GUDANG MAKALAH

Friday, 9 January 2015

HAKIKAT DAN TEORI KEBENARAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



PENDAHULUAN
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Seandainya  manusia mengerti dan memahami kebenaran, maka, sifat asasinya yang berada didalam lubuk hati terdalam akan terdorong untuk melaksankan kebenaran itu.
Dalam perkembangan dunia filsafat terutama dalam dunia filsafat ilmu pendidikan hakikat-hakikat kebenaran sangat penting dan berperan sekali terhadap pencarian kebenaran tersebut. Setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta kepastian dari pengetahuan tersebut, dari suatu hakikat kebeneran merupakan suatu obyek yang terus dikaji oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran ini manusia akan mengalami pertentangan batin yakni konflik pikologis.
Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Dari sini muncullah teori-teori kebenaran seperti teori korespondensi, koherensi, dan pragramatisme.
Membahas tentang kebenaran tidak akan ada habisnya. Karena kebenaran sendiri bersifat falsibilitas. Artinya akan mengalami degradasi karena adanya teori yang baru. Sementara kebenaran yang mutlak adalah kebenaran yang dari Maha Yang Paling Benar. Oleh karena itu selain menggunakan rasio penemuan kebenaran yang terakhir adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu.


A.    DEFINISI KEBENARAN
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak.[1] Menurut Purwadarminta kebenaran mengandung beberapa arti, yakni 1.Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran ini masih saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungghu ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran; kelurusan hati; misal tidak ada seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.[2]
Kebenaran itu sendiri dapat diperoleh melalui pengetahuan indrawi, pengetahuan akal budi, pengetahuan intuitif, dan pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif. Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.
Kriteria kebenaran tersebut dapat diperoleh dengan cara melalui berpikir. Karena berpikirlah yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan.

B.     JENIS-JENIS KEBENARAN
Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranaka tiga jenis kebenaran itu adalah 1. Kebenaran epistimologikal; 2. Kebenaran ontologikal; 3. Kebenaran semantikal.[3]
Kebenaran epistimologikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontoligikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Sifat dasar ini ada dalam objek pengetahuan. Kebenaran semenatikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran seantikal disebut juga kebenaran moral.
Surajiyo lebih lanjut menguraikan bahwa apabila epistemological terletak didalam adanya kemanunggalan yang sesuai, serasi,terpadu antara yang dinyatakan oleh proses cognitif intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada didalam objek (esse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah bahwa didalam (esse reale rei) tersebut memang terkandung sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat didalam objek,didalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran yang ontological, ialah sifat benar yang melekat dialam objek.

C.    SIFAT KEBENARAN
Kebenaran mempunyai sifat-sifat tertentu apabila dilihat dari segi kualitas pengetahuannya. Secara kualitas ada empat macam pengetahuan yaitu: pertama, Pengetahuan biasa, pengetahuan ini mempunyai sifat subjektif. Artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Kedua, Pengetahuan ilmiah, pengetahuan ini bersifat relatif. Artinya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir.
Ketiga, pengetahan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat, yang sifatnya mendasa dan menyekuruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran ini bersifat absolut-intersubjektif. Keempat, pengetahuan agaama. Pengetahuan agama mempunyai sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan.
Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.[4]
1.      Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari zaman ke zaman.
2.       Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran. Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya.
3.       Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
4.      Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklaim suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu. Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.

D.    CARA PENEMUAN KEBENARAN
Cara untuk menemukan kebenaran berbeda-beda. Dari berbagai cara untuk  menemukan kebenaran dapat dilihat cara yang ilmiah dan yang nonilmiah. Cara untuk menemukan kebenaran sebagaimana diuraikan oleh Hartono Kasmadi, dkk., sebagai berikut.[5]
1.      Penemuan secara Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Cara ini tidak dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan atau ilmu.

2.      Penemuan ‘Coba dan Ralat’ (Trial and Eror)
Penemuan coba dan ralat terjadi tanpa adanya kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari. Penemuan ini mengandung unsur spekulatif atau ‘untung-untungan’. Cara coba dan ralat ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk mengungkapkan kebenaran.
3.      Penemuan Melalui Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah.

4.      Penemuan Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional
Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada pemecahan yang tepat.

