A. JUDUL PENELITIAN
Meningkatkan Daya Kritis Santri sebagai Upaya Pencapaian Kompetensi melalui Penggunaan Metode Bahtsul Masail pada Mata Pelajaran Fiqih Kelas Empat Madrasah Pondok Pesantren Asma' Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Pondok Pesantren, sebagai suatu padepokan untuk memperdalam ilmu agama, sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Didalamnya para santri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara pengasuh pesantren (kiai) menyerahkan diri dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Kiai adalah sosok pemimpin yang tunggal dalam pesantren, beliau selalu menjadi panutan dan tauladan kehidupan bagi para santri.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menurut sebagian kalangan merupakan pendidikan indigenious Indonesia. Meskipun lembaga ini dikategorikan sebagai lembaga pendidikan non formal, namun eksisitensinya tidak bisa dianggap sebelah mata. Banyak tokoh nasional terlahir dari lembaga ini, sebut saja Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Hasyim Muzadi, Nurcholis Majid, dll.
Pandangan masyarakat umum yang beranggapan bahwa pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal, kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan pandangan yang keliru dan tidak berdasar kenyataan. Di lingkungan pondok pesantren ada tradisi unik dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang di masyarakat, baik masalah agama, maupun problematika masyarakat yang berskala internasional dengan cara bertukar pikiran sesama santri maupun sesama para kiai. Tradisi itu namanya bahtsul masail (forum pembahasan masalah).
Pesantren yang mempunyai tradisi ilmiah tersebut bertujuan untuk mengembangkan daya kritis santri dalam mengupas problematika yang dibahas dengan melalui kajian-kajian kitab fiqih.
Forum ini sengaja didesain untuk mengasah kemampuan santri dalam memecahkan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui perspektif agama.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasakan Latar Belakang Masalah seperti yang telah diuraikan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana merencanakan metode bahtsul masail untuk meningkatkan daya kritis santri sebagai upaya pencapaian kompetensi dalam pelajaran fiqih kelas empat di Madrasah Pondok Pesantren Asma' Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan?
2. Bagaimana mengimplementasikan metode bahtsul masail sebagai upaya meningkatkan daya kritis santri untuk pencapaian kompetensi dalam pelajaran fiqih kelas empat Madrasah Pondok Pesantren Asma' Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan?
3. Bagaimana peran kyai dan santri dalam implementasi metode bahtsul masail sebagai upaya meningkatkan daya kritis santri untuk pencapaian kompetensi dalam pelajaran fiqih kelas empat Madrasah Pondok Pesantren Asma' Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan?
D. KAJIAN TEORI
1. Bahtsul Masail sebagai Salah Satu Metode Pembelajaran
a) Pengertian Metode Bahtsul Masail
Bahtsul Masail, merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata yaitu : bahtsul yang berarti : pembahasan dan dari Masail (bentuk jamak dari masalah )yang berarti :masalah-masalah. Dengan demikian Bahtsul Masaail secara bahasa mempuyai arti : pembahasan masalah –masalah .
Bahtsul Masail merupakan aktivitas yang sangat lekat dengan pondok pesantren dan jam’iyyah Nahdlotul Ulama. Hampir seluruh pondok pesantren di jawa –madura –sumatera, memasukkan Bahtsul masail sebagai kegiatan rutinnya. Demikian pula, jam’iyyah Nahdlotul Ulama, mulai tingkat Ranting, MWC, Cabang, Wilayah maupun pengurus Besar Nahdlotul Nahdlotul Ulama mempunyai agenda khusus untuk kegiatan bahtsul masail. Dalam jam’iyyah Nahdlotul Ulama, Bahtsul Masail merupakan furom tertinggi untuk memecahkan berbagai masalah keagamaan.
Sistem Bahtsul Masail coraknya beragam. Secara garis besar dikalangan Nahdliyyin terdapat tiga macam model Bahtsul masail :
• Bahtsul masail model pesantren yang lebih menonjolkan semangat i’tirodl, yaitu perdebatan argumentatif dengan berlandaskan Al-kutub Al-Mu’tabaroh (kitab-kitab yang perlu diambil i'tibar). Dalam hal ini peserta bebas berpendapat, menyanggah pendapat peserta lain dan juga diberikan kebebasan mengoreksi rumusan-rumusan yang ditawarkan tim perumus.
• Bahtsul masail model “NU”dalam hal ini lebih menonjolkan porsi I’tidlod, yaitu penampungan aspirasi jawaban sebanyak mungkin. Untuk materi dan redaksi rumusan diserahkan kepada tim perumus. Peserta hanya diberikan hak menyampaikan masukan-masukan seperlunya.
