Lebaran
adalah musimnya orang hajatan. Pernikahan dan sunatan sedang melonjak di warga
kami lebaksiu kidul. Dalam tilisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk
mengetahui lebih lanjut tentang nikah dalam perspektif Islam mengenai pengertian dan hukumnya.
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan
bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh
saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.[1] Berkata
Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk
menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad
yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya
untuk melakukan hubungan seksual” .
Hukum Pernikahan
Hukum
asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik,
Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Hal ini mengacu pada hadis nabi :
Sabda Rasulullah SAW, “an- nikahu sunnati, man raghiba
‘an sunnati falaisa minni”, artinya “nikah itu sunnahku, dan yang
tidak mau mengikuti sunnahku, tidaklah termasuk umatku” (al Hadist).
Namun bisa
berubah pada hukum taklif yang lain dengan melihat situasi dan kondisi
seseorang yang mau menikah. Adapun perincian hukum tersebut adalah :
Sunnah
Hukum sunnah ada pada orang yang sudah mampu
namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang
usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk
menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang
menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang
lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia
telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas
umat Islam.
Dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Nikahilah
wanita yang banyak anak, karena Aku berlomba dengan nabi lain pada hari
kiamat." (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbam).
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Menikahlah,
karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian
menjadi seperti para rahib nasrani." (HR. Al-Baihaqi 7/78).
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak
mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
Wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang
sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan.
Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan
keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang
hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak
berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang
yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak
mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya,
sebagaimana firman-Nya:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui."(QS. An-Nur: 32).
Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat
seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah.
Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus
terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat
pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk
bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus
terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon
pasangannya.Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah
dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka
hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya
dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi
sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah
yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi
wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi
(mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti
pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali
atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi
nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali
dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila
menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi
hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan
karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung
beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka
pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita.
Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri
kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah
antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang
mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau
boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau
anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka
hukum nikah baginya adalah mubah.
No comments:
Post a Comment