A. PENDAHULUAN
Fenomena nikah sirri (sembunyi-sembunyi) ternyata masih menjadi polemik pelik yang harus di sikapi dengan kebijakan terbaik. Kasus ini memerlukan penelaahan yang seksama karena dalam permasalahan ini dianggap nantinya akan terjadi benturan antara aturan agama dengan perundang-undangan yang ada. Dimana dalam pandangan fiqih secara literal kasus diatas sudah dapat di statuskan sah dan dapat dibenarkan, sedangkan jika di sinergikan dengan perundang-undangan, pernikahan semacam itu belum bisa dikatakan sah dan dibenarkan karena bertentangan dengan aturan yang berupa persyaratan prosesi pernikahan yang harus dilakukan di depan petugas pencatat pernikahan, seperti pernyataan yang terkandung dalam Intrstruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 Bab 2 Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah .
Anggapan benturan inilah yang menjadikan polemik yang tak kunjung berkesudahan, dimana sebagian pihak yang menyetujui dan membenarkan praktek pernikahan seperti diatas mengatasnamakan hukum orisinil agama Islam dan menganggap pandangan pemerintah merupakan kebijakan yang bertentangan dengan syari'at Islam. Kasus semacam ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di negara - negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya seperti di Syiria.
Sebelumnya perlu di kaji lebih teliti apakah hukum pernikahan seperti diatas sudah benar - benar menjadi keputusan permanen dalam syariat Islam dengan hujjah bahwa ini merupakan konsesus 'ulama atau lebih dikenal sebagai perkara yang mujma' 'alaih yang di anggap final sehingga tidak ada ruang untuk mengkajinya lebih lanjut? Sedangkan kenyataan yang ada sekarang praktek pernikahan semacam itu banyak di salahgunakan bahkan sampai menimbulkan mafsadah khususnya bagi pihak perempuan. Realita semacam ini jelas bertolak belakang dengan tujuan di turunkannya agama Islam sebagai rohmatan lil'alamin.
Dari uraian diatas pemakalah mengajak untuk menelaah permasalahan ini lebih lanjut dengan harapan akan menghasilkan pemahaman dan kebijakan yang lebih toleran tanpa ada unsur menentang aturan syari'at Islam.
B. PEMBAHASAN
1. Definisi dan Alasan Melakukan Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju, atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya .
Adapun hukum syariat Islam atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut :
2. Hukum Nikah Siri
a) Hukum pernikahan tanpa wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
b) Nikah siri dalam perspektif Islam
Pada kasus pernikahan sirri pemakalah tidak menemukan perbedaan pendapat 'ulama dilihat dari literatur fiqih. Dalam kacamata fiqih aqad pernikahan seperti ini sudah disepakati keabsahannya, dan terlepas dari adanya perundang-undangan yang ada, prosesi aqad pernikahan semacam ini hukumnya mubah.
Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil .
c) Hukum nikah tanpa dicatatkan dalam catatan sipil
Intrstruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 Bab 2 Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah. . Instruksi inilah yang pada akhirnya negara mengharamkan nikah siri.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan. Dengan alasan seperti ini Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan hukum pidana bagi yang melakukan nikah siri kita harus berbalik kepada sejarah bahwa pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil.
Bahkan pada mulanya syariat Islam baik dalam Al-Quran atau Assunah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan.
Namun dalam hal ini ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaq al-gholid) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan .
Dari alasan pemerintah yang logis ini pemakalah dapat menemukan indikasi bahwa tendensi pemerintah mengharuskan prosesi pernikahan dilakukan dihadapan Petugas Pencatat lebih menekankan pada pengawasan sensus penduduk, serta sebagai upaya pemerintah mencari legalisasi untuk nantinya lebih mudah memberikan perlindungan hak kepada warga negaranya dalam hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan secara legal apabila nanti ditemukan pelalaian kewajiban dari salah satu pihak. Hal ini adalah wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Oleh karenanya pemerintah mewajibkan dalam prosesi pernikahan dihadirkan oleh petugas pencatat sipil artiya pemerintah mengharamkan nikah siri.
C. KESIMPULAN
Dari pengamatan diatas, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pernikahan sirri (sembunyi-sembunyi) tanpa sepengetahuan pencatatan sipil di negara Indonesia bisa dibenarkan (sah) karena semua syarat dan rukun nikah telah terpenuhi.
