PENDAHULUAN
Manusia selalu
berusaha menemukan kebenaran. Seandainya manusia mengerti dan memahami kebenaran, maka, sifat asasinya yang berada didalam lubuk hati terdalam akan terdorong
untuk melaksankan kebenaran itu.
Dalam
perkembangan dunia filsafat terutama dalam dunia filsafat ilmu pendidikan hakikat-hakikat
kebenaran sangat penting dan berperan sekali terhadap pencarian kebenaran tersebut.
Setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta kepastian dari
pengetahuan tersebut, dari suatu hakikat kebeneran merupakan suatu obyek yang
terus dikaji oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran
ini manusia akan mengalami pertentangan batin yakni konflik pikologis.
Beberapa cara
ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio
seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris.
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang
lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat
dimengerti. Dari sini muncullah teori-teori kebenaran seperti
teori korespondensi, koherensi, dan pragramatisme.
Membahas
tentang kebenaran tidak akan ada habisnya. Karena kebenaran sendiri bersifat
falsibilitas. Artinya akan mengalami degradasi karena adanya teori yang baru.
Sementara kebenaran yang mutlak adalah kebenaran yang dari Maha Yang Paling
Benar. Oleh karena itu selain menggunakan rasio penemuan kebenaran yang
terakhir adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu.
A. DEFINISI
KEBENARAN
Kata
“Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak.[1] Menurut Purwadarminta
kebenaran mengandung beberapa arti, yakni 1.Keadaan (hal dan sebagainya) yang
benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran ini
masih saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2.
Sesuatu yang benar (sungguh-sungghu ada, betul-betul demikian halnya dan
sebagainya); misal kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran;
kelurusan hati; misal tidak ada seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran
hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5.
Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran
saja.[2]
Kebenaran
itu sendiri dapat diperoleh melalui pengetahuan indrawi, pengetahuan akal budi,
pengetahuan intuitif, dan pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.
Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Oleh
karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.
Kriteria
kebenaran tersebut dapat diperoleh dengan cara melalui berpikir. Karena
berpikirlah yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan.
B. JENIS-JENIS
KEBENARAN
Telaah
dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis.
Menurut A.M.W. Pranaka tiga jenis kebenaran itu adalah 1. Kebenaran
epistimologikal; 2. Kebenaran ontologikal; 3. Kebenaran semantikal.[3]
Kebenaran
epistimologikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan
pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontoligikal adalah kebenaran sebagai
sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Sifat
dasar ini ada dalam objek pengetahuan. Kebenaran semenatikal adalah kebenaran
yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran seantikal
disebut juga kebenaran moral.
Surajiyo
lebih lanjut menguraikan bahwa apabila epistemological terletak didalam adanya
kemanunggalan yang sesuai, serasi,terpadu antara yang dinyatakan oleh proses
cognitif intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada didalam objek
(esse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah
bahwa didalam (esse reale rei) tersebut memang terkandung sifat
intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas
sebagai kodrat yang melekat didalam objek,didalam benda, barang, makhluk dan
sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitive
intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran yang ontological, ialah sifat
benar yang melekat dialam objek.
C. SIFAT
KEBENARAN
Kebenaran
mempunyai sifat-sifat tertentu apabila dilihat dari segi kualitas
pengetahuannya. Secara kualitas ada empat macam pengetahuan yaitu: pertama, Pengetahuan
biasa, pengetahuan ini mempunyai sifat subjektif. Artinya amat terikat pada
subjek yang mengenal. Kedua, Pengetahuan ilmiah, pengetahuan ini bersifat
relatif. Artinya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu
mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling
mutakhir.
Ketiga,
pengetahan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran filsafat, yang sifatnya mendasa dan menyekuruh dengan
model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran ini bersifat
absolut-intersubjektif. Keempat,
pengetahuan agaama. Pengetahuan agama mempunyai sifat dogmatis, artinya
pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan.
Kebenaran
mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah
dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah
sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan
antara konsekuensi dan fakta observasi.[4]
1.
Evolusionisme
Suatu teori
adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya
berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu
tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan
itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah
kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang
selalu berkembang dari zaman ke zaman.
2.
Falsifikasionis
Popper dalam
memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu
tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke
kebenaran. Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila
dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah,
sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang
ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah
digantinya.
3.
Relativisme
Relativisme
berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari
penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu
sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria
kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya
kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
4.
