GUDANG MAKALAH

Friday 10 April 2015

PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN



PENDAHULUAN
Masyarakat adalah stakeholder  pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat. Namun entitas yang disebut masyarakat itu terlalu kompleks, sehingga perlu adanya penyederhanaan agar mudah bagi sekolah untuk melakukan hubungan dengan masyarakat.
Penyederhanaan konsep masyarakat tersebut melalui perwakilan  fungsi stakeholder dengan jalan membentuk komite sekolah pada setiap sekolah.  Komite Sekolah sangat diharapkan perannya dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak di sekolah. Hal ini menjadi tuntutan perubahan paradigma pendidikan sekarang bahwa pendidikan sekolah bukan hanya menjadi tanggungjawab sekolah semata, tetapi menjadi tanggungjawab semua stakeholders.
Adapun dalam UU N0 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 56 ayat 3 yang menyatakan bahwa; Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Namun kenyataannya peran komite sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan tersebut kadang kala mendapat kendala atau hambatan dari berbagai pihak diantaranya dari orang tua siswa itu sendiri yang tidak setuju dengan adanya rencana komite sekolah dalam membangun suatu yang menunjang proses penidikan. Komite Sekolah sampai saat ini masih tetap menyandang stigma seperti BP3, hal ini karena Komite Sekolah Komite Sekolah dibentuk dengan cara penunjukan oleh kepala sekolah yang tidak melalui mufakat. Akibatnya, sampai saat ini Komite Sekolah keberadaannya seperti tidak ada.




RUMUSNA MASALAH
Dari pendahuluan diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini:
1.      Bagaimanakah  partisipasi komite sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan?
2.      Bagaimana cara menghilangkan stigma negatif masyarakat terhadap komite sekolah?
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN KOMITE SEKOLAH
Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh stakeholder pendidikan.[1]
Komite Sekolah merupakan suatu badan atau lembaga non politis dan non profit, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder pendidikan di tingkat sekolah, sebagai representasi dari berbagai unsur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan.[2]
Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingakat satuan pendidikan. (Pasal 56, ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003).

B.     SIFAT DAN KEDUDUKAN KOMITE SEKOLAH
Komite sekolah/madrasah  merupakan badan yang bersifat mandiri dan tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan lembaga pemerintahan.[3] Dengan demikian komite sekolah/madrasah adalah sebuah badan/lembaga yang sifatnya mandiri (independen), dengan kata lain tidak mempunyai hubungan dengan lembaga-lembaga lainnya.
Sedangkan mengenai kedudukan komite sekolah/madrasah, “komite sekolah/madrasah berkedudukan di satuan pendidikan dalam jenjang yang sama, atau beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang tetapi berada pada lokasi yang berdekatan, atau satuan-satuan pendidikan yang dikelola oleh suatu penyelenggara pendidikan, atau karena pertimbangan lain.[4] Jadi jelaslah bahwa komite sekolah/madrasah kedudukannya di satuan pendidikan sekolah/madrasah.

C.    PERAN DAN FUNGSI KOMITE SEKOLAH
Tujuan dari komite sekolah adalah untuk mewadahi dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan, meningkatkan tanggungjawab dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan di sekolah serta menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.[5]
Peran komite sekolah adalah sebagai:[6]
1.      Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
2.      Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3.      Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaran dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
4.      Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan
Untuk menjalankan peran yang telah disebutkan di muka, Komite Sekolah memiliki fungsi sebagai berikut:[7]
  1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
  2. Melakukan kerjasama dengan masyarakat (Perorangan/organisasi/dunia usaha dan dunia industri (DUDI)) dan pemerintah berkenaan dengan penyelengaraan pendidikan bermutu.
  3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan olej masyarakat.
  4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai :
D.    HUBUNGAN SEKOLAH DAN KOMITE SEKOLAH
Sekolah bukanlah suatu lembaga yang terpisah dari masyarakat. Sekolah merupakan lembaga yang bekerja dalam konteks sosial. Sekolah mengambil siswanya dari masyarakat setempat, sehingga keberadaannya tergantung dari dukungan sosial dan finansial masyarakat. Oleh karena itu, hubungan sekolah dan masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam keseluruhan kerangka penyelrnggaraan pendidikan.
Adapun hubungan yang harmonis antar sekolah dan masyarakat yang diwadahi dalam organisasi Komite Sekolah. Hubungan yang harmonis ini akan membentuk:[8]
a.       Saling pengertian anatara sekolah, orangtua, masyarakat, dan lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat, termasuk dunia kerja.
b.      Saling membantu antara sekolah dan masyarakat karena mengetahui manfaat, arti dan pentingya peranan masing-masing.
c.       Kerja sama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada di masyarakat dan mereka merasa ikut bertanggungjawab atas suksesnya pendidikan di sekolah.