• Bahtsul Masail Kontemporer, yaitu bahtsul masail yang dimodifikasi mirip model simposium. Dimana sebagaian peserta yang dianggap mampu, diminta menuangkan rumusan jawaban berikut sumber pengambilan keputusan, dalam bentuk “Makalah”. Bahtsul Masail seperti ini kurang begitu diminati oleh kalangan pesantren karena kesempatan untuk memberikan tanggapan dan sangganan lebih mendalam sangatlah terbatas.
Dalam penelitian ini hanya menerangkan pada bahtsul masail intra pesantren.
b) Tujuan Bahtsul Masail
Tujuan diadakannya metode bahtsul masail di Pondok Pesantren Asma' Chusna yaitu :
• Meningkatkan kualitas daya pemikian santri
• menghidupkan jejak ulama salaf dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul dimasyarakat
• merumuskan pemecahan masail waqi'iyah (aktual) sesuai dengan tuntunan syara'
c) Sistem Pengambilan Hukum dalam Bahtsul Masail
Nhadlatul Ulama dalam setiap mengambil keputusannya senantiasa didasarkan pada permusyawaratan para ulama, termasuk didalamnya keputusan hukum islam yang diambil oleh NU telebih dahulu digodok dalam forum bahtsul masail.
Sebgai lembaga pendidikan yang bebasis NU pondok pesantren juga ikut andil dalam menentukan hukum. Bahtsul masail yang sudah menjadi rutinitas mingguan di Ponpes Asma' Chusna ini bersifat lokal, artinya hanya dihadiri oleh santri yang masih duduk di kelas empat. Sedangkan untuk melaksanakan bahtsul masail tesebut, diperlukan tata cara pelaksanaannya sebagaiman diatur dalam sistem pengambilan hukum Islam.
• Kerangka analisi masalah
Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah yang meliputi status hukum, sumber hukum, dampak bagi masyarakat dan realita yang terjadi pada masyarakat.
• Prosedur penjawaban masalah
Prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai beikut :
a. Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar dan dalam kitab-kitab tersebut hanya terdapat satu qaul (pendapat Imam Madzhab) atau wajah (Pwendapat ulama madzhab), maka qaul atau wajah tesebut dapat digunakan sebagai jawaban atau keputusan.
b. Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar (Kutub al-Mu'tabarah), akan tetapi dalam kitab-kitab tersebut terdapat beberapa qaul atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama'i untuk menentkan salah satu qaul atau wajah. Prosedur pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan : petama, mengambil pendapat yang lebih masalahat atau yang lebih kuat atau kedua, sedapat mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut :
1. Pendapat yang disepakati oleh al-syaikahani ( Imam Nawawi dan Rqfi'i)
2. Pendapat yang dipegang oleh Nawawi saja
3. Pendapat yang dipegang oleh Rafi'i saja.
4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
5. Pendapat ulama yang terpandai
6. Pendapat ulama yang paling wara'
c. Apabila masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya sama sekali dalam kitab-kitab standar (baik qaul mupun wajah) langkah yang dilakukan adalah ilhaqul masail binazairiha (Menyamakan masalah dengan realitas yang ada) yang dilakukan oleh ulama (ahli) secara jamai (kolektif).
d. Apabila tidak mungkin untuk melakukan ilhaq, mak langkah yang ditempuh adalah istinbath (Penggalian hukum) secara kolektif dengan prosedur bermazhab secara manhaj (kontekstual) oleh para ahlinya (dalam pesantren adalah Kyai). istinbath dapat dilakukan melalui kaidah ushul fiqh.
d) Keunggulan dan kelemahan bahtsul masail
Keunggulan :
• Terbentuknya santri yang berfikir kritis dan ilmiah
• Membetuk kreatifitas santri dan kesemangatannya dalam belajar mengkaji kitab-kitab kuning
• Memcahkan masalah dengan merujuk kepada syariat islam
Kelemah bahtsul masail :
• Menimbulkan perselisihan yang sengit apabila mubahitsin (Para pembahas) tidak berpikiri positif.
• Kuang teliti dalam mengambil keputusan karena terdapat qaul dan wajah yang berbeda-beda.
• Banyak problem yang tidak ditemukan jawabannya dalam khazanah literatur klasik, kalupun ditemukan seakan tidak relevan lagi.
2. Daya Kritis
Berfikir kritis diartikan sebagai suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi. (Gerhard 1971, dalam Redhana 2003: 14)
Berfikir kritis menurut R. Swartz dan D. N. Perkins (1990), dalam Hassoubah 2004: 86-87) berarti bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan yang logis, memakai standar penilaian sebagai hasil dari berfikir kritis dalam membuat keputusan, menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut, mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mndukung suatu penilaian.
