GUDANG MAKALAH

Tuesday, 12 August 2014

TASAWUF DAN MEDIA



Pendahuluan
            Genderang Globalisasi telah merebah disemua lini kehidupan masyarakat Indonesia. Di tandai dengan masuknya westernisasi dan kemajuan tekhnlogi sehingga muncul sifat dan sikap individualisme dan egoisme yang tidak hanya menjangkiti masyarakat industri kota akan tetapi juga telah merubah tradisi masyarakat komunal di pedesaan. Arus perubahan yang drastis tersebut tidak lain adalah karena pengaruh media yang sangat gencar baik itu media cetak maupun elektronik. Di satu sisi banyak hal positif dari perkembangan dan keterbukaan media namun di sisi yang lain banyak kenegatifan dari perkembangan media tersebut. Problematika kemajuan yang muncul dari sisi keterbukaan dan kemajuan tekhnologi menyisakan masalah pada moral masyarakat bangsa. Dimana permasalahn moral ini begitu urgent untuk menjadi perbincangan dan harus memunculkan solusi-solusi kongkrit bagi perubahan-perubahan yang lebih baik.
            Moral masyarakat Indonesia mengalami dekradasi yang begitu akut, hal ini memiliki alasan karena dampak globalisasi sehingga laju teknologi dan informasi pada khususnya media tidak terkontrol dan mengalami kebebasan. Pendidikan karakter yang diwacanakan oleh Kemendikbud di tahun 2013 adalah salah satu akibat yang disebabkan oleh insan pendidikan yang resah melihat peserta didik jauh dari apa yang diharapkan yaitu berilmu dan berakhlak. Namun dalam tulisan ini penulis ingin membenturkan media dalam arus gerak nilai-nilai keislaman khususnya Tasawuf, karena bagaimanapun rusaknya moral masyarakat adalah tanggung jawab keislaman yang notabenya bahwa negeri berpenduduk 237 Juta jiwa ini mayoritasnya beragama islam, maka menjadi hal yang sangat penting agar nilai-niai keislaman yang merupakan etika global mampu untuk menjawab problematika di atas. Sehingga penulis memberikan judul dalam tulisan ini Tasawuf Menjawab Persinggungan Media Dalam Moralitas Kebangsaan. Semoga bisa menjadi diskusi yang menarik.
Pembahasan
Media dan Perubahan Sosial
Di masyarakat, bisa disaksikan bahwa teknologi media, telekomunikasi dan informasi yang lebih populer dengan nama teknologi telematika, sebagai teknologi pencipta hiper-relitas, telah menjadi bagian fungsional dalam berbagai struktur masyarakat, terutama televisi, komputer, dan internet yang telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat).
Setiap saat kita semua menyaksikan perkembangan teknologi telematika mampu menciptakan realitas baru di masyarakat dimana realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merfelksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya.
Perubahan paradigma interaksi manusia kepada dunianya yang baru, yaitu sebuah dunia yang sangat kecil sekaligus sebuah dunia yang tanpa batas dengan pola-pola hubungan sosial yang sangat luas dan transparan. Inilah dunia masadepan umat manusia, sebuah dunia baru yang dikonstruksi oleh new media setiap saat, setiap waktu, sehingga sebenarnya dunia masa depan adalah sebuah dunia yang berada diatas telapak tangan media.[1]
Dan dengan perkembangan media yang super canggih, dimana semua serba nyaman semua serba mudah semua bisa diakses, dimanapun dan kapanpun apa yang manusia butuhkan tersedia semua bisa didapatkan melalui media internet, lebih-lebih lagi handphone yang dalam fungsinya untuk komunikasi telefon hari ini sudah sangat berkembang dengan perkembangan Handphone fasilitas super lengkap, internet, game, kamera. Recorder, dan bisa dibawa kemana saja. Yang menjadi tantangan adalah dengan adanya media super canggih itu masyarakat Indonesia yang notabenya mayoritas penduduknya adalah beragama Islam hanya menjadi konsumen dari produk-produk asing. Sebenarnya perkembangan media ini banyak hal posistif yang bisa dimanfaatkan akan tetapi dengan tidak diimbanginya SDM Indonesia yang masih rendah maka sangat rentan sekali perkembangan teknologi hanya untuk hal-hal yang negatif.