5.      Penemuan Kebenaran melalui Penelitian Ilimah
Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan 

E.     TEORI KEBENARAN ILMIAH
Kebenaran ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, didalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[6] Kebenaran ilmiah diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah.
Kebenaran ilmiah tidak datang tiba-tiba, atau mendadak, kebenaran ilmiah akan muncul setelah diroses dengan mekanisme ilmiah juga. Maka kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang telah diuji keabsahannya, baik secara nalar maupun empirik, sehingga memiliki landasan yang kuat untuk dianggap benar, selama tidak digugurkan oleh kebenaran ilmiah lainnya yang lebih terandalkan.
Banyak sekali para ahli yang berpendapat mengenai teori kebenaran. Dalam makalah ini akan dijelaskan teori kebenaran ilmiah menurut Michael Williams. Menurutnya ada lima teori kebenaran, yaitu 1) kebenaran koherensi, 2) kebenaran korespondensi, 3) kebenaran pragmatis, 4) kebenaran performatif, 5) dan kebenaran proporsi.[7]

1.      Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling tua. Teori ini berpandangan bahwa suatu proporsi bernilai benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan.[8] Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual.[9] Dengan demikian kebenaran ini mencoba untuk membutikan kemanunggalan antara subjek dan objek.
Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan tarbiyah, jurusan syari’ah, dan jurusan ushuludin STAIN Pekalongan ada di Jl. Kusuma Bangsa. Jadi kampus STAIN Pekakongan ada di Jl. Kusuma Bangsa.
Contoh lain dari kebenaran ini adalah air akan menguap jika dipanasi sampai 100 derajat. Pengetahuan ini akan dinyatakan benar apabila dilakukan uji coba memanaskan air dengan suhu 100 derajat. Jika air tersebut tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah. Jika menguap berarti pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
Contoh lagi, “Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab”. Ini adalah benar, karena jika didapati bahwa Al-Quran tertua berbahasa Yunani, maka konteks kebenaran Islam menurut Teori Kesesuaian ini adalah gagal. “Apakah pernyataan dalam Al-Quran sesuai dengan kenyataan atau realitas?” Banyak fenomena-fenomena alam yang sudah menjadi bukti tentang hal ini. Faktanya seluruh alam semesta berasal dari satu buah atom kecil yang meledak (Big Bang) menjadi banyak planet dan sebagainya. Teori Big Bang ini ditemukan oleh Hobble pada abad ke 20 yaitu tahun 1929. Teori ini sesuai dengan al-Qur’an yang berbunyi :
 “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi dahulu keduanya menyatu, kemudian kami pisajkan antara keduanya” (QS. Al Anbiya’ : 30)[10]
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”. (QS. Al Anbiya’ : 30)[11]

Dengan demikian, Al-Quran yang ada sejak abad ke 7 ini sesuai dengan perkembangan sains pada abad ke 20. Maka Islam adalah benar menurut Teori Korespondensi.

2.      Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran koherensi ini biasa disebut juga dengan teori konsitensi. Pengertian dari teori kebenaran koherensi ini adalah teori kebenaran yangØ medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya. Sederhanya dari teori ini adalah pernyataan dianggap benar apabila bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[12]
Menurut teori ini putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan: Truth is a systematic coherence kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis; Truth is consistency kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan.[13] Adapun pencetus teori ini adalah Plato dan Aristoteles.
Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh mahasiswa STAIN Pekalongan harus mengikuti kegiatan TASKA. Mudzakir adalah mahasiswa STAIN, jadi harus mengikuti kegiatan TASKA.
Contoh lain dari kebenaran ini adalah (1) semua manusia pasti mati. (2) socrates adalah manusia. (3) Sokrates pasti mati. Kebenaran (3) hanya merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu bahwa (1) semua manusia pasti mati, dan (2) socrates adalah manusia. Dalam arti ini, kebenaran (3) sebenarnya sudah terkandung dalam kebenaran (1). Oleh karena itu, kebenaran (3) tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyatannya sokrates mati atau tidak.[14]
Contoh lagi, “Ali bin Abu Thalib adalah menantu dari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Pernyataan ini kita ketahui dari “Sirah Nabawiyyah”. Maka yang disebut koheren (sesuai) dengan pernyataan sebelumnya adalah: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai menantu beliau, Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah, Fatimah adalah putri dari Rasulullah, dan Ali bin Abi Thalib menikahi putri Rasulullah. Dari pernyataan ini, maka dinilai koheren (sesuai) adanya, karena tidak terdapat pertentangan alias Kontradiksi. Karena apapun yang kontradiksi tidaklah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

3.      Kebenaran Pragmatis
Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce yang dikembangkan lebih lanjut oleh William James dan John Dewey. Menurut James yang benar adalah yang konkrit, yang individual, dan yang spesifik. Sementara menurut Dewey kebenaran pragmatis itu kebenaran yang mempunyai kegunaan praktis.[15]
Contohnya, Yadi mau bekerja di sebuah perusahaan minyak karena diberi gaji tinggi. Yadi bersifat pragmatis, artinya mau bekerja di perusahaan tersebut karena ada manfaatnya bagi dirinya, yaitu mendapatkan gaji tinggi.
Contoh lain, Budi ingin kuliyah di STAIN Pekalongan tapi dengan niat ingin mendapatkan jodoh, tanpa ada niatan untuk mencari ilmu. Budi bersifat pragmatis. artinya mau kuliyah  tapi karena menginginkan manfaat untuk dirinya, yaitu mendapatkan jodoh.