Tyler (1949), dalam Redhana 2003: 13-14) berpendapat bahwa pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan berfikir kritis siswa. Berfkir kritis merupakan suatu aktivitas evaluatif untuk menghasilkan suatu simpulan (Cabrera 1992, dalam Redhana 2003:14)
Pertukaran gagasan yang aktif didalam kelompok yang kecil tidak hanya menarik perhatian siswa tetapi juga dapat mempromosikan pemikiran kritis.
Seperti halnya dalam Pondok Pesantren Asma' Chusna, tradisi bahtsul basail yang diadakan tiap pekan merupakan kegiatan yang sangat subur dalam meningkatkan pemikiran kritis santri. Bagaimana tidak, seorang santri yang akan bermusyawarah dalam forum bahtsul masail harus mempersiapkan jawaban yang lebih matang untuk mengklarifikasikan kepada peserta atau santri yang lain, yaitu dengan mencarinya melalui kajian kitab-kitab salaf.
Materi tentang pemikiran kritis yaitu materi yang melibatkan analisa, sintesis, dan evaluasi konsep.
Cara peningkatan keterampilan berpikir kritis :
Dari hasil penelitian Ian Wright dan C. L. Bar (1987), L.M Sartorelli (1989) dan R Swartz dan S. Parks (1992) dalam Hassoubah (2004: 96-110), beberapa cara meningkatkan keterampilan berfikir kritis diantaranya adalah dengan meningkatkan daya analisis dan mengembangkan kemampuan observasi / mengamati.
Strategi pemecahan masalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan siswa dalam mengadaptasi situasi pembelajaran yang baru.
3. Kompetensi
Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan “Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu”.
Association K.U. Leuven mendefinisikan bahwa pengertian kompetensi adalah peingintegrasian dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkan untuk melaksanakan satu cara efektif.
Dari definisi di atas kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan.
Inti dari definisi kompetensi yang dipahami selama ini adalah mencakup penguasaan terhadap 3 jenis kemampuan, yaitu: pengetahuan (knowledge, science), keterampilan teknis (skill, teknologi) dan sikap perilaku (attitude).
4. Mata Pelajaran Fiqih di Pondok Pesantren
Fikih, di berbagai pesantren salaf di Indonesia, khususnya di Jawa, nama ini merupakan satu disiplin ilmu yang paling diminati dan sangat popular. Seorang santri rela ‘mendekam’ bertahun tahun, bahkan puluhan tahun, di pesan¬tren untuk mendalami ilmu yang satu ini. Ia tidak akan berani pulang kampung sebelum tuntas mengkaji secara men¬¬da¬lam kitab-kitab fiqh standar madzhab Syafi’i.
Secara implisit bisa di¬pahami, bahwa disiplin ilmu yang paling dituntut untuk dikaji dan didalami oleh seorang kyai adalah ilmu fiqih. Hal ini terjadi karena, pertama, ia khawatir ilmu fiqh-nya kalah canggih oleh santri-santrinya yang makin lama tambah kritis. Kedua, dengan adanya era globalisasi permasalahan di seputar fiqh-pun semakin berkembang. Masyarakat di pedesaan menjadi semakin maju dan kritis. Seiring dengan ini kyai-pun harus pula mengikuti main stream informasi kontemporer serta mengaitkannya dengan metode fiqih (ushul fiqh) dalam upaya untuk memberikan atau menawarkan solusi fiqh yang memuaskan kepada masyarakat. Sebab kalau tidak responsif terhadap masalah-masalah fiqh yang berkembang, tentu hal ini akan mengurangi respek masyarakat.
Pengertian dan Perkembangan Fiqh
Kata fiqh sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab, yaitu bentuk masdar (verbal noun) dari akar kata bentuk madhi (past tense) faquha yang secara etimologis berarti mengerti, mengetahui, memahami dan menuntut ilmu.
Pada awal perkembangan Islam, kata fiqh belum bermakna spesifik sebagai “ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat).
Pada awal perkembangan Islam, khususnya pada era Nabi, Islam belum menyebar secara luas dan cepat seperti pada dekade-dekade berikutnya. Sehingga persoalan-persoalan hukum baru belum muncul dan dengan demikian perbedaan pendapatpun belum mencuat ke permukaan. Setelah Nabi wafat, para sahabat menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, banyak dari mereka yang kemudian menempati posisi sebagai intelektual dan pemimpin agama. Di daerah-daerah baru Islam ini, persoalan-persoalan baru mulai bermunculan. Namun demikian, para Sahabat berusaha sebaik-baiknya (ijtihad) untuk memberi keputusan legal agama berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabi. Di sini, perbedaan pendapat antara opini Sahabat di satu daerah dengan opini Sahabat di daerah lain mulai mencuat. Seperti perbedan yang terjadi antara Sahabat Ibnu Abbas dengan Ibnu Mas’ud tentang masalah riba. Juga antara Sahabat Umar Ibnu Khattab dengan Zayd Ibnu Tsabit tentang arti quru’ untuk masa menunggu (Arab, Iddah) bagi istri yang dicerai. Kendatipun begitu perbedaan-perbedaan tersebut tidak keluar dari spirit Al-Qur’an dan sunnah.