Dan sebenarnya konstruksi sosial terhadap fungsi sosial teknologi berupa simbol kemegahan, simbol kecanggihan, simbol kenyamanan, simbol keselamatan, simbol kemajuan, simbol kemodernan, dan lain sebagainya semuanya hanya menjadi piranti-piranti kokoh dalam sebuah konstruksi pencitraan terhadap simbol kelas sosial yang tinggi di masyarakat.[2] sehingga yang bergaya bukan saja orang kota orang desapun yang setiap hari menikmati media terpengaruh bahkan sampai mengada-ada walaupun secara finansial tidak mencukupi, dari itulah muncul kriminalitas yang tinggi pencurian, perampokan, pembunuhan dsb. Realitas ini mengindikasikan masyarakat sudah meninggalkan ajaran agamanya dan standar hidupnya mengejar untuk tidak sampai ketinggalan apa yang di tonton setiap hari yang trand di media, apabila tidak mengikuti media maka sudah merasa ketinggalan zaman bahkan dikucilkan dlam komunitasnya.
Fenomena diatas merupakan model produksi teknologi media yang tujuan utamanya adalah untuk melayani kapitalis, dan kebutuhan kapitalis selalu mengeksploitasi kepentingan masyarakat ke dalam kepentingan pribadi mereka untuk melipatgandakan kapitalnya sebanyak-banyaknya.[3] Dengan demikian jelas bahwa media sangat merubah kebiasaan masyarakat Indonesia, merubah tradisi, budaya, dan sampai pada paradigma. Sekali lagi bahwa media hari ini sebagai dunia yang ada di atas telapak tangan manusia.         
Dinamika Media di Indonesia
Masalah kebebasan pers yang bisa disebut juga kebebasan media dalam perjalanan sejarahnya mengalami dinamika yang begitu panjang, di Indonesia kebijakan pers selalu mengalami pasang surut, tergantung penguasa politik yang berkuasa saat itu. Artinya, semakin otoriter sebuah rezim penguasa maka semakin konservatif kebijakan persnya. Demikia sebaliknnya semkain demokratis kebijakan penguasa maka semakin otonon kebijakan persnya. Hal ini bisa kita runtut  mulai pada masa penjajahan dan kemerdekaan yang sangat di warnai dengan perjuangan untuk kemerdekaan dengan slogan “sekali merdeka tetap merdeka”[4].
 Di lanjutkan dengan demokrasi terpimpin atau biasa disebut orde lama dimana pada waktu itu Indonesia masih banyak mengalami pergolakan politik sehingga media berada pada posisi corong partai, dan hingga pada masa orde baru periode pembangunan bukan menjadi berkembang akan tetapi terjadi kemunduran pada masa ini, sebagai contoh pada tahun 1990-an di tengah pembangunan ekonomi dan ekspansi industri media, dengan disampaikannya presiden Soeharto melalui pidato kenegaraannya, agustus 1990, yang menyerukan agar masyarakat tidak perlu takut menyatakan pandangan yang berbeda, dengan cepat di tenggelamkan kembali oleh peristiwa pembredelan majalah TEMPO, EDITOR, dan Detik tahun 1994.[5]
  Banyak terjadinya pembredelan-pembredelan media karena otoritarian presiden orde baru, hal ini mengalami perubahan drastis pada masa reformasi, tumbangnya orde baru menjadi pintu keterbukaan pers terbuka ditandai dengan keluarnya UU Pers No. 40 tahun 1999.[6] Dengan UU tersebut maka keterbukaan pers mengalami perkembangan hebat, pers kembali bergaung setiap media dengan bebasnya menyampaikan berbagai tayangan, termasuk kritik sosial terhadap pemerintah, rakyat, dan SARA sekalipun. Pers dengan leluasa mengungkapkan berbagai fakta tanpa dihantui rasa takut akan ancaman penguasa ataupun ancaman pencabutan SIUPP, para penyaji berita/pemburu fakta bukan sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasannya.[7]
Namun belakangan ini, kebebasan pers sering disalahgunkan banyak kalangan media dengan berani menyajikan berita anarkis, fitnah, bohong, ataupun gambar-gambar berbau pornografi maupu pornoaksi. Misalnya : Gambar salah satu artis yang menjadi cover bagian depan majalah yang memperlihatkan bagian-bagian vital dari kaum wanita atau laki-laki, cerita-cerita yang mengandung gairah seksualitas, media juga sering dijadikan sebagai alat provokasi dari satu golongan ke golongan yang lain. Bahkan ada beberapa media pers yang sengaja menayangkan tayangan kriminalitas dengan lebih mengedepankan aksi kekerasannya daripada solusi jyang diberikan sehingga menambah deretan panjang dampak negatif dari kebebasan pers. Ironisnya itu semua hanya sekedar menarik minat masyarakat (commercial an sich) tanpa dibarengi dengan nilai-nilai pendidikan Islam.
