Pendahuluan
Genderang Globalisasi telah merebah
disemua lini kehidupan masyarakat Indonesia. Di tandai dengan masuknya
westernisasi dan kemajuan tekhnlogi sehingga muncul sifat dan sikap
individualisme dan egoisme yang tidak hanya menjangkiti masyarakat industri
kota akan tetapi juga telah merubah tradisi masyarakat komunal di pedesaan. Arus
perubahan yang drastis tersebut tidak lain adalah karena pengaruh media yang
sangat gencar baik itu media cetak maupun elektronik. Di satu sisi banyak hal
positif dari perkembangan dan keterbukaan media namun di sisi yang lain banyak
kenegatifan dari perkembangan media tersebut. Problematika kemajuan yang muncul
dari sisi keterbukaan dan kemajuan tekhnologi menyisakan masalah pada moral
masyarakat bangsa. Dimana permasalahn moral ini begitu urgent untuk
menjadi perbincangan dan harus memunculkan solusi-solusi kongkrit bagi
perubahan-perubahan yang lebih baik.
Moral masyarakat Indonesia mengalami
dekradasi yang begitu akut, hal ini memiliki alasan karena dampak globalisasi
sehingga laju teknologi dan informasi pada khususnya media tidak terkontrol dan
mengalami kebebasan. Pendidikan karakter yang diwacanakan oleh Kemendikbud di
tahun 2013 adalah salah satu akibat yang disebabkan oleh insan pendidikan yang
resah melihat peserta didik jauh dari apa yang diharapkan yaitu berilmu dan
berakhlak. Namun dalam tulisan ini penulis ingin membenturkan media dalam arus
gerak nilai-nilai keislaman khususnya Tasawuf, karena bagaimanapun rusaknya
moral masyarakat adalah tanggung jawab keislaman yang notabenya bahwa negeri
berpenduduk 237 Juta jiwa ini mayoritasnya beragama islam, maka menjadi hal
yang sangat penting agar nilai-niai keislaman yang merupakan etika global mampu
untuk menjawab problematika di atas. Sehingga penulis memberikan judul dalam tulisan
ini Tasawuf Menjawab Persinggungan Media Dalam Moralitas Kebangsaan.
Semoga bisa menjadi diskusi yang menarik.
Pembahasan
Media dan
Perubahan Sosial
Di masyarakat, bisa disaksikan bahwa teknologi media, telekomunikasi dan
informasi yang lebih populer dengan nama teknologi telematika, sebagai
teknologi pencipta hiper-relitas, telah menjadi bagian fungsional dalam
berbagai struktur masyarakat, terutama televisi, komputer, dan internet yang
telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat).
Setiap saat kita semua menyaksikan perkembangan teknologi telematika
mampu menciptakan realitas baru di masyarakat dimana realitas itu tidak sekedar
sebuah ruang yang merfelksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau
simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan
alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di
dalamnya.
Perubahan paradigma interaksi manusia kepada dunianya yang baru, yaitu
sebuah dunia yang sangat kecil sekaligus sebuah dunia yang tanpa batas dengan
pola-pola hubungan sosial yang sangat luas dan transparan. Inilah dunia
masadepan umat manusia, sebuah dunia baru yang dikonstruksi oleh new media
setiap saat, setiap waktu, sehingga sebenarnya dunia masa depan adalah sebuah dunia
yang berada diatas telapak tangan media.[1]
Dan dengan perkembangan media yang super canggih, dimana semua serba
nyaman semua serba mudah semua bisa diakses, dimanapun dan kapanpun apa yang
manusia butuhkan tersedia semua bisa didapatkan melalui media internet,
lebih-lebih lagi handphone yang dalam fungsinya untuk komunikasi telefon hari
ini sudah sangat berkembang dengan perkembangan Handphone fasilitas super
lengkap, internet, game, kamera. Recorder, dan bisa dibawa kemana saja. Yang
menjadi tantangan adalah dengan adanya media super canggih itu masyarakat
Indonesia yang notabenya mayoritas penduduknya adalah beragama Islam hanya
menjadi konsumen dari produk-produk asing. Sebenarnya perkembangan media ini
banyak hal posistif yang bisa dimanfaatkan akan tetapi dengan tidak
diimbanginya SDM Indonesia yang masih rendah maka sangat rentan sekali
perkembangan teknologi hanya untuk hal-hal yang negatif.