Objektivisme
Apa yang
diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklaim suatu pernyataan adalah sebagaimana
yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah
“representasi atas objek” atau cermin atas itu. Tarski menekankan teori kebenaran
korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut
untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang
diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat
“objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang
bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu
anggapan atau kepercayaan.
D. CARA
PENEMUAN KEBENARAN
Cara
untuk menemukan kebenaran berbeda-beda. Dari berbagai cara untuk menemukan kebenaran dapat dilihat cara yang
ilmiah dan yang nonilmiah. Cara untuk menemukan kebenaran sebagaimana diuraikan
oleh Hartono Kasmadi, dkk., sebagai berikut.[5]
1. Penemuan
secara Kebetulan
Penemuan
kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang berlangsung tanpa disengaja.
Cara ini tidak dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan
atau ilmu.
2. Penemuan
‘Coba dan Ralat’ (Trial and Eror)
Penemuan
coba dan ralat terjadi tanpa adanya kepastian akan berhasil atau tidak berhasil
kebenaran yang dicari. Penemuan ini mengandung unsur spekulatif atau
‘untung-untungan’. Cara coba dan ralat ini pun tidak dapat diterima sebagai
cara ilmiah dalam usaha untuk mengungkapkan kebenaran.
3. Penemuan
Melalui Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat
orang-orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang yang mempunyai
kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu
tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah.
4. Penemuan
Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional
Dalam
menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada pemecahan yang tepat.
5. Penemuan
Kebenaran melalui Penelitian Ilimah
Cara
mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui
penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam
taraf keilmuan
E. TEORI
KEBENARAN ILMIAH
Kebenaran
ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya
menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif,
didalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang
berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[6]
Kebenaran ilmiah diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan
penalaran logika ilmiah.
Kebenaran
ilmiah tidak datang tiba-tiba, atau mendadak, kebenaran ilmiah akan muncul
setelah diroses dengan mekanisme ilmiah juga. Maka kebenaran ilmiah merupakan
kebenaran yang telah diuji keabsahannya, baik secara nalar maupun empirik,
sehingga memiliki landasan yang kuat untuk dianggap benar, selama tidak
digugurkan oleh kebenaran ilmiah lainnya yang lebih terandalkan.
Banyak
sekali para ahli yang berpendapat mengenai teori kebenaran. Dalam makalah ini
akan dijelaskan teori kebenaran ilmiah menurut Michael Williams. Menurutnya ada
lima teori kebenaran, yaitu 1) kebenaran koherensi, 2) kebenaran korespondensi,
3) kebenaran pragmatis, 4) kebenaran performatif, 5) dan kebenaran proporsi.[7]
1. Kebenaran
Korespondensi
Teori
kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling tua.
Teori ini berpandangan bahwa suatu proporsi bernilai benar apabila saling
berkesesuaian dengan dunia kenyataan.[8]
Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan
realitas, yang serasi dengan situasi aktual.[9]
Dengan demikian kebenaran ini mencoba untuk membutikan kemanunggalan antara
subjek dan objek.
Teori
koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam
berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain
kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti
dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan tarbiyah, jurusan syari’ah, dan
jurusan ushuludin STAIN Pekalongan ada di Jl. Kusuma Bangsa. Jadi kampus STAIN
Pekakongan ada di Jl. Kusuma Bangsa.
Contoh
lain dari kebenaran ini adalah air akan menguap jika dipanasi sampai 100
derajat. Pengetahuan ini akan dinyatakan benar apabila dilakukan uji coba
memanaskan air dengan suhu 100 derajat. Jika air tersebut tidak menguap maka
pengetahuan tersebut dinyatakan salah. Jika menguap berarti pengetahuan
tersebut dinyatakan benar.
Contoh lagi, “Al-Quran diturunkan
dalam bahasa Arab”. Ini adalah benar, karena jika didapati bahwa Al-Quran
tertua berbahasa Yunani, maka konteks kebenaran Islam menurut Teori Kesesuaian
ini adalah gagal. “Apakah pernyataan dalam Al-Quran sesuai dengan kenyataan
atau realitas?” Banyak
fenomena-fenomena alam yang sudah menjadi bukti tentang hal ini. Faktanya seluruh alam semesta berasal dari satu
buah atom kecil yang meledak (Big Bang) menjadi banyak planet dan sebagainya.
Teori Big Bang ini ditemukan oleh Hobble pada abad ke 20 yaitu tahun
1929. Teori ini sesuai dengan al-Qur’an yang berbunyi :
“Dan apakah
orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi dahulu keduanya
menyatu, kemudian kami pisajkan antara keduanya” (QS. Al Anbiya’ : 30)[10]
“Dan apakah orang-orang
yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah
suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”. (QS. Al Anbiya’ : 30)[11]
Dengan demikian, Al-Quran yang
ada sejak abad ke 7 ini sesuai dengan perkembangan sains pada abad ke 20. Maka Islam adalah benar
menurut Teori Korespondensi.