Kode Etik sudah tidak lagi di patuhi media
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila,Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. (Kode Etik Jurnalistik)
Pembukaan Kode Etik Jurnalistik diatas memperlihatkan persinggungan antara pers dan hak asasi manusia. Kemerdekaan pers merupakan media bagi publik memperoleh hak atas informasi yang benar. Informasi yang disampaikan kepada publik harus dilandasi oleh semangat untuk meningkatkan kualitas hidup publik. Selain dimensi sosial, keberlangsungan pers juga berkaitan erat dengan dimensi industri. Sebagai lembaga profit, pers ”berkewajiban” untuk memperoleh keuntungan finansial. Dimensi sosial dan industri ini yang seringkali bertentangan satu sama lainnya. Pers kadang kala hanya memproduksi informasi yang ”menarik”, bukan informasi yang ”penting”. Bad news is good news, dengan prinsip di atas media yang menjadi pusat informasi publik tidak tertemukan yang ada media hanyalah pembentuk opini publik.[8]
Sebagai contoh kasus yang paling hangat adalah pada momentum PILPRES 2014 media-media di Indonesia baik cetak maupun elrktronik sudah tidak sedikitpun memunculkan sikap independen dan netralitasnya. Sebut saja media cetak Obor Rakyat yang sangat kontroversial yang mengeluarkan isu-isu SARA memojokkan salah satu CAPRES, media-media cetak yang lain pun tidak kalah dengan keberpihakannya pada salah satu CAPRES yang notabenya sudah di kontrak/dibeli oleh CAPRES 2014.
Dalam media elektronik (televisi) sangat menonjol perbedaan isi berita pada televisi yang concern memberitakan berita (news) yaitu TV ONE dan METRO TV yang jelas keduanya dimilki oleh orang-orang partai yang telah mendukung CAPRES 2014.TV ONE dimiliki oleh keluarga BAKRIE yang telah mendukung PRABOWO-HATTA karena notabenya Abu Rizal Bakrie adalah ketua Partai GOLKAR partai koalisi pasangan calon No. 1 dan METRO TV  yang dimiliki oleh Surya Paloh merupakan Ketua Partai NASDEM yang telah berkoalisi dengan Pasangan calon No. 2 Jokowi-JK. Belum lagi pada kasus-kasus yang lain yang apabila berkaitan dengan kepentingan pemilik perusahaan TV sudah bisa dipastikan berita yang disajikan tidak bersifat independen dan bersifat subjektif. Padahal apabila kita tengok aturan yang tertera dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat 4 menjelaskan isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Dalam Pasal 48 Ayat 4 (h) pedoman perilaku penyiaran yang menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan ketepatan dan kenetralan program berita.[9] Kode Etik Jurnalistik, Pasal 3 mengharuskan jurnalis untuk menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu, sedangkan berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.[10]
Dalam hal lain yang berkaitan dengan Diskriminasi Menurut Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 1 Ayat 3,[11] diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 8, terdapat ketentuan, Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.[12]
Terbukti dari pertarungan PILPRES ini banyak sekali terdapat black campaign (kampanye hitam) sehingga saling merendahkan antar satu dengan yan lain, alih-alih ingin menjadi lebih unggul bukan dengan memberikan apresiasi akan tetapi malah saling merendahkan bahkan sampai menyinggung masalah fisik dan SARA. Media tidak mampu untuk menahan dirinya dari saling merendahkan dan menghina. 
Kriminalitas sebagai akibat dari kebebasan media
Dengan majunya teknologi informasi (IT) khususnya akses internet membuat semua serba cepat mudah dan praktis. Perkembangan masyarakat manusia telah sampai pada sebuah tahap kehidupan baru, dimana dunia nyata dan dunia maya menjadi sebuah ruang (space) kehidupan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Terlebih lagi bahwa kehidupan dalam ruang maya menjanjikan masa depan yang sangat amat cerah, ketika ruang kehidupan ruang-ruang dunia nyata mulai menyempit dengan asap-asap kendaraan, dengan bangunan-bangunan yang tinggi, dengan sampah-sampah teknologi. Ruang maya dapat menafikan semua itu dengan menawarkan sebanyak mungkin menawarkan sifat utamanya, yaitu efisisensi ruang dan waktu.[13]
 Sehingga semua hal yang sifatnya publik berlomba-lomba untuk membuka jaringan internet (Wifi), entah itu di lembaga pendidikan (SD-SMP), Lembaga pemerintahan, restoran dan rumah makan, terminal, stasiun dan pelabuhan, hingga setiap rumah yang notabenya menengah ke atas dipasang koneksitas untuk internet (internet connectivity). Hal ini secara umum bersifat baik, kemajuan pesat dalam bidang teknologi informasi. Namun daripada itu  mudahnya akses internet tidak diimbangi SDM yang berkarakter membuat penyalahgunaan internet.  Digunakan untuk membuka situs-situs yang berbau pornografi dan pornoaksi. Sebagai contoh di Kota Pekalongan yang telah membuka telecenter di 400 RW[14], sehingga hampir setiap RW memiliki akses internet yang bisa di akses oleh semua masyarakat di RW setempat. Ini membuat kontroversi sendiri di tengah keunggulan program Pemkot Pekalongan, yang terjadi di lapangan tidak sesuai yang diharapkan, salah satu ketua RT di Kecamatan Pekalongan Timur berinisial SMD yang rumahnya ditempati telecenter mengaku setiap malam banyak remaja usia SMP-SMA datang ke telecenter untuk mengakses internet, ketika mencoba untuk di awasi yang terjadi adalah membuka situs porno.[15] Ini adalah salah satu contoh, yang tentunya tidak jauh berbeda di daerah lain.