Dan sebenarnya konstruksi sosial terhadap fungsi sosial teknologi berupa
simbol kemegahan, simbol kecanggihan, simbol kenyamanan, simbol keselamatan,
simbol kemajuan, simbol kemodernan, dan lain sebagainya semuanya hanya menjadi
piranti-piranti kokoh dalam sebuah konstruksi pencitraan terhadap simbol kelas
sosial yang tinggi di masyarakat.[2]
sehingga yang bergaya bukan saja orang kota orang desapun yang setiap hari
menikmati media terpengaruh bahkan sampai mengada-ada walaupun secara finansial
tidak mencukupi, dari itulah muncul kriminalitas yang tinggi pencurian,
perampokan, pembunuhan dsb. Realitas ini mengindikasikan masyarakat sudah meninggalkan
ajaran agamanya dan standar hidupnya mengejar untuk tidak sampai ketinggalan
apa yang di tonton setiap hari yang trand di media, apabila tidak mengikuti
media maka sudah merasa ketinggalan zaman bahkan dikucilkan dlam komunitasnya.
Fenomena diatas merupakan model produksi teknologi media yang tujuan
utamanya adalah untuk melayani kapitalis, dan kebutuhan kapitalis selalu
mengeksploitasi kepentingan masyarakat ke dalam kepentingan pribadi mereka untuk
melipatgandakan kapitalnya sebanyak-banyaknya.[3]
Dengan demikian jelas bahwa media sangat merubah kebiasaan masyarakat
Indonesia, merubah tradisi, budaya, dan sampai pada paradigma. Sekali lagi
bahwa media hari ini sebagai dunia yang ada di atas telapak tangan manusia.
Dinamika
Media di Indonesia
Masalah kebebasan pers yang bisa disebut juga kebebasan media dalam
perjalanan sejarahnya mengalami dinamika yang begitu panjang, di Indonesia
kebijakan pers selalu mengalami pasang surut, tergantung penguasa politik yang
berkuasa saat itu. Artinya, semakin otoriter sebuah rezim penguasa maka semakin
konservatif kebijakan persnya. Demikia sebaliknnya semkain demokratis kebijakan
penguasa maka semakin otonon kebijakan persnya. Hal ini bisa kita runtut mulai pada masa penjajahan dan kemerdekaan
yang sangat di warnai dengan perjuangan untuk kemerdekaan dengan slogan “sekali
merdeka tetap merdeka”[4].
Di lanjutkan dengan demokrasi
terpimpin atau biasa disebut orde lama dimana pada waktu itu Indonesia masih
banyak mengalami pergolakan politik sehingga media berada pada posisi corong
partai, dan hingga pada masa orde baru periode pembangunan bukan menjadi
berkembang akan tetapi terjadi kemunduran pada masa ini, sebagai contoh pada
tahun 1990-an di tengah pembangunan ekonomi dan ekspansi industri media, dengan
disampaikannya presiden Soeharto melalui pidato kenegaraannya, agustus 1990,
yang menyerukan agar masyarakat tidak perlu takut menyatakan pandangan yang
berbeda, dengan cepat di tenggelamkan kembali oleh peristiwa pembredelan
majalah TEMPO, EDITOR, dan Detik tahun 1994.[5]
Banyak terjadinya
pembredelan-pembredelan media karena otoritarian presiden orde baru, hal ini
mengalami perubahan drastis pada masa reformasi, tumbangnya orde baru menjadi
pintu keterbukaan pers terbuka ditandai dengan keluarnya UU Pers No. 40 tahun
1999.[6]
Dengan UU tersebut maka keterbukaan pers mengalami perkembangan hebat, pers
kembali bergaung setiap media dengan bebasnya menyampaikan berbagai tayangan,
termasuk kritik sosial terhadap pemerintah, rakyat, dan SARA sekalipun. Pers
dengan leluasa mengungkapkan berbagai fakta tanpa dihantui rasa takut akan
ancaman penguasa ataupun ancaman pencabutan SIUPP, para penyaji berita/pemburu
fakta bukan sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasannya.[7]
Namun belakangan ini, kebebasan pers sering disalahgunkan banyak kalangan
media dengan berani menyajikan berita anarkis, fitnah, bohong, ataupun
gambar-gambar berbau pornografi maupu pornoaksi. Misalnya : Gambar salah satu
artis yang menjadi cover bagian depan majalah yang memperlihatkan bagian-bagian
vital dari kaum wanita atau laki-laki, cerita-cerita yang mengandung gairah
seksualitas, media juga sering dijadikan sebagai alat provokasi dari satu
golongan ke golongan yang lain. Bahkan ada beberapa media pers yang sengaja
menayangkan tayangan kriminalitas dengan lebih mengedepankan aksi kekerasannya
daripada solusi jyang diberikan sehingga menambah deretan panjang dampak
negatif dari kebebasan pers. Ironisnya itu semua hanya sekedar menarik minat masyarakat
(commercial an sich) tanpa dibarengi dengan nilai-nilai pendidikan
Islam.