E.     PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu, penyelenggara pendidikan dituntut  untuk mampu bekerja pada jaringan. Yaitu kerjasama dengan berbagai pihak untuk memenfaatkan berbagai sumber kekuatan dan peluang pendidikan. Karena tidak ada suatu kekuatan pun yang mampu berdiri sendiri tanpa kerjasama dengan yang lain. Jadi penyelenggara pendidikan harus mampu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan orang tua, masyarakat  maupun dengan lembaga-lembaga pemerintah. Salah satunya adalah menjalin kerja sama dengan komite sekolah.
Secara umum bentuk partisipasi masyakat terhadap sekolah adalah:
a.       Mengawasi/membimbing kebiasaan anak belajar di rumah
b.      Membimbing dan mendukung kegiatan akademik anak
c.       Memberikan dorongan untuk meneliti, berdiskusi tentang gagasan dan atau kejadian-kejadian aktual
d.      Mengarahkan aspirasi dan harapan akademik anak

F.     CARA MENGHILANGKAN RESPON BURUK MASYARAKAT TERHADAP KOMITE SEKOLAH
Komite akan sangat membantu meningkatkan mutu pendidikan jika mendapat respon dan dukungan yang baik terhadap masyarakat. Apabila terdapat respon yang tidak baik dari masyarakat, maka hal ini  perlu diteliti secara dalam bagaimana cara mengatasinya. Adapun penyebab dan cara meredakan respon jelek tersebut adalah:
Pertama, proses pembentukan dan atau pemilihan pengurus Komite Sekolah yang belum sepenuhnya sesuai dengan buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yakni model penunjukan oleh kepala sekolah, atau paling-paling model pemilihan formatur. Maka dari itu sebaiknya komite dipilih sesuai dengan prosedur yang baik melalui musyawarah bersama antara sekolah dan para orangtua.
Kedua, pemahaman yang masih rendah tentang kedudukan, peran, dan fungsi Komite Sekolah. Komite Sekolah masih dipandang sebagai penjelmaan dari BP3. Maka sebaiknya ada forum tertentu secara terbuka untuk menjelaskan tugas dan pengingnya komite sekolah.
Ketiga, kapasitas SDM Komite Sekolah yang masih rendah. Sehingga ini membuat kepala sekolah merasa kesulitan untuk menyelesaikan masalah. Maka dari itu perlu adanya anggota komite yang berpendidikan tinggi atau mempunyai pengalaman organisasi yang luas.



KESIMPULAN
Peran dan fungsi komite sekolah sejauh ini masih ada yang mempertanyakan, seolah tidak berfungsi meskipun keberadaannya sudah disahkan oleh undang-undang. Sebenarnya komite mempunyai kegunaan yang sangat bagus untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Hal ini jika dapat dimengerti oleh berbagai pihak secara positif.
Sistem keterbukaan dengan masyarakat sangat dibutuhkan agar tidak terjadi salah persepsi antara masyarakat dan sekolah. Dengan melakukan pembentukan komite secara prosedural dan pelaksanaan fungsi secara intensif maka tujuan tercapainya sebuah kualitas pendidikan akan tercapa.





DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Buku 1. Ditjen Dikdasmen. Dit SLTP. Edisi 3 : Revisi, 2001.
Fattah, Nanang. Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004.
Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 2004.
Rodliyah. Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan di Sekolah. Jember: STAIN Jember Press. 2013.
Sujanto, Bedjo. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah; Model Pengelolaan Sekolah Di Era Otonomi. Jakarta: Sagung Seto. 2007.



[1] Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah; Model Pengelolaan Sekolah Di Era Otonomi, (Jakarta: Sagung Seto, 2007), hlm. 61.
[2] Nanang Fattah, Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.158.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1, Ditjen Dikdasmen, Dit SLTP, Edisi 3 : Revisi, 2001, hlm. 122.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, hlm. 121
[5] Rodliyah, Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan dan Perencanaan di Sekolah, (Jember: STAIN Jember Press, 2013), hlm. 83-84.
[6] Bedjo Sujanto, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah; Model Pengelolaan Sekolah Di Era Otonomi, hal. 62.
[8] Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2004), cet. Ke-7, hlm. 51.