Walaupun Kementerian Komunikasi dan Informasi Menjelang Ramadhan menutup sekitar satu juta situs porno . Dalam skala general semua situs sudah ditutup, dan ada lima situs lain yang sedang dites dan nantinya akan dilakukan pemblokiran. Namun produsen situs porno memiliki seribu cara untuk tetap eksis di dunia maya (Internet).[16] Sehingga bisa dipastikan dengan mudahnya masyarakat Indonesia khususnya remaja dalam mengakses internet maka mudah pula mereka untuk melihat gambar/video yang bersifat porno. Yang berdampak pada rusaknya moralitas pemuda Indonesia.
Selain internet media lain yang besar dalam memberikan pengaruh kriminalitas masyarakat adalah televisi. Kita lihat saja media hari ini dalam pemberitaannya ada yang digolongkan pada berita kriminal sebagai contoh : PATROLI, BUSER, dan lain sebagainya. Alih-alih menyajikan berita kriminal yang terjadi adalah masyarakat terinspirasi dan mempraktekan apa yang telah disajikan oleh media. Kriminal marak dan begitu mudahnya orang berbuat melanggar hukum, sebagai contoh : pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, NARKOBA, dsb. Selain itu industri film Indonesia (Sinetron) mempersembahan hal-hal yang sifatnya dekat dengan kriminalitas dan tidak bermoral. Sebagai contoh FTV yang didalamnya hanya berisi percintaan remaja, dan sinetron-sinetron lain yang banyak mengilhami masyarakat Indonesia dalam hal kriminal. Selian itu tayangan Yuk Kita Santai, dangdut academy dan lain sebagainya yang penayangannya begitu panjang membuat masyarakat Indonesia dari anak sampai dewasa semua menirukan jogetan dan goyangannya. Lebih lagi yang ditampilkan (bintang filmnya) menggunkan pakaian yang serba minim yang bisa mengundang gairah penontonnya. Ini fenomena yag cukup pelik.
Memang benar apa yang telah dikatakan oleh Burhan Bungin bahwa konstruksi sosial media adalah konstruksi sosial yang dibangun oleh media terhadap objek konstruksi sosial, yang membangunkan wujud-wujud imajiner citra sosial dalam mind seseorang, kelompok atau masyarakat, sehingga membentuk hubungan-hubungan intersubjektif antar seseorang dengan orang lain tentang sebuah objek konstruksi sosial tersebut. Sebagaimana kita ketahui media massa saat ini menggunakan kapitalisme sebagai ideologi dominan. Berdasarkan paham yang dianut oleh media macam ini, maka “peluang bisnis” atau sense of bussiness atau sense of news, atau bad news is good news adalah jalan yang digunakan media untuk memacu ratting acara atau menciptakan ratting baru.[17]
Padahal apabila kita simak hasil kajian yayasan kesejahteraan anak Indonesia, misalnya mencatat rata-rata anak usia sekolah dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton televisi lebih dari empat hingga lima jam sehari. Sementara di hari minggu bisa tujuh sampai delapan jam. Jika rata-rata empat jam sehari berarti setahun 1.400 jam,atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SMA. Padahal waktu yang dilewatkan anak dari TK hingga SMA hanya 13.000 jam. Berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan apapun, kecuali tidur.[18]
Sehingga sangat logis apabila kriminalitas masyarakat Indonesai naik drastis, karena bukti-bukti diatas menjadi penyebab utamanya. Sampai kemendikbud menerapkan kurikulum pendidikan karakter adalah bagian dari menjawab persoalan diatas.    


