.
Sayyid
Qutb menjelaskan dalam tafsirnya, “Tujuan ayat ini ialah untuk meluruskan
ukuran perasaan dan nilai-nilai psikologis serta mengatasi tipuan harta yang
cepat sirna serta daya tariknya yang mengikat ke bumi. Pandangan atas kehidupan
dunia yang seperti ini sangat diperlukan oleh seorang mukmin dalam rangka
mengaktualisasikan keimanannya, bahwa di sana ada dorongan akan kehidupan dunia
yang melalaikan dan tuntutan akhirat yang membuat dirinya melambung tinggi ke
langit karena menginginkan sesuatu yang abadi, tanpa henti dan tanpa akhir dan
tak pernah habis”. Oleh sebab itulah dalam ayat ini Al-Quran mengilustrasikan
dunia dengan perumpamaan yang mengesankan bahwa dunia itu “seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan petani”. Di sini kata “al-kuffar” diartikan petani, karena secara bahasa kafir berarti
penanam karena ia suka menutupi biji ke dalam tanah. Penggunaan kata itu di
sini merupakan sindiran kepada orang-orang kafir yang yang terpesona oleh
kehidupan dunia. Karena bagi orang beriman gambaran dunia itu telah jelas,
merupakan tempat singgah menuju kehidupan haqiqi. Hal ini juga disebutkan pula
bahwa kehidupan dunia membuat orang-orang kafir terkagum-kagum, karena mereka
itu adalah makhluk yang paling rakus dan paling cenderung kepada kehidupan
dunia. “kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur.” Tanaman berupa padi, jagung atau apapun setelah
dipanen maka ia akan mengering lalu hancur karena ia memiliki batas akhir. Seluruh
rangkaian kehidupan berakhir dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan
yang biasa dilihat manusia. Dunia berakhir dalam pandangan kehancuran. Hal ini
memperingatkan, bahwa kehidupan dunia, pertama muda belia kemudian menginjak
remaja, dewasa kemudian menjadi tua, lemah tak berdaya lagi. Adapun permasalahan akhirat sungguh berbeda
dari permasalahan dunia. Suatu permasalahan yang layak untuk diperhitungkan,
dicermati dan tentunya dipersiapkan. Karena akhirat tidak pernah berakhir
dengan kehancuran seperti hancurnya tanaman yang telah mencapai batas akhir.
Ayat ini ditutup dengan: “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Kesenangan
ini tidaklah memiliki substansi karena topangannya berupa tipuan dan kemayaan.
Di samping itu, duniapun melenakan dan melupakan, karena memang begitulah
permainan jika sedang asyik dimainkan, kadang seorang lupa makan dan ibadah.
Dunia itu sendiri merupakan kenyataan tatkala hati mencari hakikat dengan
mendalam. Ia merupakan hakikat yang Al-Quran tidak bermaksud memisahkan manusia
dari kehidupan dunia dan tidak bermaksud supaya dia mengabaikan pengolahan dan
penataannya, karena manusia itu diserahi pekerjaan ini. Pekerjaan yang besar
dan agung sebagai khalifah Allah di muka bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para Malaikat,"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." (QS. Al-Baqoroh: 30).[2]
Karena
itu, Allah menyeru manusia supaya berkompetisi di arena pertandingan yang
hakiki untuk meraih tujuan yang berhak dimiliki oleh pemenang. Tujuan yang
menjadi akhir tempat kembali mereka, yang memastikan mereka tinggal di alam
keabadian. Dunia merupakan ladang menanam amal shaleh sebanyak-banyaknya
sebagai investasi masa depan (akherat), sebagaimana hadis “Dunia adalah ladang
(untuk) akherat”. Allah memberi kebebasan kepada manusia menggunakan dunia ini,
mau ditanami dengan amal yang baik maupun ditanami dengan amal jelek diserahkan
sepenuhnya kepada manusia ( فمن شاء فاليؤمن ومن
شاء فاليكفر), namun Allah telah memberi kita akal
untuk berfikir dan hidayah Al Qur’an sebagai alat untuk berfikir dan
menganalisa bagaimana sebaiknya mengambil sikap yang dapat mengantarkan kita
mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun keberuntungan hidup di akherat.