Pada masa generasi sesudah Sahabat atau lebih populer dengan istilah Tabi’in, timbullah tiga divisi besar secara geografis di dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Syria. Di mana masing-masing mempunyai aktivitas legal yang independen. Di Irak kemudian terdapat dua golongan fiqh yaitu di Basrah dan Kufah. Di Syria aktivitas hukumnya tidak begitu dikenal kecuali lewat karya-karya Abu Yusuf. Sedangkan di Hijaz terdapat dua pusat aktivitas hukum yang sangat menonjol yaitu di Makkah dan Madinah. Di antara keduanya, Madinah lebih terkenal dan menjadi pelopor dalam perkembangan hukum Islam di Hijaz. Malik bin Anas atau Imam Malik (w.179 h./795 m.) pendiri madzhab Maliki adalah eksponen terakhir dari ahli hukum golongan Madinah. Sedangkan dari kalangan ahli fiqh Kufah terdapat nama Abu Hanifah.
Beberapa tahun kemudian muncullah nama Muhammad bin Idris Ash-Shafi’i (w.204 h/ 820 m.) atau Imam Syafi’i pendiri madzhab Syafi’iah yang merupakan salah satu murid Imam Malik. Kemudian muncullah nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w.241 h./ 855 m.), atau Imam Hambali, pendiri madzhab Hanabalah. Beliau adalah murid Imam Syafi’i. Pada saat munculnya empat pendiri madzhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya mereka inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu disiplin ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Tujuan dan Fungsi Mata Pelajaran Fiqih
1. Tujuan
Pembelajaran Fiqih di Pondok Pesantren bertujuan untuk membekali santri agar dapat: (1) mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli maupun aqli. (2) melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar.
2. Fungsi
Mata pelajaran Fiqih di Pondok Pesantren berfungsi untuk: (a) Penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah Swt. sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (b) Penanaman kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan santri dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di pesantren dan masyarakat; (c) Pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di pesantren dan masyarakat; (d) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. serta akhlak mulia santri seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; (e) Pembangunan mental santri terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui Fiqih Islam; (f) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan santri dalam keyakinan dan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
E. METODE PENELITIAN
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah santri kelas empat madrasah Pondok Pesantren Asma’ Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan.
2. Waktu
Penelitian ini direncanakan selama dua bulan.
3. Lama tindakan
Tindakan penelitian direncanakan pelaksanaanya selama 3 minggu untuk 3 kali putaran.
4. Lokasi
Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di Pondok Pesantren Asma’ Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan.
5. Prosedur Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam tiga siklus. Setiap siklus dijelaskan dibawah ini.
1. Siklus 1
Dalam siklus ini difokuskan pada upaya peningkatan daya kritis santri melalui metode bahtsul masail. Indikator keberhasilan diukur dari meningkatnya secara kuantitatif aktivitas santri dalam belajar baik dalam melaksanakan proses pembelajaran maupun dalam mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam forum musyawarah ini.
2. Siklus 2
Dalam siklus ini difokuskan pada perbaikan implementasi metode bahtsul masail sebagai upaya peningkatan daya kritis santri dalam pelajaran fiqih. Indikator keberhasilan diukur dari kualitas santri melaksanakan proses pembelajaran, misalnya diukur dari kegairahan santri mengikuti kegiatan ini, keseriusan dalam muthola’ah kitab kuning, dan kemampuan berargumentasi.
3. Siklus 3
Siklus ini diarahkan pada proses pembelajaran metode bahtsul masail dengan penyempurnaan pada aspek tertentu hasil observasi dan refleksi siklus dua. Indikator keberhasilan diukur dari kemampuan setiap santri memiliki kompetensi.