Tasawuf keindonesiaan sebagai solusi
Tidak begitu etis nampaknya apabila memberikan kritikan tanpa diirngi dengan solusi, nah, untuk meluruskan problematika kebebasan media alangkah baik kita kembali pada ajaran Allah SWT melalui utusan-Nya yaitu Rasulullah SAW, bagaimanapun negeri maritim indonesia ini mayoritas penduduknya Islam maka alangkah baik apabila ajaran-ajaran Islam tersebut terimplementasikan dengan baik. Karena islam diturunkan Allah SWT sebagai rahmatan lil ‘lamien, diturunkan dalam konteks zamannya dan dalam rangka memecahkan problema kemasyarakatan yang ada pada waktu itu, hal ini menuntut agar Islam dipahami dalam konteksnya yang tepat.
Nah tawaran solusinya adalah melalui salah satu cabang keilmuan Islam yaitu tasawuf, rumusan ajaran tasawuf kentara sekali terutama dalam konteks zuhud yang oleh sementara orang mengartikan menjauhi dunia sebagaimana yang ditawarkan oleh Hasan Bashri. Karena pada konteks zamannya banyak terjadi konflik Intern umat Islam, sampai-sampai mnimbulkan perang saudara (al-fitnatu al-kubra). Tasawuf adalah jalan mendekatkan diri pada Allah SWT melalui ibadah. Secara hakiki ia mengusahakan penyucian diri, yang diharapkan menghasilkan kedamaian, kebahagiaan, dan kesejukan hati. Untuk mencapai tujuan tasawuf, maka seorang sufi berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai dan mengendalikan nafsunya yang selalu mengajak pada kejahatan. Sebagaimana firman Allah SWT :
“ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
                Pada segi lain tasawuf bisa berarti moralitas sebagaimana dikatakan oleh Abu Muhammad al-Jariri: “ Tasawuf adalah masuk dalam moralitas yang tinggi dan keluar dari moralitas yang rendah.” Senada dengan itu al-Kanani menyatakan : “ Tasawuf adalah moralitas, barangsisapa bertambah tinggi moralitasnya, maka bertambah pula kesufiannya.” (al-Qusyairi, 1940).
Baik cobalah kita ingat dengan permasalahannya, dunia yang dulunya sarat dengan keterikatan magis dalam kekuasaan ulama dan lembaga agama mulai terbuka dan dijelajahi oleh sebagian besar orang. Fungsi dan makna dunia objektif yang selama ini diterima “apa adanya” secara emosional dari warta wahyu, kini mulai ditanggapi secara kritis dan rasional. Memasuki negara modern dan industri, dalam era demikian ini akan muncul dan tumbuh sikap rasionalisme dalam memandang alam dan lingkungan hidupnya dan sekularisasipun akan menyertai. Bersamaan dengan itu muncul tuntutan spesialisasi dan profesi dalam menangani berbagai persoalan kehidupan ini, menyebabkan ketergantungan satu sama lainnya. Belajar dari masyarakat Barat yang telah mencapai puncak kenikmatan materi itu justru berbalik dari apa yang diharapkan, yakni mereka dihinggapi rasa cemas, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiannya tereduksi perangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang tidak manusiawi. Akibatnya mereka idak memiliki pegangan hidup yang mapan dan terarah pada tujuan yang jelas. (komarudin hidayat, 1985). Inilah sebabnya Ziauddin Sardar menamakan abad ini bukan rahmat,tetapi la’nat.
Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan masa depan masyarakat, antara lain hendaknya msnusia selalu introspeksi diri (muhasabah), berwawasan hidup yang moderat, tidak terjerat nafsu rendah (al-Hujawri, 1973) sehingga lupa pada diri dan Tuhannya. Dalam menempuh tujuan Tasawuf seseorang harus melalui tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
Dalam Takhalli terdapat ciri moralitas Islam, yakni menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela, baik secara vertikal maupun secara horisontal, misalnya iri (hasud) terhadapnikmat yang diterima orang lain, memamerkan diri (riya’) untuk kepentingan subyektif, kecenderungan pemenuhan materi secara berlebih-lebihan (hirsh) dan sebagainya. Tahalli merupakan pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam Islam, seperti zuhud, qana’ah, ridla, wara’, sabar, syukur, dan tawakkal dan sebagainya. Inilah yang disebut station (maqam) , sebagai wahana penggodokan kualitas moral manusia, yang berarti proses penyempurnaan diri yang tergantung pada faktor manusianya sendiri yang memilki tanggung jawab moral. Bermula dari tanggung jawab moral inilah akhirnya moral inilah akhirnya moral manusia berkembang dan tumbuh menjadi luhur dalam dinamika kehidupan manusia tanpa diliputi goncangan psikologis.Tajalli sebagai realisasi nilai-nilai religio moral dalam diri manusia yang melembaganya nilai-nilai ilahiyah yang selanjutnya akan direfleksikan dalam setiap gerak dan aktifitas lainnya. Pada tingkat ini seseorang telah mencapai tingkat kesempurnaan (“insan kamil”). Dia dapat merealisasikan segala kemungkinan yang dapat dicapai oleh makhluk manusia yang membawa potensi keilahian.