C.
HAKEKAT
MANUSIA PERSPEKTIF AL QUR’AN
Berbicara
tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri
makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah
disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling
istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi, manusia
adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua
pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.
Manusia
mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal.
Dengan dikaruniai akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang
dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah
adalah sebagai amanah. Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia
dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan,
kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual.
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling
mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal,
qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan
kehidupan. Hakikat wujud manusia menurut Ahmad Tafsir, adalah makhluk yang
perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh
banyaknya potensi yang dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu
dalam dua garis besar yaitu cenderung menjadi orang baik dan cenderung menjadi
orang jahat. Manusia berada diantara naluri dan nurani. Dalam rentetan seperti
itulah manusia berperilaku, baik perilaku yang positif maupun yang negatif.
Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun
intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus diikuti dengan nurani yang
tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi) dipahami sebagai superego,
sebagai conscience atau sebagai nafsu
muthmainnah (dorongan yang positif).
Fuad
Hasan mengatakan bahwa bagi manusia bukan sekedar to live (bagaimana memiliki) dan to survive (bagaimana bertahan), melainkan juga to exist
(bagaimana keberadaannya). Untuk itu, maka manusia memerlukan pembekalan yang
kualitatif dan kuantitatif yang lebih baik daripada hewan. Manusia bisa
berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak. Tetapi
kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal sehat,
melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya, sambil
berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang
negatif dan destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya
sadar untuk mewujudkan kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi secara bertangung jawab.
Kualitas
dan nilai manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk
mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan pertimbangan aqliah yang dikaruniai
Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang
paling murni. Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat.
Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan
untuk membahas tentang manusia. walaupun demikian, persoalan tentang manusia akan
menjadi misteri yang tak terselesaikan.
Hal
ini menurut Husein Aqil al-Munawwar dalam Jalaluddin, karena keterbatasan
pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri
manusia. Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk Allah
yang istimewa agaknya memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh
rahasia. Sesungguhnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat
besar untuk mengetahui dirinya namun tidak mengetahui hakikat manusia itu
sendiri secara utuh.[3]
Namun
ada suatu prinsip, di saat tidak atau belum mampu untuk mengetahui sesuatu,
maka adalah wajar dan lebih berguna untuk beralih dari mencari fenomina atau
hakikat itu kepada pembehasan tentang fenomena yang menyangkut masalah
tersebut, seperti: potensi, keistimewaan, ciri-ciri khas, fungsi dan kegunaan
masalah yang dihadapi. Pembahasan tersebut dapat mengantarkan kita kepada kunci
yang dapat mmembuka tabir suatu hakikat.
Dengan
demikian, memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui segala aspek yang
terdapat pada diri manusia itu adalah selain keterbasan para ilmuan untuk
mengkajinya, juga dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu
sendiri. Walaupun demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha untuk mempelajarinya
tidaklah berhenti begitu saja. Banyak sumber yang mendukung untuk mempelajari
manusia. Di antara sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Yang
mana di dalamnya banyak terdapat petunjuk-petunjuk tentang penciptaan manusia.
Konsep-konsep tentang manusia banyak dibahas, mulai dari proses penciptaan
sampai kepada fungsinya sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dalam
makalah ini, kami berupaya untuk
menguraikan secara sederhana tentang hakikat manusia dan kedudukannya di alam
semesta. Yang sudah tentu hal ini merupakan kajian untuk mempelajari penciptaan
manusia.
a.
Konsep al-Basyr
Penelitian
terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar
menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam, makhluk
fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat
pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.
Penggunaan
istilah bani Adam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi
dari makhluk anthropus (sejenis kera).
Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah
dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan
kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum)
sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Menurut
Abdul Mukti Ro’uf , kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna.[4]
Menurut Jalaluddin, mengatakan bahwa berdasarkan konsep basyr, manusia tidak
jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia
terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak.
Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai
proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
1.
Prenatal (sebelum lahir), proses
penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di
dalam rahim, pembentukan fisik (QS. Al Mukminun (23) : 12-14);
2.
Post natal (sesudah lahir) proses
perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut (QS. Al Mukmin (40) :
67).
Secara
sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena
kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain.
Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriyahnya,
mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada
di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun,
menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya.[5]
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah
fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal
dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar tentang bagaimana
seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana dia berupaya untuk
memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya. Yakni dalam
memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.
b.
Konsep Al-Insan
Kata
insan bila dilihat asal kata al-nas,
berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut
mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan
penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya,
dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin
ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian
ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk dididik.
Potensi
manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi
dan berinovasi. Jelas sekali bahwa dari kreativitasnya, manusia dapat
menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian,
ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia
mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian
manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.[6]
c.
Konsep An-Nas
Dalam
konsep an-naas pada umumnya dihubungkan
dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Tentunya sebagai makhluk sosial
manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup
sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri. Karena manusia tidak bisa hidup
sendiri.
Jika
kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan
laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan
kata lain adanya pengakuan terhadap spesies di dunia ini, menunjukkan bahwa
manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara
sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas.[7]
d.
Konsep Bani Adam
Adapun
kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam,
digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal keturunannya.[8]
Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat.
Menurut
Thabathaba’i, penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum.
Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu:
Pertama, anjuran untuk
berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian
guna manutup auratnya.
Kedua, mengingatkan pada
keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak
kepada keingkaran.
Ketiga, memanfaatkan semua
yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya.
Kesemuanya
itu adalah merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan
keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain. Lebih lanjut Jalaluddin
mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada
penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani Adam, adalah sebuah
usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan sesamanya, yang
juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian
serta mengedepankan HAM. Karena yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada
Pencipta. Sebagaimana yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13.
e.
Konsep Al-Ins
Kata
al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat
dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin, memaparkan al-Isn adalah
homonim dari al-Jins dan al-Nufur.[9]
Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan
bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah makhluk yang kasab mata.
Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak .
Sisi
kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam
arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa
manusia yang insia itu merupakan kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya
bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas.
Dari
pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu di
posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. bersifat halus dan tidak
biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam “antah berantah”
dan alam yang tak terinderakan. Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan
diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.[10]
f.
Konsep Abd Allah
M.
Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki potensi
berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Selain
itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri. [11]
Menurut
M.Quraish Shihab, Ja’far al-Shadiq memandang ibadah sebagai pengabdian kepada
Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1.
Menyadari bahwa yang dimiliki
termasuk dirinya adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan Allah;
2.
Menjadikan segala bentuk sikap
dan aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya.
3.
Dalam mngambil keputusan selalu
mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah, manusia merupakan hamba
yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah. Yaitu dengan mentaati segala
aturan-aturan Allah.
g.
Konsep Khalifah Allah
Bilamana
kita membahas konsep manusia sebagai khalifah Allah, tentu tidak akan terlepas
dari eksistensi dan peranan manusia itu sendiri. Pada hakikatnya eksistensi
manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan kekhalifahan, yaitu
membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak Penciptanya.
Menurut Jalaluddin, peran yang dilakonkan oleh manusia menurut statusnya
sebagai khalifah Allah setidak-tidaknya terdiri dari dua jalur, yaitu jalur
horizontal dan jalur vertikal.
Peran
dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang
baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peran dalam jalur
vertikal menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah.
Dalam peran ini manusia penting menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya
untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penegasan dari
Penciptanya.[12]
D.
TUGAS DAN PERAN MANUSIA DI DUNIA
1.
Manusia
dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda. manusia memiliki
kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain salah satunya
manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk penciptaan namun kemuliaan manusia
bukan terletak pada penciptaannya yang baik tetapi tergantung pada; apakah dia
bisa menjalankan tugas dan peran yang telah digariskan Allah atau tidak bila
tidak maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka dengan segala kesengsaraannya.
