PENDAHULUAN
Sejak awal,
hubungan antaragama tergolong masalah sensitif yang tidak mudah diselesaikan
kecuali dengan adanya kesediaan pemeluknya untuk saling mengerti dan
memahami. Di negeri-negeri muslim yang baru menjalankan eksperimentasi
demokrasi, umumnya kelompok-kelompok nonmuslim seringkali dipandang sebelah
mata dan belum mendapat perlakuan yang sewajarnya. Mereka masih dipandang
sebagai “warga kelas dua”, meskipun secara simbolik eksistensi mereka diakui.
Memang, masih ada semacam ganjalan di kalangan umat muslim untuk menerima
kehadiran mereka sepenuh hati. Ini biasanya menyangkut keyakinan teologis
yang seolah-olah orang-orang nonmuslim adalah orang-orang musyrik yang
menyimpang dari keimanan monoteis yang digariskan Allah dan Nabi-Nya.
Keyakinan semacam ini merembes pada
penafsiran hukum atas ayat-ayat al-Quran yang membicarakan status orang-orang
nonmuslim. Para fuqaha’ hampir seluruhnya sepakat bahwa ada beberapa point
hukum fiqih yang tidak dapat dikompromikan dengan kalangan nonmuslim, seperti
kasus pluralisme.
Berbicara pluralisme, sebenarnya
Islam lebih jauh telah membahas ini, sebab makna pluralisme sendiri menurut
Islam adalah kebersamaan dalam keberagaman yang tidak menembus batas akidah,
yakni hanya sebatas toleransi antar umat beragama.
Akan tetapi fikih lintas agama
berusaha untuk menyatupadukan antar umat beragama dalam satu ikatan al-din
(agama). Hal ini perlu dikaji lebih dalam terhadap keterpaduan antarumat
beragama dalam upaya membentuk ummatun wahidah yang sebenarnya harus ada
batas-batas dalam bersosialisasi dengan umat agama yang lain. Ringkasnya fikih
lintas agama harus betul-betul memahami makna pluralisme dalam Islam.
A.
PENGERTIAN PLURALISME
Secara etimologi Pluralisme merupakan kata
serapan dari bahasa inggris yang terdiri dari dua kata. Yakni, Plural yang
berarti ragam dan isme yang berarti faham. Jadi pluralisme bisa diartikan sebagai
berbagai faham, atau bermacam-macam faham. Secara terminology pluralism
merupakan suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa
hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi[1]. Dalam kamus ilmiah populer pluralisme adalah teori yang mengatakan
bahwa realitas terdiri dari banyak subtansi.[2]
Seiring berjalannya waktu pengertian
pluralisme telah banyak mengalami perkembangan, yang disesuaikan dengan
perubahan zaman dan kepentingan dari beberapa pihak, salah satu perkembangan
definisi dari pluralisme yang lebih spesifik adalah seperti yang diungkapkan
oleh John Hick, yang mengasumsikan pluralisme sebagai identitas kultural,
kepercayaan dan agama harus disesuaikan dengan zaman modern, karena agama-agama
tersebut akan berevolusi menjadi satu[3].
Dari pengertian pluralisme diatas mengarahkan bahwa semua agama
sama. Padahal dalam kultur Indonesia terdapat aneka ragam budaya. Oleh karena
itu pengertian John Hick sangat sulit diterapkan di Indonesia. Sehingga lebih
pantas apabila pluralisme tersebut diarahkan pada kancah yang lebih luas lagi
yaitu rasa persatuan dan kesatuan. Dalam hal ini perlu adanya pluralisme agama
untuk menyaring makna pluralisme yang hanya sekedar mengatakan bahwa agama
adalah sama menuju toleransi keberagamaan.
B.
MAKNA PLURALISME AGAMA
Dalam pandangan
Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak
untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman(pluralitas). Namun anggapan
bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata
lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang
'kalian' (non-Islam) sembah.
Pada 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa melarang paham pluralisme dalam agama Islam. Dalam fatwa tersebut,
pluralisme didefiniskan sebagai ""Suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah
relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya
agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk
agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga"[4]
Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan
oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan
mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya
diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk
menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas
agama-agama yang ada.