Manusia demikian inilah yang mampu menyerap sifat-sifat ilahi dan memancarkannya kembali dalam kehidupan antar sesama manusia. Penyerapan dan pemancaran kembali sifat-sifat ilahi ini pada hakikatnya adalah usaha pemantapan dan pemberian makna pada keberadaan manusia bahwa ia benar-benar ada, berada dan mengada, yang hanya mungkin terjadi dalam komunikasi dan interaksi antara manusia dan keadaan diluar darinya, yakni Tuhan. Dalam pandangan al-hallaj, Allah dan manusia masing-masing memiliki aspek lahut dan nasut. Nasut Allah berada dalam bentuk Adam yang dimiliki-Nya, sedangkan lahut manusia berwujud ruh yang berasal dari-Nya. Manakala seorang sufi sudah suci jiwanya, maka Nasut Allah akan bertempat pada diri manusia yang bercampur dengan ruh (lahut) manusia. Percampuran dua aspek inilah yang disebut Hulul. Dan dalam kondisi inilah manusia akan memperoleh kebahagiaan dan kesenangan serta kedamaian.[19] Menurut Ali Syari’ati insan kamil adalah manusia tiga dimensional, manusia dengan tiga talenta utama, kesadaran iradah dan daya cipta. Manusia yang telah melalui jenjang demikian, telah mncapai puncak perolehan tasawuf, akan selalu bisa menguasai diri dan menyesuaikan diri di tengah-tengah deru modernisasi dan industrialisasi. Orang yang demikian telah mngenal Allah, mengenal alam, manusia dan dirinya.[20]
Media; kemajuan yang diirngi moralitas kebangsaan
Melihat realitas derasnya laju informasi dan teknologi khususnya media yang selalu mengalami perkembangan bahkan sampai pada kebebasan yang kebablas. Maka perlu kita sadari bahwa inilah merupakan fenomena tantangan modernisasi dan globalisasi, Auguste Comte peletak dasar aliran positivisme, mengatakan bahwa manusia modern adalah mereka yang sudah sampai kepada tingkatan pemikiran positif. Pada tahapan ini manusia sudah lepas dari pemikiran religius dan pemikiran filosofis yang masih global. Mereka telah sampai pada pengetahuan yang rinci  tentang sebab-sebab segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.
Dari keterangan di atas bahwa manusia modern melihat keberadaannya tidak lebih dari keberadaan sebuah mobil yang tersusun dari berbagai bagian-bagian sebab akibat. Mereka tidak lagi mempercayai adanya spirit yang ada pada dirinya, karena hal tersebut secara materi tidak pernah ada. Kefanatikan manusia modern terhadap eksistensialisme dan positivisme membuat mereka menafikan berbagai informasi, baik yang bersumber dari kitab suci maupun dari tradisi mistik yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki unsur sprirtual. Karenanya manusia modern mengalami krisis spriritual.[21] Hal ini tentunya memilki konsekuensi bagaimana krisis sprirtual dengan kebebasan media yang menjadi kiblat manusia harus diiringi dengan moralitas melalui ajaran tasawuf.
  Andaikata pelaku media hari ini sadar akan nilai-nilai kemanusiaan tentu media akan berada pada relnya yaitu etika sebagai seorang yang bertanggung jawab, jujur dan membawa misi perubahan sosial, menurut Hamzah Ya’qub etika adalah sebuah studi tentang formasi nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip benar dan salah. Insan jurnalis mengungkapkan bahwa pers berfungsi sebagai alat menyebarluaskan informasi, melakukan kontrol sosial konstrukstif, menyalurkan aspirasi rakyat dan memuaskan meluaskan komunikasi sosial dan partisipasi masyarakat.[22] etika bisa disebut juga perilaku baik, jika perilaku baik itu secara internal ditegakkan dengan baik dalam pikiran dan perasaan, namun ia hanya diwujudkan dalam ucapan, berwujud kata-kata dan ungkapan, dalam kalimat dan deklarasi, maka perilaku tersebut akan menjadi tidak komplit, lemah dan tidak manjur. Orang tidak hanya perlu ucapan tapi juga perbuatan. Kadang-kadang perbuatan merupakan argumen praktis yang lebih meyakinkan daripada kata-kata sederhana sekalipun. Perilaku yang baik menjadi sinonim dengan transendensi, karena keduanya merupakan manifestasi dari prinsip universal, satu saat ada dalam teori satu saat ada dalam praktek. Islam dengan mudah dapat dipahami sebagai etika global bagi solidaritas kemanusiaan. Prinsip universal merupakan basis teoritis bagi etika global, dan perilaku baik merupakan dasar praktis bagi solidaritas kemanusiaan.[23]   kembali pada insan jurnalis yang beretika dan bermoral melalui ajaran tasawuf menjadi kewajiban guna perubahan kebebasan media yang sulit terkontrol.