Allah SWT berfirman dalam Q.S.
At-Tiin ayat 7 yang artinya :
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya.” (QS. At Tiin : 7)
2.
Ada
tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia. sebagai seorang muslim kita
bukan hanya harus mengetahuinya tetapi menjalankannya dalam kehidupan ini agar
kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan. Beribadah kepada Allah SWT merupakan
tugas pokok bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yang
dilakukan oleh manusia dan sebagai apa pun dia seharusnya dijalani dalam
kerangka ibadah kepada Allah SWT.
Sebagaimana
firman-Nya.
“Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali
supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56).
3.
Agar segala yang kita lakukan
bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah SWT paling tidak ada tiga
kriteria yang harus kita penuhi. Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT.
Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah
SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu
amal karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat ia tidak
merasakannya sebagai sesuatu yang berat apalagi amal yang memang sudah ringan.
Sebaliknya tanpa keikhlasan amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi
berat apalagi amal yang jelas-jelas berat utk dilaksanakan tentu akan menjadi
amal yang terasa sangat berat utk mengamalkannya. Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang
benar bukan membenarkan segala cara sebagaimana yang telah digariskan oleh
Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah
menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah SWT maka tidak ada
penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup
manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ketiga
adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan
ini akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan yakni ridha-Nya. Bila ini
yang terjadi maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi
kesulitan terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya hal ini karena
hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki
kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah SWT. Ketiga,
khalifah Allah di muka bumi, nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari
Allah SWT harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya
manusia diperankan oleh Allah SWT sebagai khalifah Allah di muka bumi ini untuk
menegakkan syariat-syariat-Nya.
Allah SWT berfirman
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.”(QS.Al Baqarah:30)
Untuk bisa
menjalankan fungsi khalifah manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan ini merupakan perkara yang
sangat mendasar utk bisa diterapkan. Tanpa kebenaran dan keadilan serta
kebaikan dan kemaslahatan tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa
diwujudkan karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk
menjalankan fungsi khalifah pada dirinya.
4.
Untuk bisa memperoleh kehidupan yang
baik di dunia ini salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga
siapa pun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya
karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah SWT
kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya.
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. An
Nisa’:58)
Mengingat keadilan begitu penting bagi upaya mewujudkan kehidupan yang baik keharusan berlaku adil tetap ditegakkan meskipun kepada orang yang kita benci sehingga jangan sampai karena kebencian kita kepadanya keadilan yang semestinya ia ni’mati tidak bisa mereka peroleh. Manakala keadilan bisa ditegakkan maka masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT cepat atau lambat akan terwujud.
Allah berfirman
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang yang selalu
menegakkan karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu utk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al
Maidah:8)
5.
Membangun
Peradaban Kehidupan dan martabat manusia sangat berbeda dengan binatang.
Binatang tidak memiliki peradaban sehingga betapa rendah derajat binatang itu.
Adapun manusia dicipta oleh Allah SWT untuk membangun dan menegakkan peradaban yang
mulia karenanya Allah SWT menetapkan manusia sebagai pemakmur bumi ini. Allah
berfirman yang artinya “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan
pemakmurnya.” . Dan lebih spesifik lagi bahwa pengelola bumi ini kaum mukmin
yang shalih mengambil peran aktiv dalam pengelolaan bumi ini, jangan hanya
menjadi penonton dan kaum muslim justru dengan dalih untuk mencari jalan guna
mendekat dengan Allah, malah meninggalkan dunia yang telah diwariskan Allah
kepadanya “Sesungguhnya bumi itu pewarinya adalah hamba-hamba yang shalih”,
sehingga yang terjadi selama ini yang mengelola bumi ini justru orang-orang
kafir. Untuk bisa membangun kehidupan yang beradab ada lima pondasi masyarakat
beradab yang harus diwujudkan dan diperjuangan pelestariannya yaitu :
Pertama nilai-nilai agama Islam yang datang dari Allah SWT
kedua akal yang merupakan potensi besar utk berpikir dan
merenungkan segala sesuatu. Ketiga
harta yang harus dicari secara halal dan bukan menghalalkan segala cara.