Kode Etik
sudah tidak lagi di patuhi media
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia
yang dilindungi Pancasila,Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia PBB. (Kode Etik Jurnalistik)
Pembukaan Kode Etik
Jurnalistik diatas memperlihatkan persinggungan antara pers dan hak asasi
manusia. Kemerdekaan pers merupakan media bagi publik memperoleh hak atas
informasi yang benar. Informasi yang disampaikan kepada publik harus dilandasi
oleh semangat untuk meningkatkan kualitas hidup publik. Selain dimensi sosial,
keberlangsungan pers juga berkaitan erat dengan dimensi industri. Sebagai
lembaga profit, pers ”berkewajiban” untuk memperoleh keuntungan finansial.
Dimensi sosial dan industri ini yang seringkali bertentangan satu sama lainnya.
Pers kadang kala hanya memproduksi informasi yang ”menarik”, bukan informasi
yang ”penting”. Bad news is good news, dengan prinsip di atas media yang
menjadi pusat informasi publik tidak tertemukan yang ada media hanyalah
pembentuk opini publik.[8]
Sebagai contoh
kasus yang paling hangat adalah pada momentum PILPRES 2014 media-media di
Indonesia baik cetak maupun elrktronik sudah tidak sedikitpun memunculkan sikap
independen dan netralitasnya. Sebut saja media cetak Obor Rakyat yang sangat
kontroversial yang mengeluarkan isu-isu SARA memojokkan salah satu CAPRES,
media-media cetak yang lain pun tidak kalah dengan keberpihakannya pada salah
satu CAPRES yang notabenya sudah di kontrak/dibeli oleh CAPRES 2014.
Dalam media
elektronik (televisi) sangat menonjol perbedaan isi berita pada televisi yang concern
memberitakan berita (news) yaitu TV ONE dan METRO TV yang
jelas keduanya dimilki oleh orang-orang partai yang telah mendukung CAPRES
2014.TV ONE dimiliki oleh keluarga BAKRIE yang telah mendukung PRABOWO-HATTA
karena notabenya Abu Rizal Bakrie adalah ketua Partai GOLKAR partai koalisi
pasangan calon No. 1 dan METRO TV yang
dimiliki oleh Surya Paloh merupakan Ketua Partai NASDEM yang telah berkoalisi
dengan Pasangan calon No. 2 Jokowi-JK. Belum lagi pada kasus-kasus yang lain
yang apabila berkaitan dengan kepentingan pemilik perusahaan TV sudah bisa
dipastikan berita yang disajikan tidak bersifat independen dan bersifat
subjektif. Padahal apabila kita tengok aturan yang tertera dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat 4
menjelaskan isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan
kepentingan golongan tertentu. Dalam Pasal 48 Ayat 4 (h) pedoman perilaku
penyiaran yang menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan
dengan ketepatan dan kenetralan program berita.[9] Kode Etik Jurnalistik,
Pasal 3 mengharuskan jurnalis untuk menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah. Menguji informasi berarti melakukan check and
recheck tentang kebenaran informasi itu, sedangkan berimbang adalah memberikan
ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.[10]
Dalam hal lain yang
berkaitan dengan Diskriminasi Menurut Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang
HAM Pasal 1 Ayat 3,[11] diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal
8, terdapat ketentuan, Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan
suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.[12]
Terbukti dari
pertarungan PILPRES ini banyak sekali terdapat black campaign (kampanye
hitam) sehingga saling merendahkan antar satu dengan yan lain, alih-alih ingin
menjadi lebih unggul bukan dengan memberikan apresiasi akan tetapi malah saling
merendahkan bahkan sampai menyinggung masalah fisik dan SARA. Media tidak mampu
untuk menahan dirinya dari saling merendahkan dan menghina.
Kriminalitas
sebagai akibat dari kebebasan media
Dengan majunya teknologi informasi (IT) khususnya akses internet membuat
semua serba cepat mudah dan praktis. Perkembangan masyarakat manusia telah
sampai pada sebuah tahap kehidupan baru, dimana dunia nyata dan dunia maya
menjadi sebuah ruang (space) kehidupan yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Terlebih lagi bahwa kehidupan dalam ruang maya menjanjikan masa depan yang
sangat amat cerah, ketika ruang kehidupan ruang-ruang dunia nyata mulai
menyempit dengan asap-asap kendaraan, dengan bangunan-bangunan yang tinggi,
dengan sampah-sampah teknologi. Ruang maya dapat menafikan semua itu dengan
menawarkan sebanyak mungkin menawarkan sifat utamanya, yaitu efisisensi ruang
dan waktu.[13]
Sehingga semua hal yang sifatnya
publik berlomba-lomba untuk membuka jaringan internet (Wifi), entah itu di
lembaga pendidikan (SD-SMP), Lembaga pemerintahan, restoran dan rumah makan,
terminal, stasiun dan pelabuhan, hingga setiap rumah yang notabenya menengah ke
atas dipasang koneksitas untuk internet (internet connectivity). Hal ini
secara umum bersifat baik, kemajuan pesat dalam bidang teknologi informasi.