Adapun menurut kami keharaman nikah siri di Indonesia hanya terdapat pada tindakan melakukan mukhalafat kepada Imam saja, yakni haram karena melanggar koridor pentaatan kepada Imam (pemerintah). Mukhalafat itu sendiri tidak pasti berkonsekuensi mendapatkan dosa, artinya mengikuti atau tidak mengikuti perintah imam juga harus mempertimbangkan yang diperintahkan itu berdasarkan syariat atau tidak.
Kalau syariat menghukumi suatu perkara itu mubah, makruh, atau haram, kemudian pemerintah malah mewajibkannya maka dalam hal ini tidak wajib mengikutinya. Misal hukum Islam melarang kupon berhadiah kemudian pemerintah memerintah kepada kaumnya untuk mendapatkan kupon hadiah, maka ini tidak wajib diikuti secara dhohir bahkan secara bathin , dan ia tidak berdosa oleh sebab melanggar ketentuan imam. Dan apabila syariat Islam menghukumi suatu perkara itu mubah, sunnah, atau wajib kemudian diwajibkan juga oleh pemerintah, maka ini adalah perintah yang wajib dhohiron wabathinan. Missal hukum Islam mengatakan sunnah melakukan solat tahajjud kemudian dipertegas lagi oleh pemerintah akan kewajibannya, maka secara dhohir bathin kita harus mengikutinya, meninggalkannya adalah dosa. Uraian ini kami ambil dari kitab Bughyah al-Mustarsyidin karya Sayyid Ba'lawi al-Hadhromi :
Jadi seharusnya pemerintah justru memberikan solusi yang tebaik bagi para pelaku nikah siri, tidak malah memberatkannya. Agar hak-hak para pelaku nikah siri diakui sebagai warga Negara Indonesia
Fenomena nikah sirri (sembunyi-sembunyi) ternyata masih menjadi polemik pelik yang harus di sikapi dengan kebijakan terbaik. Kasus ini memerlukan penelaahan yang seksama karena dalam permasalahan ini dianggap nantinya akan terjadi benturan antara aturan agama dengan perundang-undangan yang ada. Dimana dalam pandangan fiqih secara literal kasus diatas sudah dapat di statuskan sah dan dapat dibenarkan, sedangkan jika di sinergikan dengan perundang-undangan, pernikahan semacam itu belum bisa dikatakan sah dan dibenarkan karena bertentangan dengan aturan yang berupa persyaratan prosesi pernikahan yang harus dilakukan di depan petugas pencatat pernikahan, seperti pernyataan yang terkandung dalam Intrstruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 Bab 2 Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah .
Anggapan benturan inilah yang menjadikan polemik yang tak kunjung berkesudahan, dimana sebagian pihak yang menyetujui dan membenarkan praktek pernikahan seperti diatas mengatasnamakan hukum orisinil agama Islam dan menganggap pandangan pemerintah merupakan kebijakan yang bertentangan dengan syari'at Islam. Kasus semacam ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di negara - negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya seperti di Syiria.
Sebelumnya perlu di kaji lebih teliti apakah hukum pernikahan seperti diatas sudah benar - benar menjadi keputusan permanen dalam syariat Islam dengan hujjah bahwa ini merupakan konsesus 'ulama atau lebih dikenal sebagai perkara yang mujma' 'alaih yang di anggap final sehingga tidak ada ruang untuk mengkajinya lebih lanjut? Sedangkan kenyataan yang ada sekarang praktek pernikahan semacam itu banyak di salahgunakan bahkan sampai menimbulkan mafsadah khususnya bagi pihak perempuan. Realita semacam ini jelas bertolak belakang dengan tujuan di turunkannya agama Islam sebagai rohmatan lil'alamin.
Dari uraian diatas pemakalah mengajak untuk menelaah permasalahan ini lebih lanjut dengan harapan akan menghasilkan pemahaman dan kebijakan yang lebih toleran tanpa ada unsur menentang aturan syari'at Islam.
B. PEMBAHASAN
1. Definisi dan Alasan Melakukan Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju, atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya .
Adapun hukum syariat Islam atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut :
2. Hukum Nikah Siri
a) Hukum pernikahan tanpa wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
عن ابى موسى عن النبى صل الله عليه وسلم قال : لا نكاح إلا بولي
“Diriwayatkan dari Abi Musa dari Nabi SAW. Berkata : "Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”عن عائشة ان النبى صل الله عليه واله وسلم قال : أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل، فنكاحها باطل فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil.b) Nikah siri dalam perspektif Islam
Pada kasus pernikahan sirri pemakalah tidak menemukan perbedaan pendapat 'ulama dilihat dari literatur fiqih. Dalam kacamata fiqih aqad pernikahan seperti ini sudah disepakati keabsahannya, dan terlepas dari adanya perundang-undangan yang ada, prosesi aqad pernikahan semacam ini hukumnya mubah.
Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil .
c) Hukum nikah tanpa dicatatkan dalam catatan sipil
Intrstruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 Bab 2 Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah. . Instruksi inilah yang pada akhirnya negara mengharamkan nikah siri.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan. Dengan alasan seperti ini Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan hukum pidana bagi yang melakukan nikah siri kita harus berbalik kepada sejarah bahwa pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil.
Bahkan pada mulanya syariat Islam baik dalam Al-Quran atau Assunah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan.
Namun dalam hal ini ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaq al-gholid) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan .
Dari alasan pemerintah yang logis ini pemakalah dapat menemukan indikasi bahwa tendensi pemerintah mengharuskan prosesi pernikahan dilakukan dihadapan Petugas Pencatat lebih menekankan pada pengawasan sensus penduduk, serta sebagai upaya pemerintah mencari legalisasi untuk nantinya lebih mudah memberikan perlindungan hak kepada warga negaranya dalam hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan secara legal apabila nanti ditemukan pelalaian kewajiban dari salah satu pihak. Hal ini adalah wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Oleh karenanya pemerintah mewajibkan dalam prosesi pernikahan dihadirkan oleh petugas pencatat sipil artiya pemerintah mengharamkan nikah siri.
C. KESIMPULAN
Dari pengamatan diatas, maka pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pernikahan sirri (sembunyi-sembunyi) tanpa sepengetahuan pencatatan sipil di negara Indonesia bisa dibenarkan (sah) karena semua syarat dan rukun nikah telah terpenuhi.
Adapun menurut kami keharaman nikah siri di Indonesia hanya terdapat pada tindakan melakukan mukhalafat kepada Imam saja, yakni haram karena melanggar koridor pentaatan kepada Imam (pemerintah). Mukhalafat itu sendiri tidak pasti berkonsekuensi mendapatkan dosa, artinya mengikuti atau tidak mengikuti perintah imam juga harus mempertimbangkan yang diperintahkan itu berdasarkan syariat atau tidak.
Kalau syariat menghukumi suatu perkara itu mubah, makruh, atau haram, kemudian pemerintah malah mewajibkannya maka dalam hal ini tidak wajib mengikutinya. Misal hukum Islam melarang kupon berhadiah kemudian pemerintah memerintah kepada kaumnya untuk mendapatkan kupon hadiah, maka ini tidak wajib diikuti secara dhohir bahkan secara bathin , dan ia tidak berdosa oleh sebab melanggar ketentuan imam. Dan apabila syariat Islam menghukumi suatu perkara itu mubah, sunnah, atau wajib kemudian diwajibkan juga oleh pemerintah, maka ini adalah perintah yang wajib dhohiron wabathinan. Missal hukum Islam mengatakan sunnah melakukan solat tahajjud kemudian dipertegas lagi oleh pemerintah akan kewajibannya, maka secara dhohir bathin kita harus mengikutinya, meninggalkannya adalah dosa. Uraian ini kami ambil dari kitab Bughyah al-Mustarsyidin karya Sayyid Ba'lawi al-Hadhromi :
(مسألة : ك) : يجب امتثال امر الامام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر ، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه ، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط ، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً ، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور ، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ. قلت : وقال ش ق : والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات ، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي ، فخالفوه وشربوا فهم العصاة ، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره ، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.
Dilihat dari segi bathiniyahnya tanpa memandang Undang-Undang Indonesia nikah siri secara syariat sah, karena mubah. Sementara polemik yang tak kunjung usai nikah siri di Indonesia sebenarnya terdapat pada taat kepada imam atau tidak, bukan pada otentisitas hukum islam tentang nikah siri.Jadi seharusnya pemerintah justru memberikan solusi yang tebaik bagi para pelaku nikah siri, tidak malah memberatkannya. Agar hak-hak para pelaku nikah siri diakui sebagai warga Negara Indonesia