Menurut Adian Husaini, pluralisme agama adalah suatu paham yang
melegitimasi dan mendukung kekufuran dan kemusyrikan, sedangkan islam adalah
agama yang benar-benar memurnikan Allah dari perbuatan syirik atau agama yang
benar-benar mentauhidkan Allah, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain dari itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh ia telah
melakukan dosa yang sangat besar” (QS: An-Nisa:48)
Dengan ayat ini, sudah jelas bahwa Allah sangat murka dengan kemusyrikan,
sendangkan pluralisme agama melegitimasi segala jenis kemungkaran. Pluralisme
agama jelas membongkar islam dari konsep dasarnya. Tidak ada lagi konsep
mukmin, kafir, syirik, surga, neraka, dan sebagainya. Karena itu mustahil paham
pluralisme dapat hidup berdampingan secara damai dengan tauhid islam[5]
Irfan Suryahardy Awwas ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia
dalam buku Mengkritisi Debat “Fikih Lintas Agama” memberikan sambutan bahwa
pluralisme agama yang dikembangkan dalam buku “Fikih Lintas Agama” merupakan
kerangka berfikir “Talbisul Iblis”, yaitu memoles kebatilan dengan menggunakan
dalil-dalil agama atau argumentasi al-haq untuk tujuan kesesatan, seperti
perilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. Ringkas kata mereka menggunakan dalil-dalil
kebenaran untuk tujuan kebatilan.[6]
Menurut hemat penulis sebenarnya sah-sah saja kita berpikir panas yang
sejauh-jauhnya (hurriyat al-tafakkur) sebab tidak ada batasan orang yang
berpikir kritis. Apalagi terhadap sesuatu yang tidak terlepas dari koridor
ilmu. Namun apabila pemikiran tersebut malah bertentangan dengan al-qur’an,
maka inilah yang tidak diperbolehkan.
C.
FIQIH LINTAS AGAMA
1.
Pengertian Fikih
Fiqih secara bahasa berarti pemahaman, baik itu pemaham yang baik
ataupun pemahaman yang salah dan sesat. Jadi, secara bahasa dapat kita sebut
fiqih liberal, fiqih pluralis, fiqih iblis, fiqih yahudi dan fiqih lain
sebagainya. Akan tetapi karena pemahaman ini salah, tidak sesuai dengan makna yang
dimaksud oleh Allah, maka Al-qur’an tidak mengakuinya sebagai fiqih.
Sedangkan “fiqih”menurut istilah para fuqada adalah mengetahui hukum-hukum
syar’i yang bersifat amali berdasarkan dalil-dalil yang rinci. DR. Yusuf
Al-Qaradhawi yang dikenal sebagai ulama kontenpoler menjelaskan, bahwa fiqih
yang didefinisikan oleh para ulama, adalah ilmu yang mengatur kehidupan antar
Insan muslim, masyarakat muslim, umat Islam, dan negara Islam dengan
hukum-hukum syariat, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan dirinya
dengan Allah SWT, sebagaiman dijelaskan oleh “Fiqih Ibadah”, Atau yang
berkenaan dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, yaitu yang
dijelaskan oleh “fiqih halal-haram, dan adab prilaku individual ”.Atau yang
berkenaan dengan seseorang dan anggota keluarganya,yaitu diterangkn oleh “fiqih
keluarga”, berupa perkawinan dan kaitan-kaitannya, atau yang dinamakan dengan ahwal
syakhsiyyah. Atau, yang berkenaan dengan aturan timbal balik dan hubungan
sosial diantara manusia, yang diterangkan oleh fiqih muamalah, dan dalam
undang-undang masuk dibawah undang-undang sipil. Atau yang berhubungan dengan
kriminlitas dan hukuman, yang didalam fiqih dinamakan sebagai hudud, qishas,
ta’zir, dan dalam undang-undang masuk dibawah bagian hukum pidana. Atau, juga
yang berkenaan dengan hubungan antara negara dan rakyatnya, yaitu yang
dinamakan dengan siasah syar’iyyah, dan oleh para perundang-undangan
dinamakan sebagai undang-undang kontitusi, tata usaha, serta jihad dan
langkah-langkah, yang masuk dalam katagori hubungan internasional.
2.
Pengertian Fikih Lintas Agama
Adapun fiqih lintas agama menurut hemat penulis, bukan seperti fiqih yang
dimaksud oleh DR. Yusup Al-Qaradhawi, akan tetapi fiqih tersebut adalah fiqih
campuran hasil dari orang-orang yang memandang fiqih dari sudut hawa nafsu
mereka. Fiqih yang populer dengan nama Fiqih Lintas Agama yang merupakan sebuah
pemahaman baru, dengan paradigma baru, metode baru, serta kaidah baru yang
diambil dari sumber-sumber yang tidak terbatas, untuk menampung pemahaman
ke-Islamam, kristen, yahudi, hindu, budha, dan dari bermacam-macam agama dan
kepercayaan.[7]
3. Pengertian Lintas Agama
Lintas agama
adalah kumpulan faham-faham antar agama yang dicampurkan dengan tenggang rasa,
toleransi, keterbukaan ijtihad, nasionalisme, dan lain-lain, hingga lahirlah
faham-faham yang dikenal oleh kalangan masyarakat sebagai faham Sekularisme,
Liberalisme, Pluralisme, Inklusif, dan Sinkretisme.