Monday 6 April 2015

DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA (Analisis Kebijakan Pendidikan Islam terhadap Peraturan Pemerintah Daerah)



                                                                   PENDAHULUAN

Reformasi membawa perubahan disegala bidang salah satunya adalah otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah dengan dasar dsentrealisari ini didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan, dan efisiensi. Desentralisasi berimplikasi  kebijakan bangs harus berasal dari masyarakat bawah ke atas, bukan lagi dari atas ke bawah.
Realitanya dalam bidang pendidikan sepertinya tidak berjalan sesuai keadaan. Kebijakan-kebijakan yang ada pada saat ini terkesan berasal dan disusun langsung oleh Dinas pendidikan tanpa memperhatikan partisipasi dari masyarakat. Padahal pendidikan yang seharusnya berpusat di masyarakat, harus untuk rakyat, sehingga harus berpedoman pada rakyat.
Keterbukaan dan kesempatan untuk bertpartisipasi dalam bidang pendidikan harus dimanfaatkan dengan baik yakni dengan cara setiap mengambil kebijakan pemerintah harus menerapkan sistem botom up, yakni kebijakan yang berasal dari kondisi masyarakat (bawah ke atas).
Dari beberapa temuan analisis diatas maka dalam paper ini saya akan menyajikan materi Desentralisasi Pendidikan di Indonesia (Analisis Kebijakan Pendidikan Islam terhadap Peraturan Pemerintah Daerah)
A.    PENGERTIAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Secara umum desentralisai pendidikan adalah pelimpahan wewenang (autority) dan tanggung jawab (responsibility) dari institusi pendidikan tingkat pusat kepada institusi pendidikan di tingkat daerah hingga pada tingkat sekolah. Desentralisasi mengandung arti pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelola pendidikan yang ada di daerah pada tingkat propinsi maupun lokal, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan di daerah.[1]
Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya, kalau desentralisasi bidang-bidang pemerintahan lain berada pada pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, maka desentralisasi dibidang pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Dalam praktik desentralisasi pendidikan itulah maka dikembangkanlah yang dinamakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).[2]
Dapat disimpulkan bahwa desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional. 

B.     KONSEP DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.[3]
Konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya.
Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat  harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.

C.    TUJUAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Tujuan dari desentralisasi adalah:[4]
1.      Mencegah pemusatan keuangan;
2.      Sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
3.      Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis.
Tujuan utama desentralisasi adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan utnuk mengurangi beban kerja pemerintah pusat dalam upaya mensejahterakan masyarakat yang ada di daerah. dengan kata lain tujuan desentralisasi adalah untuk merangsang kepekaan elit lokal terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat daerah.
D.    LANDASAN YURIDIS KEBIJAKAN TENTANG DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Desentralisasi secara yuridis tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang secara resmi sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, diterangkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.[5]
Urusan pemerintah dibagi sedemikian rupa antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dijelaskan pula selanjutnya yaitu pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.[6] Selanjutnya pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.[7] Sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi yang mengarah pada pendidikan yaitu penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.[8]

E.     ANALISIS DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia secara sentralistis yang hampir kasat mata sudah kelihatan sejak rezim orde baru. Banyak yang menilai bahwa pendidikan pada masa orba tersebut didesain untuk kepentingan politik. Beberapa mata pelajaran, pelatihan-pelatihan, serta program pendidikan lain lebih diarahkan kepada peneguhan nilai-nilai yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh rezim penguasa. Kondisi tersebut telah dikritik secara habis-habisan oleh YB. Mangunwijaya. Tokoh yang satu ini banyak mengkritik sistem pendidikan nasional pada masa rezim orba yang cenderung sentralistik dan banyak diintervensi oleh penguasa. Pendidikan kemudian hanya berfungsi sebagai alat (media) untuk melanggengkan kekuasaan rezim.[9]
Beberapa kelemahan dan ketimpangan pendidikan yang dikelola secara sentralistis ini sudah kelihatan sejak dimulai  dari pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, sampai dengan peranan pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri). Memasuki Indonesia baru yang ditandai dengan gerakan reformasi total, maka pada tahun 1999 mulailah dicetuskan berbagai agenda reformasi, termasuk reformasi dalam dunia pendidikan yang ditandai dengan proses desentralisasi yang diimplementasikan pemerintah melalui UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Undang-Undang tersebut dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Konsep desentralisasi pendidikan ini pada mulanya memang banyak membawa harapan bagi kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita. Orang banyak yang menaruh optimis jika pendidikan di Indonesia akan mengalami perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Namun dalam praktiknya, masih banyak kalangan yang meragukan eksistensi kebijakan pendidikan nasional Indonesia. Berbagai kebijakan pendidikan justru dianggap kontroversial sehingga mimbulkan berbagai kritik. Untuk itu, pemerintah perlu berbenah diri dalam memaknai serta mengaplikasikan makna desentralisasi secara menyeluruh demi menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Meskipun demikian, kebijakan desentralisasi pendidikan tidak harus disimpulkan gagal untuk dilaksanakan. Ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan implementasi berikutnya. Berikut ini disajikan hasil analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Berikut ini hasil identifikasinya melalui analisis SWOT.[10]