Namun daripada itu mudahnya akses
internet tidak diimbangi SDM yang berkarakter membuat penyalahgunaan internet. Digunakan untuk membuka situs-situs yang
berbau pornografi dan pornoaksi. Sebagai contoh di Kota Pekalongan yang telah
membuka telecenter di 400 RW[14],
sehingga hampir setiap RW memiliki akses internet yang bisa di akses oleh semua
masyarakat di RW setempat. Ini membuat kontroversi sendiri di tengah keunggulan
program Pemkot Pekalongan, yang terjadi di lapangan tidak sesuai yang
diharapkan, salah satu ketua RT di Kecamatan Pekalongan Timur berinisial SMD yang
rumahnya ditempati telecenter mengaku setiap malam banyak remaja usia SMP-SMA
datang ke telecenter untuk mengakses internet, ketika mencoba untuk di awasi
yang terjadi adalah membuka situs porno.[15] Ini
adalah salah satu contoh, yang tentunya tidak jauh berbeda di daerah lain.
Walaupun
Kementerian Komunikasi dan Informasi Menjelang Ramadhan menutup sekitar satu
juta situs porno . Dalam skala general semua situs sudah ditutup, dan ada lima
situs lain yang sedang dites dan nantinya akan dilakukan pemblokiran. Namun
produsen situs porno memiliki seribu cara untuk tetap eksis di dunia maya
(Internet).[16]
Sehingga bisa dipastikan dengan mudahnya masyarakat Indonesia khususnya remaja
dalam mengakses internet maka mudah pula mereka untuk melihat gambar/video yang
bersifat porno. Yang berdampak pada rusaknya moralitas pemuda Indonesia.
Selain
internet media lain yang besar dalam memberikan pengaruh kriminalitas
masyarakat adalah televisi. Kita lihat saja media hari ini dalam pemberitaannya
ada yang digolongkan pada berita kriminal sebagai contoh : PATROLI, BUSER, dan
lain sebagainya. Alih-alih menyajikan berita kriminal yang terjadi adalah
masyarakat terinspirasi dan mempraktekan apa yang telah disajikan oleh media.
Kriminal marak dan begitu mudahnya orang berbuat melanggar hukum, sebagai
contoh : pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, NARKOBA, dsb. Selain itu industri
film Indonesia (Sinetron) mempersembahan hal-hal yang sifatnya dekat dengan
kriminalitas dan tidak bermoral. Sebagai contoh FTV yang didalamnya hanya
berisi percintaan remaja, dan sinetron-sinetron lain yang banyak mengilhami masyarakat
Indonesia dalam hal kriminal. Selian itu tayangan Yuk Kita Santai, dangdut
academy dan lain sebagainya yang penayangannya begitu panjang membuat
masyarakat Indonesia dari anak sampai dewasa semua menirukan jogetan dan
goyangannya. Lebih lagi yang ditampilkan (bintang filmnya) menggunkan pakaian
yang serba minim yang bisa mengundang gairah penontonnya. Ini fenomena yag
cukup pelik.
Memang benar apa
yang telah dikatakan oleh Burhan Bungin bahwa konstruksi sosial media adalah
konstruksi sosial yang dibangun oleh media terhadap objek konstruksi sosial,
yang membangunkan wujud-wujud imajiner citra sosial dalam mind
seseorang, kelompok atau masyarakat, sehingga membentuk hubungan-hubungan
intersubjektif antar seseorang dengan orang lain tentang sebuah objek
konstruksi sosial tersebut. Sebagaimana kita ketahui media massa saat ini
menggunakan kapitalisme sebagai ideologi dominan. Berdasarkan paham yang dianut
oleh media macam ini, maka “peluang bisnis” atau sense of bussiness atau
sense of news, atau bad news is good news adalah jalan yang digunakan
media untuk memacu ratting acara atau menciptakan ratting baru.[17]
Padahal
apabila kita simak hasil kajian yayasan kesejahteraan anak Indonesia, misalnya
mencatat rata-rata anak usia sekolah dasar menonton televisi antara 30 hingga
35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton televisi
lebih dari empat hingga lima jam sehari. Sementara di hari minggu bisa tujuh
sampai delapan jam. Jika rata-rata empat jam sehari berarti setahun 1.400
jam,atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SMA. Padahal waktu yang
dilewatkan anak dari TK hingga SMA hanya 13.000 jam. Berarti anak-anak
meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan
apapun, kecuali tidur.[18]
Sehingga
sangat logis apabila kriminalitas masyarakat Indonesai naik drastis, karena
bukti-bukti diatas menjadi penyebab utamanya. Sampai kemendikbud menerapkan
kurikulum pendidikan karakter adalah bagian dari menjawab persoalan diatas.