D.
PLURALISME DALAM PERSPEKTIF FIKIH LINTAS AGAMA
Pluralisme tidak hanya menjadi keniscayaan dalan ranah politik,
ekonomi dan kebudayaan, tatapi lebih jauh menyentuh ranah teologi dan fikih.[8]
Dari segi visi, fikih lintas agama merupakan metamorfosa dari karya besar Ibnu
Rushd Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Mugtashid yang memulai perlunya
melahirkan fikih dengan pelbagai pendekatan madzhab sehingga watak fikih yang
pluralis dapat diangkat ke permukaan.[9]
Fikih lintas agama ingin menggiring fikih ke arena yang lebih luas
yaitu dengan mengakui eksistensi agama lain dan menerimanya sebagai komunitas
yang setara (ummatun wahidatun). Langkah tersebut penting guna meminimalkan
pandangan sebagian kalangan bahwa doktrin keagamaan telah melegalkan konflik
dan perseteruan. Dalam konteks nasional, pandangan yang menyemangati fikih
lintas agama amatlah penting ditengah konflik penganut antar agama serta
munculnya undang-undang yang akan memperlebar jarak antara komunitas agama
tertentu dengan komunitas yang lain. [10]
Kenyataan tersebut menandakan bahwa diperlukan kesadaran fikih yang
akan memperkukuh visi pluralisme. Dalam tradisi klasik, paradigma ke arah
terbentuknya masyarakat pluralis sesungguhnya sudah dimulai oleh sejumlah ulama
terkemuka, seperti Al-Thabari, Ibnu al-Araby, al-Zamakhsyari, al-Razi, Rasyid
Ridha, dan al-Thabathaba’i, yang mengyepakati pemaknaan atas Islam sebagai
ajaran kepatuhan dan kepasrahan. Islam dipahami tidak secara generik-simbolik,
melainkan sebagai ajaran-ajaran yang bersifat pluralis. Pandangan seperti ini
bisa dijadikan landasan teologis untuk menerima eksistensi agama lain, terutama
kepada setiap agama yang mengajarkan kepatuhan dan kepasrahan.[11]
Namun tentu saja, pandangan tersebut tidaklah cukup karena
diperlukan langkah yang lebih progresif, yaitu menggunakan fikih sebagai konsep
untuk mewujudkan pluralisme.
Fikih sebagai mekanisme yang
secara khusus menyoal persoalan-persoalan yang bersifat partikularistik
sejatinya dapat berbuat banyak untuk menyelesaikan beberapa problem lintas
agama, seperti :
1.
Ahl al-Dzimmah
Konsep ahl al-Dzimmah yaitu komunitas non-Muslim, baik Yahudi
maupun Kristiani, yang melakukan kesepakatan untuk hidup di bawah tanggung
jawab dan jaminan kaum Muslim. Mereka mendapat perlindungan dan keamaan. Mereka
juga mendapatkan hak hidup dan tempat tinggal di tengah-tengah komunitas
Muslim. Konsep tersebut sesungguhnya merupakan “konsep perlindungan”, bukan
“konsep penindasan”
Buktinya Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya mengutarakan, “Barang
siapa menyakiti ahl al-dzimmah, sesungguhnya ia menyakiti saya, dan ia sama
sekali akan dijauhkan dari indahnya surga”.
Tetapi
dalam kenyataannya terdapat sebagian kalangan yang memahami konsep ahl
al-Dzimmah sebagai doktrin yang menomorduakan dan mendiskriminasikan komunitas
tertentu, bahkan memberikan beberapa aturan yang mempersempit ruang gerak dan
tanggung jawab publik mereka. Disinilah fikih semestinya bekerja keras untuk
mengangkat semangat “perlindungan”, bukan semangat “penindasan”[12]
Pada tahap selanjutnya fikih
semestinya tidak hanya berhenti disitu,
melainkan mencoba untuk mewujudkan pandangan yang lebih bernuansa kesetaraan
sejati. Konsep ahl al-dzimmah hadir dalam masa-masa awal Islam yang sedang
mendapat ancaman dari komunitas non-Muslim, terutama akibat perseteruan
politik.
2.