Meningkatkan Daya Kritis Santri sebagai Upaya Pencapaian Kompetensi melalui Penggunaan Metode Bahtsul Masail pada Mata Pelajaran Fiqih Kelas Empat Madrasah Pondok Pesantren Asma' Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Pondok Pesantren, sebagai suatu padepokan untuk memperdalam ilmu agama, sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang, dan damai. Didalamnya para santri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara pengasuh pesantren (kiai) menyerahkan diri dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Kiai adalah sosok pemimpin yang tunggal dalam pesantren, beliau selalu menjadi panutan dan tauladan kehidupan bagi para santri.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menurut sebagian kalangan merupakan pendidikan indigenious Indonesia. Meskipun lembaga ini dikategorikan sebagai lembaga pendidikan non formal, namun eksisitensinya tidak bisa dianggap sebelah mata. Banyak tokoh nasional terlahir dari lembaga ini, sebut saja Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Hasyim Muzadi, Nurcholis Majid, dll.
Pandangan masyarakat umum yang beranggapan bahwa pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal, kepemimpinan yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan pandangan yang keliru dan tidak berdasar kenyataan. Di lingkungan pondok pesantren ada tradisi unik dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang di masyarakat, baik masalah agama, maupun problematika masyarakat yang berskala internasional dengan cara bertukar pikiran sesama santri maupun sesama para kiai. Tradisi itu namanya bahtsul masail (forum pembahasan masalah).
Pesantren yang mempunyai tradisi ilmiah tersebut bertujuan untuk mengembangkan daya kritis santri dalam mengupas problematika yang dibahas dengan melalui kajian-kajian kitab fiqih.
Forum ini sengaja didesain untuk mengasah kemampuan santri dalam memecahkan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat melalui perspektif agama.
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasakan Latar Belakang Masalah seperti yang telah diuraikan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana merencanakan metode bahtsul masail untuk meningkatkan daya kritis santri sebagai upaya pencapaian kompetensi dalam pelajaran fiqih kelas empat di Madrasah Pondok Pesantren Asma' Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan?
2. Bagaimana mengimplementasikan metode bahtsul masail sebagai upaya meningkatkan daya kritis santri untuk pencapaian kompetensi dalam pelajaran fiqih kelas empat Madrasah Pondok Pesantren Asma' Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan?
3. Bagaimana peran kyai dan santri dalam implementasi metode bahtsul masail sebagai upaya meningkatkan daya kritis santri untuk pencapaian kompetensi dalam pelajaran fiqih kelas empat Madrasah Pondok Pesantren Asma' Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan?
D. KAJIAN TEORI
1. Bahtsul Masail sebagai Salah Satu Metode Pembelajaran
a) Pengertian Metode Bahtsul Masail
Bahtsul Masail, merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata yaitu : bahtsul yang berarti : pembahasan dan dari Masail (bentuk jamak dari masalah )yang berarti :masalah-masalah. Dengan demikian Bahtsul Masaail secara bahasa mempuyai arti : pembahasan masalah –masalah .
Bahtsul Masail merupakan aktivitas yang sangat lekat dengan pondok pesantren dan jam’iyyah Nahdlotul Ulama. Hampir seluruh pondok pesantren di jawa –madura –sumatera, memasukkan Bahtsul masail sebagai kegiatan rutinnya. Demikian pula, jam’iyyah Nahdlotul Ulama, mulai tingkat Ranting, MWC, Cabang, Wilayah maupun pengurus Besar Nahdlotul Nahdlotul Ulama mempunyai agenda khusus untuk kegiatan bahtsul masail. Dalam jam’iyyah Nahdlotul Ulama, Bahtsul Masail merupakan furom tertinggi untuk memecahkan berbagai masalah keagamaan.
Sistem Bahtsul Masail coraknya beragam. Secara garis besar dikalangan Nahdliyyin terdapat tiga macam model Bahtsul masail :
• Bahtsul masail model pesantren yang lebih menonjolkan semangat i’tirodl, yaitu perdebatan argumentatif dengan berlandaskan Al-kutub Al-Mu’tabaroh (kitab-kitab yang perlu diambil i'tibar). Dalam hal ini peserta bebas berpendapat, menyanggah pendapat peserta lain dan juga diberikan kebebasan mengoreksi rumusan-rumusan yang ditawarkan tim perumus.
• Bahtsul masail model “NU”dalam hal ini lebih menonjolkan porsi I’tidlod, yaitu penampungan aspirasi jawaban sebanyak mungkin. Untuk materi dan redaksi rumusan diserahkan kepada tim perumus. Peserta hanya diberikan hak menyampaikan masukan-masukan seperlunya.
• Bahtsul Masail Kontemporer, yaitu bahtsul masail yang dimodifikasi mirip model simposium. Dimana sebagaian peserta yang dianggap mampu, diminta menuangkan rumusan jawaban berikut sumber pengambilan keputusan, dalam bentuk “Makalah”. Bahtsul Masail seperti ini kurang begitu diminati oleh kalangan pesantren karena kesempatan untuk memberikan tanggapan dan sangganan lebih mendalam sangatlah terbatas.