Tasawuf keindonesiaan
sebagai solusi
Tidak begitu etis nampaknya apabila memberikan kritikan tanpa diirngi
dengan solusi, nah, untuk meluruskan problematika kebebasan media alangkah baik
kita kembali pada ajaran Allah SWT melalui utusan-Nya yaitu Rasulullah SAW,
bagaimanapun negeri maritim indonesia ini mayoritas penduduknya Islam maka
alangkah baik apabila ajaran-ajaran Islam tersebut terimplementasikan dengan
baik. Karena islam diturunkan Allah SWT sebagai rahmatan lil ‘lamien,
diturunkan dalam konteks zamannya dan dalam rangka memecahkan problema
kemasyarakatan yang ada pada waktu itu, hal ini menuntut agar Islam dipahami
dalam konteksnya yang tepat.
Nah tawaran solusinya adalah melalui salah satu cabang keilmuan Islam
yaitu tasawuf, rumusan ajaran tasawuf kentara sekali terutama dalam konteks
zuhud yang oleh sementara orang mengartikan menjauhi dunia sebagaimana yang
ditawarkan oleh Hasan Bashri. Karena pada konteks zamannya banyak terjadi
konflik Intern umat Islam, sampai-sampai mnimbulkan perang saudara (al-fitnatu al-kubra).
Tasawuf adalah jalan mendekatkan diri pada Allah SWT melalui ibadah. Secara
hakiki ia mengusahakan penyucian diri, yang diharapkan menghasilkan kedamaian,
kebahagiaan, dan kesejukan hati. Untuk mencapai tujuan tasawuf, maka seorang
sufi berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai dan mengendalikan nafsunya
yang selalu mengajak pada kejahatan. Sebagaimana firman Allah SWT :
“ Dan
aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Pada
segi lain tasawuf bisa berarti moralitas sebagaimana dikatakan oleh Abu
Muhammad al-Jariri: “ Tasawuf adalah masuk dalam moralitas yang tinggi dan
keluar dari moralitas yang rendah.” Senada dengan itu al-Kanani menyatakan : “
Tasawuf adalah moralitas, barangsisapa bertambah tinggi moralitasnya, maka
bertambah pula kesufiannya.” (al-Qusyairi, 1940).
Baik cobalah kita ingat dengan permasalahannya, dunia yang dulunya sarat
dengan keterikatan magis dalam kekuasaan ulama dan lembaga agama mulai terbuka
dan dijelajahi oleh sebagian besar orang. Fungsi dan makna dunia objektif yang
selama ini diterima “apa adanya” secara emosional dari warta wahyu, kini
mulai ditanggapi secara kritis dan rasional. Memasuki negara modern dan
industri, dalam era demikian ini akan muncul dan tumbuh sikap rasionalisme
dalam memandang alam dan lingkungan hidupnya dan sekularisasipun akan
menyertai. Bersamaan dengan itu muncul tuntutan spesialisasi dan profesi dalam
menangani berbagai persoalan kehidupan ini, menyebabkan ketergantungan satu
sama lainnya. Belajar dari masyarakat Barat yang telah mencapai puncak
kenikmatan materi itu justru berbalik dari apa yang diharapkan, yakni mereka
dihinggapi rasa cemas, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiannya
tereduksi perangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang tidak
manusiawi. Akibatnya mereka idak memiliki pegangan hidup yang mapan dan terarah
pada tujuan yang jelas. (komarudin hidayat, 1985). Inilah sebabnya Ziauddin
Sardar menamakan abad ini bukan rahmat,tetapi la’nat.
Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan
masa depan masyarakat, antara lain hendaknya msnusia selalu introspeksi diri (muhasabah),
berwawasan hidup yang moderat, tidak terjerat nafsu rendah (al-Hujawri, 1973)
sehingga lupa pada diri dan Tuhannya. Dalam menempuh tujuan Tasawuf seseorang
harus melalui tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
Dalam Takhalli terdapat ciri moralitas Islam, yakni menghindarkan diri
dari sifat-sifat tercela, baik secara vertikal maupun secara horisontal,
misalnya iri (hasud) terhadapnikmat yang diterima orang lain, memamerkan diri
(riya’) untuk kepentingan subyektif, kecenderungan pemenuhan materi secara
berlebih-lebihan (hirsh) dan sebagainya. Tahalli merupakan pengungkapan secara
progresif nilai moral yang terdapat dalam Islam, seperti zuhud, qana’ah, ridla,
wara’, sabar, syukur, dan tawakkal dan sebagainya. Inilah yang disebut station
(maqam) , sebagai wahana penggodokan kualitas moral manusia, yang berarti
proses penyempurnaan diri yang tergantung pada faktor manusianya sendiri yang
memilki tanggung jawab moral. Bermula dari tanggung jawab moral inilah akhirnya
moral inilah akhirnya moral manusia berkembang dan tumbuh menjadi luhur dalam
dinamika kehidupan manusia tanpa diliputi goncangan psikologis.Tajalli sebagai
realisasi nilai-nilai religio moral dalam diri manusia yang melembaganya
nilai-nilai ilahiyah yang selanjutnya akan direfleksikan dalam setiap gerak dan
aktifitas lainnya. Pada tingkat ini seseorang telah mencapai tingkat
kesempurnaan (“insan kamil”). Dia dapat merealisasikan segala kemungkinan yang
dapat dicapai oleh makhluk manusia yang membawa potensi keilahian.