Keempat, kehormatan manusia dengan akhlaknya yang mulia yang harus
dijaga dan dilestarikan.
kelima keturunan atau nasab manusia yang harus jelas sehingga
dalam masalah hubungan seksual misalnya manusia tidak akan melakukannya kepada
sembarang orang.
Manakala manusia
tidak mampu membangun peradaban sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah
SWT maka martabat manusia akan menjadi lebih rendah dari binatang hal ini karena
manusia bukan hanya memiliki potensi fisik yang sempurna dibanding binatang
juga manusia punya botensi berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari
Allah SWT yang diturunkan kepada para Nabi.
Dalam kaitan kemungkinan
manusia menjadi lebih rendah atau lebih sesat dari binatang bahkan binatang
ternak dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia mereka mempunyai hati tapi
tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak
dipergunakannya untuk melihat dan mereka mempunyai telinga tidak
dipergunakannya untuk mendengar . Mereka itu seperti binatang ternak bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” . (QS. Al
A’raf : 179).
Dari keterangan di
atas menjadi jelas bagi kita bahwa kemuliaan manusia sangat tergantung pada
apakah ia bisa menjalankan tugas dan perannya dengan baik atau tidak bila tidak
maka kemuliaannya sebagai manusia akan jatuh ke derajat yang serendah-rendah
dan ia akan kembali kepada Allah dengan kehinaan yang sangat memalukan dan di
akhirat ia menjadi hamba Allah yang mengalami kerugiaan yang tidak
terbayangkan.
E.
PENUTUP
Dunia
diciptakan Allah sebagai tempat kehidupan semua makhluk-Nya. Allah dengan sifat
Ar Rahman-Nya, memberi kebebasan orang untuk menentukan jalan hidupnya di dunia
ini sebab Allah telah memberi bekal akal pikiran dan hidayah wahyu bagi
manusia. Semua keputusan manusia untuk memilih jalan hidupnya akan dimintai
pertanggungjawabannya di hari kiamat. Orang-orang yang menggunakan akalnya dan
berdasar wahyu-Nya akan memilih jalan yang diridhoi-Nya.
Dunia
ini adalah tempat berkompetisi, berkreasi, inovasi bagi manusia sebagaimana
hakikat manusia diciptakan (konsep al-insan), namun kreativitas dan inovasi
manusia seharusnya didasarkan akal yang jernih dan wahyu Allah, agar peran
manusia sebagai khalifah di bumi ini dapat dijalankannya dan untuk beribadah (konsep
‘abdullah) kepada Allah dengan berorientasi kebahagiaan dunia dan akherat.
Kita
jangan terlena gemerlapnya kehidupan dunia, yang menyebabkan jauh dari jalan
Allah sebab dunia ini hanya sebagai permainan dan cobaan, orang Islam harus
mampu menjadi pemain yang baik dan mampu mengendalikan permainan serta dalam
kompetisi hidup di dunia ini, namun sebaliknya Orang-orang shaleh jangan malah
menjauhi bahkan meninggalkan dunia dengan dalih mendekatkan Allah, sebab
hakikatnya dunia ini pewarisnya adalah orang-orang yang shalih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukti Ro’uf, Manusia Super, Pontianak: STAIN
Pontianak Press. 2008.
Ahmad Yani Al-Islam -
Aisyah Bintu Syati Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia, Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.
Depag RI, Al
Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Penerbit J-Art, 2005.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Mizan, Bandung. 1997.
-------------------------,Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan. 1996.
Muhammad Nasib
Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir,
jld. 4, Gema Insani Press, Jakarta. 2000.
[6] Ahmad Yani Al-Islam - Aisyah Bintu Syati Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia, Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999), hlm. 145
[7] Ahmad Yani Al-Islam - Aisyah Bintu Syati Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia, Op. Cit, hlm. 153
[10] Ahmad Yani Al-Islam - Aisyah Bintu Syati Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia, Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an, …, hlm.
157
No comments:
Post a Comment