Dalam penelitian ini hanya menerangkan pada bahtsul masail intra pesantren.
b) Tujuan Bahtsul Masail
Tujuan diadakannya metode bahtsul masail di Pondok Pesantren Asma' Chusna yaitu :
• Meningkatkan kualitas daya pemikian santri
• menghidupkan jejak ulama salaf dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul dimasyarakat
• merumuskan pemecahan masail waqi'iyah (aktual) sesuai dengan tuntunan syara'
c) Sistem Pengambilan Hukum dalam Bahtsul Masail
Nhadlatul Ulama dalam setiap mengambil keputusannya senantiasa didasarkan pada permusyawaratan para ulama, termasuk didalamnya keputusan hukum islam yang diambil oleh NU telebih dahulu digodok dalam forum bahtsul masail.
Sebgai lembaga pendidikan yang bebasis NU pondok pesantren juga ikut andil dalam menentukan hukum. Bahtsul masail yang sudah menjadi rutinitas mingguan di Ponpes Asma' Chusna ini bersifat lokal, artinya hanya dihadiri oleh santri yang masih duduk di kelas empat. Sedangkan untuk melaksanakan bahtsul masail tesebut, diperlukan tata cara pelaksanaannya sebagaiman diatur dalam sistem pengambilan hukum Islam.
• Kerangka analisi masalah
Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah yang meliputi status hukum, sumber hukum, dampak bagi masyarakat dan realita yang terjadi pada masyarakat.
• Prosedur penjawaban masalah
Prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai beikut :
a. Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar dan dalam kitab-kitab tersebut hanya terdapat satu qaul (pendapat Imam Madzhab) atau wajah (Pwendapat ulama madzhab), maka qaul atau wajah tesebut dapat digunakan sebagai jawaban atau keputusan.
b. Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar (Kutub al-Mu'tabarah), akan tetapi dalam kitab-kitab tersebut terdapat beberapa qaul atau wajah, maka yang dilakukan adalah taqrir jama'i untuk menentkan salah satu qaul atau wajah. Prosedur pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan : petama, mengambil pendapat yang lebih masalahat atau yang lebih kuat atau kedua, sedapat mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut :
1. Pendapat yang disepakati oleh al-syaikahani ( Imam Nawawi dan Rqfi'i)
2. Pendapat yang dipegang oleh Nawawi saja
3. Pendapat yang dipegang oleh Rafi'i saja.
4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
5. Pendapat ulama yang terpandai
6. Pendapat ulama yang paling wara'
c. Apabila masalah atau pertanyaan tidak terdapat jawabannya sama sekali dalam kitab-kitab standar (baik qaul mupun wajah) langkah yang dilakukan adalah ilhaqul masail binazairiha (Menyamakan masalah dengan realitas yang ada) yang dilakukan oleh ulama (ahli) secara jamai (kolektif).
d. Apabila tidak mungkin untuk melakukan ilhaq, mak langkah yang ditempuh adalah istinbath (Penggalian hukum) secara kolektif dengan prosedur bermazhab secara manhaj (kontekstual) oleh para ahlinya (dalam pesantren adalah Kyai). istinbath dapat dilakukan melalui kaidah ushul fiqh.
d) Keunggulan dan kelemahan bahtsul masail
Keunggulan :
• Terbentuknya santri yang berfikir kritis dan ilmiah
• Membetuk kreatifitas santri dan kesemangatannya dalam belajar mengkaji kitab-kitab kuning
• Memcahkan masalah dengan merujuk kepada syariat islam
Kelemah bahtsul masail :
• Menimbulkan perselisihan yang sengit apabila mubahitsin (Para pembahas) tidak berpikiri positif.
• Kuang teliti dalam mengambil keputusan karena terdapat qaul dan wajah yang berbeda-beda.
• Banyak problem yang tidak ditemukan jawabannya dalam khazanah literatur klasik, kalupun ditemukan seakan tidak relevan lagi.
2. Daya Kritis
Berfikir kritis diartikan sebagai suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi. (Gerhard 1971, dalam Redhana 2003: 14)
Berfikir kritis menurut R. Swartz dan D. N. Perkins (1990), dalam Hassoubah 2004: 86-87) berarti bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan yang logis, memakai standar penilaian sebagai hasil dari berfikir kritis dalam membuat keputusan, menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut, mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mndukung suatu penilaian.