Manusia demikian inilah yang mampu menyerap sifat-sifat ilahi dan
memancarkannya kembali dalam kehidupan antar sesama manusia. Penyerapan dan
pemancaran kembali sifat-sifat ilahi ini pada hakikatnya adalah usaha pemantapan
dan pemberian makna pada keberadaan manusia bahwa ia benar-benar ada, berada
dan mengada, yang hanya mungkin terjadi dalam komunikasi dan interaksi antara
manusia dan keadaan diluar darinya, yakni Tuhan. Dalam pandangan al-hallaj,
Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah
berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud
ruh yang berasal dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka Nasut
Allah akan bertempat pada diri manusia yang bercampur dengan ruh (lahut)
manusia. Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul. Dan dalam
kondisi inilah manusia akan memperoleh kebahagiaan dan kesenangan serta kedamaian.[19] Menurut
Ali Syari’ati insan kamil adalah manusia tiga dimensional, manusia dengan tiga
talenta utama, kesadaran iradah dan daya cipta. Manusia yang telah melalui
jenjang demikian, telah mncapai puncak perolehan tasawuf, akan selalu bisa
menguasai diri dan menyesuaikan diri di tengah-tengah deru modernisasi dan
industrialisasi. Orang yang demikian telah mngenal Allah, mengenal alam,
manusia dan dirinya.[20]
Media;
kemajuan yang diirngi moralitas kebangsaan
Melihat realitas derasnya laju informasi dan teknologi khususnya media
yang selalu mengalami perkembangan bahkan sampai pada kebebasan yang kebablas.
Maka perlu kita sadari bahwa inilah merupakan fenomena tantangan modernisasi
dan globalisasi, Auguste Comte peletak dasar aliran positivisme, mengatakan
bahwa manusia modern adalah mereka yang sudah sampai kepada tingkatan pemikiran
positif. Pada tahapan ini manusia sudah lepas dari pemikiran religius dan
pemikiran filosofis yang masih global. Mereka telah sampai pada pengetahuan
yang rinci tentang sebab-sebab segala
sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.
Dari keterangan di atas bahwa manusia modern melihat keberadaannya tidak
lebih dari keberadaan sebuah mobil yang tersusun dari berbagai bagian-bagian
sebab akibat. Mereka tidak lagi mempercayai adanya spirit yang ada pada
dirinya, karena hal tersebut secara materi tidak pernah ada. Kefanatikan
manusia modern terhadap eksistensialisme dan positivisme membuat mereka
menafikan berbagai informasi, baik yang bersumber dari kitab suci maupun dari
tradisi mistik yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki unsur sprirtual.
Karenanya manusia modern mengalami krisis spriritual.[21]
Hal ini tentunya memilki konsekuensi bagaimana krisis sprirtual dengan
kebebasan media yang menjadi kiblat manusia harus diiringi dengan moralitas
melalui ajaran tasawuf.
Andaikata pelaku media hari ini
sadar akan nilai-nilai kemanusiaan tentu media akan berada pada relnya yaitu
etika sebagai seorang yang bertanggung jawab, jujur dan membawa misi perubahan
sosial, menurut Hamzah Ya’qub etika adalah sebuah studi tentang formasi
nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip benar dan salah. Insan jurnalis
mengungkapkan bahwa pers berfungsi sebagai alat menyebarluaskan informasi,
melakukan kontrol sosial konstrukstif, menyalurkan aspirasi rakyat dan
memuaskan meluaskan komunikasi sosial dan partisipasi masyarakat.[22] etika
bisa disebut juga perilaku baik, jika perilaku baik itu secara internal
ditegakkan dengan baik dalam pikiran dan perasaan, namun ia hanya diwujudkan
dalam ucapan, berwujud kata-kata dan ungkapan, dalam kalimat dan deklarasi,
maka perilaku tersebut akan menjadi tidak komplit, lemah dan tidak manjur.