2. Kebenaran
Koherensi
Teori
kebenaran koherensi ini biasa disebut juga dengan teori konsitensi. Pengertian
dari teori kebenaran koherensi ini adalah teori kebenaran yangØ
medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan
diakui kebenarannya. Sederhanya dari teori ini adalah pernyataan dianggap benar
apabila bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar.[12]
Menurut
teori ini putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan
saling menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan: Truth is a
systematic coherence kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis; Truth is
consistency kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan.[13]
Adapun pencetus teori ini adalah Plato dan Aristoteles.
Teori
koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam
berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh
mahasiswa STAIN Pekalongan harus mengikuti kegiatan TASKA. Mudzakir adalah
mahasiswa STAIN, jadi harus mengikuti kegiatan TASKA.
Contoh
lain dari kebenaran ini adalah (1) semua manusia pasti mati. (2) socrates
adalah manusia. (3) Sokrates pasti mati. Kebenaran (3) hanya merupakan
implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu bahwa (1) semua manusia
pasti mati, dan (2) socrates adalah manusia. Dalam arti ini, kebenaran (3)
sebenarnya sudah terkandung dalam kebenaran (1). Oleh karena itu, kebenaran (3)
tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyatannya sokrates mati atau tidak.[14]
Contoh lagi, “Ali bin Abu Thalib
adalah menantu dari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam”. Pernyataan ini kita ketahui
dari “Sirah Nabawiyyah”. Maka yang disebut koheren (sesuai) dengan pernyataan
sebelumnya adalah: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah menjadikan Ali
bin Abi Thalib sebagai menantu beliau, Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah, Fatimah
adalah putri dari Rasulullah, dan Ali bin Abi Thalib menikahi putri Rasulullah.
Dari pernyataan ini, maka
dinilai koheren (sesuai) adanya, karena tidak
terdapat pertentangan alias Kontradiksi. Karena apapun yang kontradiksi
tidaklah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
3. Kebenaran
Pragmatis
Perintis
teori ini adalah Charles S. Pierce yang dikembangkan lebih lanjut oleh William
James dan John Dewey. Menurut James yang benar adalah yang konkrit, yang
individual, dan yang spesifik. Sementara menurut Dewey kebenaran pragmatis itu
kebenaran yang mempunyai kegunaan praktis.[15]
Contohnya,
Yadi mau bekerja di sebuah perusahaan minyak karena diberi gaji tinggi. Yadi
bersifat pragmatis, artinya mau bekerja di perusahaan tersebut karena ada
manfaatnya bagi dirinya, yaitu mendapatkan gaji tinggi.
Contoh
lain, Budi ingin kuliyah di STAIN Pekalongan tapi dengan niat ingin mendapatkan
jodoh, tanpa ada niatan untuk mencari ilmu. Budi bersifat pragmatis. artinya
mau kuliyah tapi karena menginginkan
manfaat untuk dirinya, yaitu mendapatkan jodoh.
4. Kebenaran
Performatif
Menurut
teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat sesuatu,
tatapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka
cukup melakukan tindakan
konsesi (setuju/menerima/ membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan.[16] Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan
Peter Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan
“salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar
berarti proposisi itu menyatakan sesuatu
yang memang dianggap benar. Menurut teori ini, suatu
pernyataan dianggap benar jika
ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang
mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas
sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.[17]
Teori
ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim
di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan
sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan
nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai
terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak
hidup di Indonesia.
5. Kebenaran
Proporsi
Menurut
Aristoteles, proposisi (pernyataan) dikatakan benar apabila sesuai dengan persyaratan
formal suatu proposisi. Menurut
teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan
materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Kebenaran ini
akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman,
kemampuan, dan usia mempengarauhi kepemilikan epistimo tentang kebenaran.[18]
Proposisi
adalah kalimat deklaratif yang bernilai benar (true) atau salah (false), tetapi
tidak dapat sekaligus keduanya. Kebenaran atau kesalahan dari sebuah kalimat
disebut nilai kebenarannya (truth value). Contoh berikut ini dapat
mengilustrasikan kalimat yang merupakan kebenaran
proposisi: 6 adalah bilangan genap, Soekarno adalah Presiden Indonesia
yang pertama, 2
+ 2 = 4. Sementara contoh berikut
adalah contah yang salah: ibu kota Jawa Tengah adalah Pekalongan, seharusnya ibu kota Jawa Tengah adalah
Semarang.