Tyler (1949), dalam Redhana 2003: 13-14) berpendapat bahwa pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan berfikir kritis siswa. Berfkir kritis merupakan suatu aktivitas evaluatif untuk menghasilkan suatu simpulan (Cabrera 1992, dalam Redhana 2003:14)
Pertukaran gagasan yang aktif didalam kelompok yang kecil tidak hanya menarik perhatian siswa tetapi juga dapat mempromosikan pemikiran kritis.
Seperti halnya dalam Pondok Pesantren Asma' Chusna, tradisi bahtsul basail yang diadakan tiap pekan merupakan kegiatan yang sangat subur dalam meningkatkan pemikiran kritis santri. Bagaimana tidak, seorang santri yang akan bermusyawarah dalam forum bahtsul masail harus mempersiapkan jawaban yang lebih matang untuk mengklarifikasikan kepada peserta atau santri yang lain, yaitu dengan mencarinya melalui kajian kitab-kitab salaf.
Materi tentang pemikiran kritis yaitu materi yang melibatkan analisa, sintesis, dan evaluasi konsep.
Cara peningkatan keterampilan berpikir kritis :
Dari hasil penelitian Ian Wright dan C. L. Bar (1987), L.M Sartorelli (1989) dan R Swartz dan S. Parks (1992) dalam Hassoubah (2004: 96-110), beberapa cara meningkatkan keterampilan berfikir kritis diantaranya adalah dengan meningkatkan daya analisis dan mengembangkan kemampuan observasi / mengamati.
Strategi pemecahan masalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan siswa dalam mengadaptasi situasi pembelajaran yang baru.
3. Kompetensi
Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan “Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu”.
Association K.U. Leuven mendefinisikan bahwa pengertian kompetensi adalah peingintegrasian dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkan untuk melaksanakan satu cara efektif.
Dari definisi di atas kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan.
Inti dari definisi kompetensi yang dipahami selama ini adalah mencakup penguasaan terhadap 3 jenis kemampuan, yaitu: pengetahuan (knowledge, science), keterampilan teknis (skill, teknologi) dan sikap perilaku (attitude).
4. Mata Pelajaran Fiqih di Pondok Pesantren
Fikih, di berbagai pesantren salaf di Indonesia, khususnya di Jawa, nama ini merupakan satu disiplin ilmu yang paling diminati dan sangat popular. Seorang santri rela ‘mendekam’ bertahun tahun, bahkan puluhan tahun, di pesan¬tren untuk mendalami ilmu yang satu ini. Ia tidak akan berani pulang kampung sebelum tuntas mengkaji secara men¬¬da¬lam kitab-kitab fiqh standar madzhab Syafi’i.
Secara implisit bisa di¬pahami, bahwa disiplin ilmu yang paling dituntut untuk dikaji dan didalami oleh seorang kyai adalah ilmu fiqih. Hal ini terjadi karena, pertama, ia khawatir ilmu fiqh-nya kalah canggih oleh santri-santrinya yang makin lama tambah kritis. Kedua, dengan adanya era globalisasi permasalahan di seputar fiqh-pun semakin berkembang. Masyarakat di pedesaan menjadi semakin maju dan kritis. Seiring dengan ini kyai-pun harus pula mengikuti main stream informasi kontemporer serta mengaitkannya dengan metode fiqih (ushul fiqh) dalam upaya untuk memberikan atau menawarkan solusi fiqh yang memuaskan kepada masyarakat. Sebab kalau tidak responsif terhadap masalah-masalah fiqh yang berkembang, tentu hal ini akan mengurangi respek masyarakat.
Pengertian dan Perkembangan Fiqh
Kata fiqh sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab, yaitu bentuk masdar (verbal noun) dari akar kata bentuk madhi (past tense) faquha yang secara etimologis berarti mengerti, mengetahui, memahami dan menuntut ilmu.
Pada awal perkembangan Islam, kata fiqh belum bermakna spesifik sebagai “ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat).
Pada awal perkembangan Islam, khususnya pada era Nabi, Islam belum menyebar secara luas dan cepat seperti pada dekade-dekade berikutnya. Sehingga persoalan-persoalan hukum baru belum muncul dan dengan demikian perbedaan pendapatpun belum mencuat ke permukaan. Setelah Nabi wafat, para sahabat menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, banyak dari mereka yang kemudian menempati posisi sebagai intelektual dan pemimpin agama. Di daerah-daerah baru Islam ini, persoalan-persoalan baru mulai bermunculan. Namun demikian, para Sahabat berusaha sebaik-baiknya (ijtihad) untuk memberi keputusan legal agama berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabi. Di sini, perbedaan pendapat antara opini Sahabat di satu daerah dengan opini Sahabat di daerah lain mulai mencuat. Seperti perbedan yang terjadi antara Sahabat Ibnu Abbas dengan Ibnu Mas’ud tentang masalah riba. Juga antara Sahabat Umar Ibnu Khattab dengan Zayd Ibnu Tsabit tentang arti quru’ untuk masa menunggu (Arab, Iddah) bagi istri yang dicerai. Kendatipun begitu perbedaan-perbedaan tersebut tidak keluar dari spirit Al-Qur’an dan sunnah.