Orang tidak hanya perlu ucapan tapi juga perbuatan. Kadang-kadang perbuatan
merupakan argumen praktis yang lebih meyakinkan daripada kata-kata sederhana
sekalipun. Perilaku yang baik menjadi sinonim dengan transendensi, karena
keduanya merupakan manifestasi dari prinsip universal, satu saat ada dalam
teori satu saat ada dalam praktek. Islam dengan mudah dapat dipahami sebagai
etika global bagi solidaritas kemanusiaan. Prinsip universal merupakan basis
teoritis bagi etika global, dan perilaku baik merupakan dasar praktis bagi
solidaritas kemanusiaan.[23] kembali pada insan jurnalis yang beretika
dan bermoral melalui ajaran tasawuf menjadi kewajiban guna perubahan kebebasan
media yang sulit terkontrol.
Salah satunya yang bisa menjadi rujukan dalam
beretika dan mermoral melalui ajaran tasawuf yaitu meneladani Rasulullah SAW.
Sebagaimana berikut :
1. Memperkokoh moral religius kita, segala tingkah laku kita
dijiwai oleh semnagat al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan begitu kita akan selamat
dunia dan akhirat.
2. Berusaha menjadikan diri kita sebagai manusia yang ideal, insan
kamil, sebagaimana Nabi sendiri adalah demikian.gambaran manusia ideal adalah
manusia yang terbebaskan yaitu manusia pemurah tak banyak keinginan, kreatif,
mampu menyatakan diri dan bakat-bakatnya dalam suatu tindakan penciptaan tanpa
paksaan.
3. Berusaha menjadikan religiusitas (iman dan taqwa) kita mempunyai
hubungan dinamis dengan industrilaisasi, yakni diharapkan industrialisasi dapat
menopang dan meningkatkan religiusitas. Religiusitas yang paling murni dan
sejati ialah yang berdimensi budaya inttrinsik atau cultural consumantory.
Yaitu sikap keagamaan yang memandang kepercayaan atau iman sebagai tujuan pada
dirinya sendiri, dan yang menimbulkan perasaan bahagia karena nilai
intrinsiknya.
4. Berusaha menjadikan diri kita sebagai manusia yang berdaya dan
mempunyai dua dimensi sebagaimana Nabi SAW. Adalah seorang dengan dua wajah
yang kontras yang mengejawantah secara indah dalam satu spirit. Wjah
keduniaannya mengejawantah dalam perang dan aksi-aksi sosial, dalam memerangi
kekuatan-kekuatan yang destruktif di tengah-tengah masyarakat. sedang wajah
atau dimensi sucinya menampakkan diri dalam menyampaikan amanat Allah bagi umat
manusia. Dalam dirinya kenabian dan
kepemimpinan mendua dan menyatu secara sangat serasi, sebagai penuntun yang
membimbing kemanusiaan ke arah suatu tujuan tertentu dan sebagai seorang hamba
yang shalih, yang selalu berdo’a dan mengabdi.
5. Menjadikan Iman teoritik (nadhary) menjadi iman penghayatan
(qalbi). Ini adalah satu dari kriteria tasawuf
yang shahih sebagaimana dikatakan oleh Muhammad al-Ghazali dalam Rakaiz
Iman (Muhammad al-Ghazali, 1985). SH. Nasr-pun mempunyai gagasan yang sama,
bahwa dalam usaha mengobati dua penyakit industrialisasi, yakni hilangnya visi
keagamaan dan kehampaan spiritual, ialah syahadat, pemahaman, penghayatan,
proklamasi, serta tindakan yang bertolak dari kenyataan akan ketauhidan Allah,
baik dalam zat maupun rububiyah-Nya.Sufisme yang dikehendaki adalah spesifik
Islam, alternatif jenjang yang dilalui ialah zuhud, cinta kemudian ma’rifat.
6. Dalam menatap industrialisasi dan masa depan ialah dengan
menumbuhkan kesadaran sendiri, kesadaran masyarakat, kesadaran ummah, kesadaran
kemanusiaan dan kesadaran dunia.
Aktualisasi Uswatun
Hasanah Rasul SAW. pada masa globalisasi dan kebebasan media ialah menanamkan
akhlak Nabawi dan akhlak Illahi (al-Takhaluq bi akhlaqi
Allah)-sebagaimana yang telah dikemukakan diatas pada diri kita masing-masing.
Untuk mengimbangi hilangnya visi keagamaan dan kehampaan spiritual, diperlukan
peningkatan komitmen dan misi misi tauhid serta mengamalkan ajaran islam secara
utuh, yakni iman islam dan ihsan sekaligus. Aspek ihsan, penghayatan teerhadap
iman dan islam perlu ditingkatkan. Dan untuk ini perlu menjadi mutasawwifin
(ahli tasawuf) tanpa memasuki kelompok sufi ekstrim.[24]
Dengan keyakinan yang
sungguh-sungguh maka problematika rusaknya moral akibat kebebasan media akan
tersolusi dengan humanis apabila keteladanan pada rasulullah kita aplikasikan
dalam sehari-hari. Yang terjadi adalah media-media Indonesia akan lebih
beretika dan berakhlak apabila insan media mempraktekkan al-takhaluq bi
akhlaqi Allah. Media yang menjadi kiblat segala tindakan dan perbuatan
masyarakat Indonesia akan lebih indah apabila tasawuf dipraktekkan oleh insan
media, bukan hanya keuntungan yang dituju tetapi perjuangan untuk perubahan
sosial, kemajuan peradaban, dan peningkatan sumber daya manusia. Sehingga
indonesia yang kita cinta menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun Ghafur.