F.
AGAMA SEBAGAI TEORI
KEBENARAN
Manusia
adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama. Agama dan karakteristiknya sendiri meberikan
jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang
alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau teori yang lain mengutamakan akal,
budi, rasio manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber
dari Tuhannya.[19]
Dalam
mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah melakukan
penyelidikan, pengalaman dan percobaan sebagai teori trial and error. Sedangkan
manusia mencari-mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan
jalan mempetanyakan atau mencari jawaban tentang berbagai masalah asasi dari
atau kepada kitab Suci. Dengan demikian sesuatu dianggap banar apabila sesuai
dengan ajaran agama atau sebagai wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak, oleh
karena itu sangat wajar ketika Imam Al-ghazali merasa tidak puas dengan
penemuan-penemuan akalnya. Dalam mencari kebenaran.
G.
TINGKATAN
KEBENARAN
Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam
kepribadian dan kesdarannya tidak mungkin hidup tanpa kebenaran. Berdasarkan
potensi subyek, maka macam – macam tingkatan kebenaran sebagai berikut :
- Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
- Tingkatan ilmiah merupakan pengalaman-pengalaman yang didasarakan melalui indera, diolah dengan rasio.
- Tingkatan filosofi, rasio dan pikiran murni, serta renungan yang yang mendalam untuk mengolah suatu kebenaran agar semakin tinggi nilainya.
- Tingkatan religius merupakan kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas iman dan kepercayaan masing-masing.
KESIMPULAN
Proses pencarian kebenaran adalah suatu kegiatan yang
sangat mulia. Melalui sifat kebenaran yang falsibilitas, menjadikan seseorang
akan terus haus ilmu pengetahuan sehinggan paradigma keilmuan akan semakin
berkembang.
Kebenaran
dapat dikatakan benar jika terbukti dan dipercayai bahwa sesuatu itu benar. Akan tetapi, kebenaran yang kita
sebut ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran yang hakiki. Kebenaran tersebut suatu
saat akan berganti dengan kebenaran lain yang lebih benar. Tapi, jika kita
menggali sesuatu sedalam-dalamnya, kita akan mengetahui bahwa ilmu pengetahuan
adalah kebenaran yang relatif. Dan akhirnya kita akan menemukan kebenaran yang
mutlak yang berada di luar jangkauan kita.
yakni kebenaran yang bersumber dari wahyu.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
2011.
Hamami,
Abas. Sekitar
Masalah Ilmu. Surabaya: Bina Ilmu. 1980.
Keraf,
A. Sonny. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta:
Kanisius. 2001.
Muhadjir,
Noeng. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
1998.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2010.
Susanto, A. Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2013.
Suriasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Karya Uni Press. 1993.
http://nur-alqalbi.blogspot.com/2013/03/teori-teori-kebenaran-korespondensi.html, diunduh pada tanggal 24 Oktober 2014.
http://www.bisosial.com/2012/06/makalah-filsafat-ilmu-tentang-teori.html, diunduh pada tanggal 24 Oktober 2014.
Departemen
Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Sigma Ikasa Media. 2009.
Mujamma’ Malik Fahd
Li Thiba’at Al Mushaf Asysyarif. Komplek Percetakan Al Qur’anul Karim
Kepunyaan Raja Fahd. Madinah: 1971.
[2] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), cet. Ke-5, h. 102.
[3] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, h. 102.
[4] http://www.bisosial.com/2012/06/makalah-filsafat-ilmu-tentang-teori.html, diunduh
pada tanggal 24 Oktober 2014.
[5] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, h.100-101.
[6] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. Ke-3, h. 85.
[7] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 86.
[8] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, h. 105.
[9] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011), cet. Ke-10, h. 112-113.
[10] Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Sigma Ikasa Media,
2009), h. 324.
[11] Mujamma’ Malik
Fahd Li Thiba’at Al Mushaf Asysyarif (Komplek Percetakan Al Qur’anul Karim
Kepunyaan Raja Fahd), (Madinah: 1971),
h. 499.
[12] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Karya Uni Press, 1993), h. 57-59.
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 116.
[14] A. Sonny Keraf, Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet. Ke-12, h. 68.
[15] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional
Komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), h. 16.
[16] . Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 87.
[17] http://nur-alqalbi.blogspot.com/2013/03/teori-teori-kebenaran-korespondensi.html, diunduh
pada tanggal 24 Oktober 2014.
[18] Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 88.