Pada masa generasi sesudah Sahabat atau lebih populer dengan istilah Tabi’in, timbullah tiga divisi besar secara geografis di dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Syria. Di mana masing-masing mempunyai aktivitas legal yang independen. Di Irak kemudian terdapat dua golongan fiqh yaitu di Basrah dan Kufah. Di Syria aktivitas hukumnya tidak begitu dikenal kecuali lewat karya-karya Abu Yusuf. Sedangkan di Hijaz terdapat dua pusat aktivitas hukum yang sangat menonjol yaitu di Makkah dan Madinah. Di antara keduanya, Madinah lebih terkenal dan menjadi pelopor dalam perkembangan hukum Islam di Hijaz. Malik bin Anas atau Imam Malik (w.179 h./795 m.) pendiri madzhab Maliki adalah eksponen terakhir dari ahli hukum golongan Madinah. Sedangkan dari kalangan ahli fiqh Kufah terdapat nama Abu Hanifah.
Beberapa tahun kemudian muncullah nama Muhammad bin Idris Ash-Shafi’i (w.204 h/ 820 m.) atau Imam Syafi’i pendiri madzhab Syafi’iah yang merupakan salah satu murid Imam Malik. Kemudian muncullah nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w.241 h./ 855 m.), atau Imam Hambali, pendiri madzhab Hanabalah. Beliau adalah murid Imam Syafi’i. Pada saat munculnya empat pendiri madzhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya mereka inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu disiplin ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Tujuan dan Fungsi Mata Pelajaran Fiqih
1. Tujuan
Pembelajaran Fiqih di Pondok Pesantren bertujuan untuk membekali santri agar dapat: (1) mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli maupun aqli. (2) melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar.
2. Fungsi
Mata pelajaran Fiqih di Pondok Pesantren berfungsi untuk: (a) Penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah Swt. sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (b) Penanaman kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan santri dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di pesantren dan masyarakat; (c) Pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di pesantren dan masyarakat; (d) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. serta akhlak mulia santri seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga; (e) Pembangunan mental santri terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui Fiqih Islam; (f) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan santri dalam keyakinan dan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
E. METODE PENELITIAN
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah santri kelas empat madrasah Pondok Pesantren Asma’ Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan.
2. Waktu
Penelitian ini direncanakan selama dua bulan.
3. Lama tindakan
Tindakan penelitian direncanakan pelaksanaanya selama 3 minggu untuk 3 kali putaran.
4. Lokasi
Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di Pondok Pesantren Asma’ Chusna Kranji Kedungwuni Pekalongan.
5. Prosedur Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam tiga siklus. Setiap siklus dijelaskan dibawah ini.
1. Siklus 1
Dalam siklus ini difokuskan pada upaya peningkatan daya kritis santri melalui metode bahtsul masail. Indikator keberhasilan diukur dari meningkatnya secara kuantitatif aktivitas santri dalam belajar baik dalam melaksanakan proses pembelajaran maupun dalam mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam forum musyawarah ini.
2. Siklus 2
Dalam siklus ini difokuskan pada perbaikan implementasi metode bahtsul masail sebagai upaya peningkatan daya kritis santri dalam pelajaran fiqih. Indikator keberhasilan diukur dari kualitas santri melaksanakan proses pembelajaran, misalnya diukur dari kegairahan santri mengikuti kegiatan ini, keseriusan dalam muthola’ah kitab kuning, dan kemampuan berargumentasi.
3. Siklus 3
Siklus ini diarahkan pada proses pembelajaran metode bahtsul masail dengan penyempurnaan pada aspek tertentu hasil observasi dan refleksi siklus dua. Indikator keberhasilan diukur dari kemampuan setiap santri memiliki kompetensi.
Title : Peningkatan Daya Kritis Santri melalui Metode Bahtsul Masail
Description : A. JUDUL PENELITIAN Meningkatkan Daya Kritis Santri sebagai Upaya Pencapaian Kompetensi melalui Penggunaan Metode Bahtsul Masail pada Mata P...
Description : A. JUDUL PENELITIAN Meningkatkan Daya Kritis Santri sebagai Upaya Pencapaian Kompetensi melalui Penggunaan Metode Bahtsul Masail pada Mata P...
0 Response to "Peningkatan Daya Kritis Santri melalui Metode Bahtsul Masail"
Post a Comment