Amien.
By. Abdul Adzim
Daftar Pustaka
Ø Abullah M.
Badri, Kritik Tanpa Solusi “Agama dalam Cabul Media”, Diroz Pustaka :
Semarang, 2012.
Ø Burhan M.
Bungin, Pornomedia (Sosiologi media, konstruksi sosial teknologi telematika
dan perayaan seks di media massa), Jakarta : Kencana, 2005.
Ø Dulay Hamdan, Kode
Etik Jurnalistik dan Kebebasan Pers di Indonesia di Tinjau dari Perspektif
Islam, jurnal penelitian agama UIN
Sunan Kalijaga Vol.XVII, No. 2 Mei-Agustus, 2008.
Ø Hanafi Hasan, Etika
Global dan Solidaritas Kemanusiaan sebuah pendekatan Islam dalam Islam dan
Humanisme, Semarang : IAIN Walisongo, 2007.
Ø http//wikipedia.org.
di akses pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 12.00 WIB.
Ø http://e-penyiaran.kominfo.go.id/ UU No. 32 Tahun 2002 tentang
penyiaran. Di akses tanggal 1 Juli 2014 pukul 08:30 WIB.
Ø http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/15. di akses pada tanggal 29 Juni 2014
pukul 02:28. di akses pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 02:28.
Ø Muhayya Abdul, Peranan
Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual dalam Tasawuf dan Krisis,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Ø Pengakuan SMD
pada tanggal 24 Mei 2014, pukul 20:00.
Ø Syukur Amin, Tasawuf
Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012.
Ø www.mediabangsa.com
dalam Dampak Negatif tayangan Televisi, di akses pada tanggal 29/06/2014
pukul 03:00 WIB.
[1] M.
Burhan Bungin, Pornomedia (Sosiologi media, konstruksi sosial teknologi
telematika dan perayaan seks di media massa), Jakarta : Kencana, hlm 4-5.
[2] Ibid.,hlm.
19-20.
[3] Ibid.,
hlm, 20.
[4]
http//wikipedia.org di akses tanggal 26 Juni 2014 pukul 06:00 WIB
[5]
Hamdan Dulay, Kode Etik Jurnalistik dan Kebebasan Pers di Indonesia di
Tinjau dari Perspektif Islam, jurnal penelitian agama UIN Sunan Kalijaga Vol.XVII,
No. 2 Mei-Agustus, 2008, hlm. 300-301.
[6]
http//wikipedia.org. di akses pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 12.00 WIB.
[7]
Hamdan Daulay, Ibid., hlm. 301.
[8] M.
Abullah Badri, Kritik Tanpa Solusi “Agama dalam Cabul Media”, Diroz Pustaka :
Semarang, 2012.
[9] http://e-penyiaran.kominfo.go.id/
UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Di akses tanggal 1 Juli 2014 pukul
08:30 WIB.
[10] http://www.lpds.or.id/ Kode Etik
Jurnalistik. Di akses tanggal 1 Juli 2014 pukul 08:40 WIB.
[11] http://www.komnasham.go.id/
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di akses tanggal 1 juli 2014
pukul 08:40 WIB.
[12]
Op. Cit., Kode Etik Jurnalistik.
[13] Ibid.,
Pornomedia, hlm. 52.
[14]
Suara Merdeka, Suara Pantura Kolom Kota Pekalongan 05 April 2013
[15]
Pengakuan SMD pada tanggal 24 Mei 2014, pukul 20:00.
[17]
Op. Cit., Burhan Bungin hlm.132-133.
[18] www.mediabangsa.com
dalam Dampak Negatif tayangan Televisi, di akses pada tanggal 29/06/2014
pukul 03:00 WIB.
[19]
Abdul Muhayya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual
dalam Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hlm
19.
[20]
Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012, hlm.
32-37.
[21]
Op. Cit., Abdul Muhayya, hlm. 21-22.
[22]
Hamdan Daulay, Op. Cit., hlm. 310.
[23]
Hasan Hanafi, Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan sebuah pendekatan
Islam dalam Islam dan Humanisme, Semarang : IAIN Walisongo, 2007, hlm.
11-12.
[24]
Op. Cit., Amin Syukur, hlm. 108-110.
No comments:
Post a Comment