GUDANG MAKALAH

Saturday, 29 May 2010

Mengubah Metode Pembelajaran Pesantren

Dalam skala yang sangat kecil yang sudah lama menjadi tradisi sampai sekarang masih digunakan sebagai praksis proses pembelajaran dihampir semua pesantren, khususnya yang berbau salaf. Tradisional model pendidikan pesantren yang telah lama mendarahdaging agaknya sangat sulit umtuk merubahnya menuju paradigma pendidikan yang dialektif (memberi kebebasan kepada santri untuk berbicara).

Hampir semua jenjang pendidikan pesantren hanya memusatkan pada kemampuan otak kiri santri, sebaliknya otak kanan santre, serta pusat berpikir transcendental kurang ditumbuhkembangkan, bahkan tak pernah disinggung secara sestematis pada tataran pendidikan pesantren. Kondisi ini menyebabkan endidikan pesantren hanya mampu menghasilkan orang-orang tahu ilmu agama tetapi tidak mampu mengaplikasikannya dalam praksis kehidupan. Hal ini menyababkan outcame pesantren menghasilkan santri yang tidak berkualitas, tidak mampu membawa masyarakat kearah perubahan yang lebih baik. Padahal santri adalah sosok orang yang dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat. Realita semacam ini masih jauh dari yang dicita-citakan oleh ulama reformis-rasionalis (Gus Dur), yang bertujuan untuk membentuk santri yang takwa, kreatif, inofatif, dan kritis.

Sebagai contoh pesantren kebanyakan lebih memntingkan kemampuan IQ tanpa memeperhatikan yang lebih pada EQ dan SQ santri. Pada tingkat IQ pun proses pembelajaran masih sangat pasif, kaku, dan proses penyampaian materi hanya searah, artinya tidak ada proses dialektif secara langsung dalam proses pembelajaran (pengajian kitab kuning), santri tidak pernah diberi kesempatan untuk bertanya langsung pada saat pengajian. Santri hanya bisa “mantuk-mantuk tapi ora kepetuk, ngah-nggih tapi ora kepanggih”. Ketidakpahaman santri hanya ada dalam angan yang mengambang yang solusinya mau tidak mau harus mencari sendiri, atau mungkin bertanya kepada temannya yang juga mempunyai kualitas yang sama. Ini adalah proses pembelajaran yang salah! Kenapa? Karena dapat menyebabkan pemikiran santri menjadi lengser. Namun dalam hal ini siapa yang pantas disalahkan? Sebagai santri yang mempunyai rasa ta’dzim, hormat, dan patuh kepada figur Kyai tantunya enggan menyalahkan pak Kyai.

Singkat kata dari uraian diatas adalah perlunya perubahan proses pengajian dalam pesantren dari yang pasif menjadi aktif, dan dialektif.