   Salah satunya yang bisa menjadi rujukan dalam beretika dan mermoral melalui ajaran tasawuf yaitu meneladani Rasulullah SAW. Sebagaimana berikut :
1.      Memperkokoh moral religius kita, segala tingkah laku kita dijiwai oleh semnagat al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan begitu kita akan selamat dunia dan akhirat.
2.      Berusaha menjadikan diri kita sebagai manusia yang ideal, insan kamil, sebagaimana Nabi sendiri adalah demikian.gambaran manusia ideal adalah manusia yang terbebaskan yaitu manusia pemurah tak banyak keinginan, kreatif, mampu menyatakan diri dan bakat-bakatnya dalam suatu tindakan penciptaan tanpa paksaan.
3.      Berusaha menjadikan religiusitas (iman dan taqwa) kita mempunyai hubungan dinamis dengan industrilaisasi, yakni diharapkan industrialisasi dapat menopang dan meningkatkan religiusitas. Religiusitas yang paling murni dan sejati ialah yang berdimensi budaya inttrinsik atau cultural consumantory. Yaitu sikap keagamaan yang memandang kepercayaan atau iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan yang menimbulkan perasaan bahagia karena nilai intrinsiknya.
4.      Berusaha menjadikan diri kita sebagai manusia yang berdaya dan mempunyai dua dimensi sebagaimana Nabi SAW. Adalah seorang dengan dua wajah yang kontras yang mengejawantah secara indah dalam satu spirit. Wjah keduniaannya mengejawantah dalam perang dan aksi-aksi sosial, dalam memerangi kekuatan-kekuatan yang destruktif di tengah-tengah masyarakat. sedang wajah atau dimensi sucinya menampakkan diri dalam menyampaikan amanat Allah bagi umat manusia.  Dalam dirinya kenabian dan kepemimpinan mendua dan menyatu secara sangat serasi, sebagai penuntun yang membimbing kemanusiaan ke arah suatu tujuan tertentu dan sebagai seorang hamba yang shalih, yang selalu berdo’a dan mengabdi.
5.      Menjadikan Iman teoritik (nadhary) menjadi iman penghayatan (qalbi). Ini adalah satu dari kriteria tasawuf  yang shahih sebagaimana dikatakan oleh Muhammad al-Ghazali dalam Rakaiz Iman (Muhammad al-Ghazali, 1985). SH. Nasr-pun mempunyai gagasan yang sama, bahwa dalam usaha mengobati dua penyakit industrialisasi, yakni hilangnya visi keagamaan dan kehampaan spiritual, ialah syahadat, pemahaman, penghayatan, proklamasi, serta tindakan yang bertolak dari kenyataan akan ketauhidan Allah, baik dalam zat maupun rububiyah-Nya.Sufisme yang dikehendaki adalah spesifik Islam, alternatif jenjang yang dilalui ialah zuhud, cinta kemudian ma’rifat.
6.      Dalam menatap industrialisasi dan masa depan ialah dengan menumbuhkan kesadaran sendiri, kesadaran masyarakat, kesadaran ummah, kesadaran kemanusiaan dan kesadaran dunia.
Aktualisasi Uswatun Hasanah Rasul SAW. pada masa globalisasi dan kebebasan media ialah menanamkan akhlak Nabawi dan akhlak Illahi (al-Takhaluq bi akhlaqi Allah)-sebagaimana yang telah dikemukakan diatas pada diri kita masing-masing. Untuk mengimbangi hilangnya visi keagamaan dan kehampaan spiritual, diperlukan peningkatan komitmen dan misi misi tauhid serta mengamalkan ajaran islam secara utuh, yakni iman islam dan ihsan sekaligus. Aspek ihsan, penghayatan teerhadap iman dan islam perlu ditingkatkan. Dan untuk ini perlu menjadi mutasawwifin (ahli tasawuf) tanpa memasuki kelompok sufi ekstrim.[24]
Dengan keyakinan yang sungguh-sungguh maka problematika rusaknya moral akibat kebebasan media akan tersolusi dengan humanis apabila keteladanan pada rasulullah kita aplikasikan dalam sehari-hari. Yang terjadi adalah media-media Indonesia akan lebih beretika dan berakhlak apabila insan media mempraktekkan al-takhaluq bi akhlaqi Allah. Media yang menjadi kiblat segala tindakan dan perbuatan masyarakat Indonesia akan lebih indah apabila tasawuf dipraktekkan oleh insan media, bukan hanya keuntungan yang dituju tetapi perjuangan untuk perubahan sosial, kemajuan peradaban, dan peningkatan sumber daya manusia. Sehingga indonesia yang kita cinta menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun Ghafur. Amien. 