4.      Kebenaran Performatif
Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat sesuatu, tatapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/ membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan.[16] Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar berarti proposisi itu   menyatakan   sesuatu   yang memang  dianggap benar.   Menurut teori   ini, suatu   pernyataan   dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.[17]
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia.

5.      Kebenaran Proporsi
Menurut Aristoteles, proposisi (pernyataan) dikatakan benar apabila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Menurut teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Kebenaran ini akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia mempengarauhi kepemilikan epistimo tentang kebenaran.[18]
Proposisi adalah kalimat deklaratif yang bernilai benar (true) atau salah (false), tetapi tidak dapat sekaligus keduanya. Kebenaran atau kesalahan dari sebuah kalimat disebut nilai kebenarannya (truth value).  Contoh berikut ini dapat mengilustrasikan kalimat yang merupakan kebenaran proposisi: 6 adalah bilangan genap, Soekarno adalah Presiden Indonesia yang pertama, 2 + 2 = 4. Sementara contoh berikut adalah contah yang salah: ibu kota Jawa Tengah adalah Pekalongan,  seharusnya ibu kota Jawa Tengah adalah Semarang.



F.      AGAMA SEBAGAI TEORI KEBENARAN
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dan karakteristiknya sendiri meberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau teori yang lain mengutamakan akal, budi, rasio manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhannya.[19]
Dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah melakukan penyelidikan, pengalaman dan percobaan sebagai teori trial and error. Sedangkan manusia mencari-mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempetanyakan atau mencari jawaban tentang berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab Suci. Dengan demikian sesuatu dianggap banar apabila sesuai dengan ajaran agama atau sebagai wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak, oleh karena itu sangat wajar ketika Imam Al-ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemuan akalnya. Dalam mencari kebenaran.

G.    TINGKATAN KEBENARAN
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesdarannya tidak mungkin hidup tanpa kebenaran. Berdasarkan potensi subyek, maka macam – macam tingkatan kebenaran sebagai berikut :
  1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
  2. Tingkatan ilmiah merupakan pengalaman-pengalaman yang didasarakan melalui indera, diolah dengan rasio.
  3. Tingkatan filosofi, rasio dan pikiran murni, serta renungan yang yang mendalam untuk mengolah suatu kebenaran agar semakin tinggi nilainya.
  4. Tingkatan religius merupakan kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas iman dan kepercayaan masing-masing.


KESIMPULAN
Proses pencarian kebenaran adalah suatu kegiatan yang sangat mulia. Melalui sifat kebenaran yang falsibilitas, menjadikan seseorang akan terus haus ilmu pengetahuan sehinggan paradigma keilmuan akan semakin berkembang.
Kebenaran dapat dikatakan benar jika terbukti dan dipercayai bahwa sesuatu itu benar. Akan tetapi, kebenaran yang kita sebut ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran yang hakiki. Kebenaran tersebut suatu saat akan berganti dengan kebenaran lain yang lebih benar. Tapi, jika kita menggali sesuatu sedalam-dalamnya, kita akan mengetahui bahwa ilmu pengetahuan adalah kebenaran yang relatif. Dan akhirnya kita akan menemukan kebenaran yang mutlak yang berada di luar jangkauan kita. yakni kebenaran yang bersumber dari wahyu.


DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011.
Hamami,  Abas. Sekitar Masalah Ilmu. Surabaya: Bina Ilmu. 1980.
Keraf, A. Sonny. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. 1998.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2010.
Susanto, A. Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2013.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Karya Uni Press. 1993.
Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Sigma Ikasa Media. 2009.
Mujamma’ Malik Fahd Li Thiba’at Al Mushaf Asysyarif. Komplek Percetakan Al Qur’anul Karim Kepunyaan  Raja Fahd. Madinah: 1971.



[1] Abas Hamami, Sekitar Masalah Ilmu, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 35.
[2] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), cet. Ke-5, h. 102.
[3] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 102.
[5] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h.100-101.
[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. Ke-3, h. 85.
[7] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 86.
[8] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 105.
[9] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet. Ke-10, h. 112-113.
[10] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Sigma Ikasa Media, 2009), h. 324.
[11] Mujamma’ Malik Fahd Li Thiba’at Al Mushaf Asysyarif (Komplek Percetakan Al Qur’anul Karim Kepunyaan  Raja Fahd), (Madinah: 1971), h. 499.
[12] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Karya Uni Press, 1993), h. 57-59.
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 116.
[14] A. Sonny Keraf, Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet. Ke-12, h. 68.
[15] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), h. 16.
[16] . Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 87.
[18] Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 88.

[19] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 121