Kawin beda agama
Persoalan ini mendapat perhatian serius perihal tidak diperbolehkannya
kawin beda agama yang merujuk pada larangan menikahimenikahi orang musyrik (Q.S
Al-Baqoroh : 221) dan menikahi orang kafir (Q.S Al-Mumtahanah : 10). Kedua ayat
tersebut seringkali digunakan sebagai landasan teologis dan fikih untuk melarang
kawin beda agama. (39)
Namun, bila diteliti lebih jauh, sebenarnya ayat Al-Qur’an tidak
berhenti disitu. Dalam ayat lain dijelaskan perihal dibolehkannya kawin beda
agama, terutama kepada Ahl al-Kitab (Kristen dan Yahudi) (QS. Al-Maidah :5)
Dalam kaidah ushul fikih, ayat tersebut bisa berfungsi sebagai
pengganti (nasikh) dan pengkhusus (mukhashshish) atas ayat sebelumnya yang
melarang kawin dengan orang-orang musyrik dan kafir. Selain itu dalam beberapa
kisah disebutkan bahwa sejumlah sahabat,antara lain Thalhah dan Hudzayfah,
menikah dengan Ahl al-Kitab.[13]
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pesan yang dibawa Al Qur’an sangat
progresif dan membawa kesan upaya mengakui dan menerima komunitas agama lain
guna mewujudkan kehidupan yang adil dan setara. Bahkan Rasulullah SAW dalam
Piagam Madinah menyebut Kristen dan Yahudi sebagai umat yang satu dan menyatu
dengan umat Islam (ummatun wahidatun). Dan Rasulullah di haji perpisahan (haj
al-wada’) berpesan : “Saya berwasiat kepada kalian agar memperlakukan ahl
al-dzimmah dengan baik”.[14]
Disinilah fikih lintas agama harus mengembalikan semangat agama
yang memberi perlindungan, simpati, dan kesempatan hidup bersama, dalam
keragaman. Dalam arus besar pluralisme, sejatinya fikih mendorong terciptanya
dialog-dialog antar-agama. Problem kemiskinan dan kemelaratan, narkoba,
penggusuran, banjir, korupsi, semesrinya di sorot secara tajam oleh agama-agama
sehingga agama tidak hanya berada di menara gading yang selalu dianggap paling
benar.
Kebenaran agama harus menyentuh bumi kemanusiaan yang sarat dengan
tantangan. Fikih lintas agama sebenarnya ingin menegaskan perlunya kerja sama
agama-agama untuk menjawab persoalan keumatan yang semakin kompleks.[15]
Akan tetapi hal itu perlu ditelusuri lebih
lanjut bahwa zaman sekarng ini agaknya sangat sulit untuk menentukan mana orang
yang nasabnya masih murni nasrani atau yahudi, sebab mereka masih mempunyai
ketuhanan yang sama dengan Islam. Jadi bukan orng Nasranai atau Yahudi zaman
sekarang sebab secara akidah ketuhanan
mereka berbeda dengan ketuhan Islam.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pluralisme sebenarnya tidak pantas
jika dikatakan bahwa semua agama adalah sama. Sebab kenyataannya ada beberapa
norma-norma tertentu dari masing-masing agama yang tidak bisa disatupadukan
salah satunya adalah pluralisme.
Alangkah
lebih baiknya jika perspektif fikih lintas agama kembali berpikir bahwa semua
agama adalah sama, namun tidak melebihi batas akidah. Jadi hal ini sama dalam
rangka menjalin hubungan ketergantungan antar agama dan menjaring komunikasi untuk
saling bekerja sama baik dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan
dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Husaini, Adian.
Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Jaiz, Hartono Ahmad. Mengkritisi
Debat Fikih Lintas Agama. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. 2004.
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme.
Misrawi, Zuhairi.
Pandangan Muslim Moderat, Toleransi Terorisme, dan Oase Perdamaian. Jakarta : PT Gramedia. 2010.
Partanto,
Pius A. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola. 2001.
httpittihadtholibat.blogspot.com200712fiqih-lintas-agama.html
httpqonie-ony.blogspot.com201202makalah-pluralisme.html
[2] Pius A
Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola, 2001), hlm. 604.
[3] Op.cit., qonie
ony, httpqonie-ony.blogspot.com201202makalah-pluralisme.html
[4] Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme.
[5] Adian
Husaini, Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 84
[6]
Hartono Ahmad Jaiz, Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2004)m hlm. 4-5.
[7]
httpittihadtholibat.blogspot.com200712fiqih-lintas-agama.html
[8] Zuhairi
Misrawi, Pandangan Muslim Moderat, Toleransi Terorisme, dan Oase Perdamaian,
(Jakarta : PT Gramedia, 2010), hlm. 35