 By. Abdul Adzim












Daftar Pustaka
Ø  Abullah M. Badri, Kritik Tanpa Solusi “Agama dalam Cabul Media”, Diroz Pustaka : Semarang, 2012.
Ø  Burhan M. Bungin, Pornomedia (Sosiologi media, konstruksi sosial teknologi telematika dan perayaan seks di media massa), Jakarta : Kencana, 2005.
Ø  Dulay Hamdan, Kode Etik Jurnalistik dan Kebebasan Pers di Indonesia di Tinjau dari Perspektif Islam,  jurnal penelitian agama UIN Sunan Kalijaga Vol.XVII, No. 2 Mei-Agustus, 2008.
Ø  Hanafi Hasan, Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan sebuah pendekatan Islam dalam Islam dan Humanisme, Semarang : IAIN Walisongo, 2007.
Ø  http//wikipedia.org. di akses pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 12.00 WIB.
Ø  http://e-penyiaran.kominfo.go.id/ UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Di akses tanggal 1 Juli 2014 pukul 08:30 WIB.
Ø  http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/15. di akses pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 02:28. di akses pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 02:28.
Ø  http://www.lpds.or.id/ Kode Etik Jurnalistik. Di akses tanggal 1 Juli 2014 pukul 08:40 WIB.
Ø  Muhayya Abdul, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual dalam Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.
Ø  Pengakuan SMD pada tanggal 24 Mei 2014, pukul 20:00.
Ø  Syukur Amin, Tasawuf Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012.
Ø  www.mediabangsa.com dalam Dampak Negatif tayangan Televisi, di akses pada tanggal 29/06/2014 pukul 03:00 WIB.



[1] M. Burhan Bungin, Pornomedia (Sosiologi media, konstruksi sosial teknologi telematika dan perayaan seks di media massa), Jakarta : Kencana, hlm 4-5.
[2] Ibid.,hlm. 19-20.
[3] Ibid., hlm, 20.
[4] http//wikipedia.org di akses tanggal 26 Juni 2014 pukul 06:00 WIB
[5] Hamdan Dulay, Kode Etik Jurnalistik dan Kebebasan Pers di Indonesia di Tinjau dari Perspektif Islam, jurnal penelitian agama UIN Sunan Kalijaga Vol.XVII, No. 2 Mei-Agustus, 2008, hlm. 300-301.
[6] http//wikipedia.org. di akses pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 12.00 WIB.
[7] Hamdan Daulay, Ibid., hlm. 301.
[8] M. Abullah Badri, Kritik Tanpa Solusi “Agama dalam Cabul Media”, Diroz Pustaka : Semarang, 2012.
[9] http://e-penyiaran.kominfo.go.id/ UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran. Di akses tanggal 1 Juli 2014 pukul 08:30 WIB.
[10] http://www.lpds.or.id/ Kode Etik Jurnalistik. Di akses tanggal 1 Juli 2014 pukul 08:40 WIB.
[11] http://www.komnasham.go.id/ UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di akses tanggal 1 juli 2014 pukul 08:40 WIB.   
[12] Op. Cit., Kode Etik Jurnalistik.
[13] Ibid., Pornomedia, hlm. 52.
[14] Suara Merdeka, Suara Pantura Kolom Kota Pekalongan 05 April 2013
[15] Pengakuan SMD pada tanggal 24 Mei 2014, pukul 20:00.
[16] http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/15. di akses pada tanggal 29 Juni 2014 pukul 02:28.
[17] Op. Cit., Burhan Bungin hlm.132-133. 
[18] www.mediabangsa.com dalam Dampak Negatif tayangan Televisi, di akses pada tanggal 29/06/2014 pukul 03:00 WIB.
[19] Abdul Muhayya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual dalam Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hlm 19. 
[20] Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012, hlm. 32-37. 
[21] Op. Cit., Abdul Muhayya, hlm. 21-22.
[22] Hamdan Daulay, Op. Cit., hlm. 310.
[23] Hasan Hanafi, Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan sebuah pendekatan Islam dalam Islam dan Humanisme, Semarang : IAIN Walisongo, 2007, hlm. 11-12.
[24] Op. Cit., Amin Syukur, hlm. 108-110.

No comments:

Post a Comment