1.      Strength (Kekuatan)
Jika digunakan analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini, maka ada beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai faktor kekuatan, yaitu:
a.       Secara politis kebijakan desentralisasi pendidikan telah dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan kebijakan yang populis.
b.      Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas yang mengharuskan masyarakat kita memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi.
c.       Kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari diakuinya eksistensi pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan bidang pendidikan di daerah masing-masing.

2.    Weakness (Kelemahan)
Disamping adanya kekuatan-kekuatan sebagaimana dikemukakan di atas, kebijakan ini juga memiliki sisi kelemahannya, antara lain adalah:
a.       Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan, khususnya pemerintah daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh justru cenderung menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.
b.      Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahnya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
c.       Belum adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan akan dijadikan komoditas bagi pemerintah daerah tertentu untuk tujuan-tujuan jangka pendek.
d.      Belum bersihnya aparat birokrasi dari mentalitas dan budaya korupsi.
e.       Belum jelasnya pos-pos anggaran untuk pendidikan.

3.    Opportunity (Peluang)
Berikut ini diinventarisir sejumlah faktor yang diduga kuat dapat menjadi faktor peluang bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:
a.       Adanya semangat yang kuat dari masyarakat untuk menjadikan implementasi kebijakan ini (harus) berhasil, karena munculnya kebijakan ini disadari bersama sebagai keinginan masyarakat banyak.
b.      Adanya semangat dari kalangan masyarakat untuk turut serta mengawasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah masing-masing. Bahkan muncul banyak LSM atau lembaga non-pemerintah yang merelakan diri memonitor dan mengawasi pelaksanaan kebijakan ini.

4.    Threat (Ancaman/Tantangan)
Selanjutnya adalah faktor ancaman. Ada beberapa faktor yang diduga menjadi faktor ancaman bagi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:
a.       Tidak meratanya hasil prestasi pendidikan dilihat secara nasional karena sangat dimungkinkan munculnya variasi kualitas di masing-masing lembaga pendidikan, baik di dalam satu wilayah daerah, maupun dibandingkan dengan daerah yang lain.
b.      Faktor tidak meratanya kualitas guru di masing-masing daerah juga diduga sebagai ancaman.



KESIMPULAN
Desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan jika kita ingin cepat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Melalui pendidkan yang desentralis bergaya demokratis akan melahirkan masyarakat yang kritis dan bertanggung jawab. Masyarakat yang demokratis akan mampu menciptakan masyarakat madani yaitu masyarakat yang berbudaya tinggi dan menjunjung nilai-nilai positif.
Desntralisasi pendidikan masih terdapat kelemahan-kelemahan yakni apabila penyerahan wewenang tersebut hanyalah sekadar memindahkan birokrasi pendidikan dari sentralisasi pendidikan ke tingkat daerah. Maka desentralisasi tersebut akan mempunyai nasib yang tidak pernah menemukan solusi terbaik untuk mengentaskan keterpurukan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, kita perlu menelaah kembali tentang pentingnya analisis SWOT yang menjadi tolak ukur keberhasilan desentralisasi pendidikan di Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. Otonomi Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2010.
Mu’arif. Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa. Yogyakarta: Pinus. 2008.
Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005.
http://immakhasanah.blogspot.com/2013/03/makalah-desentralisasi-pendidikan.html.
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 2 (3)
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 10 (1)
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 10 (2)
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 13 (1/f)

Mata Kuliah                        : Analisis Kebijakan Pendidikan
Dosen Pengampu                : Prof. Dr. H. Usman Abu Bakar, M.A
[1] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm 22
[2] Hasbullah, Otonomi Pendidikan,( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 12-14.
[3] Imma khasanah, http://immakhasanah.blogspot.com/2013/03/makalah-desentralisasi-pendidikan.html, di unduh pada tanggal 14 Maret 2015.
[5] UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 2 (3)
[6] UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 10 (1)
[7] UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 10 (2)
[8] UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 13 (1/f)
[9] Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, (Yogyakarta: Pinus, 2008), hlm. 7.
[10] http://titikcerdas.blogspot.com/2012/05/desentralisasi-pendidikan.html