GUDANG MAKALAH

Thursday, 28 January 2010

INGAT INDIGO, INGAT MORAL DALAM BERINTERNET




Temen-temenku seangkatan santri indigo angkatan 3, tentunya kalian sudah tahu bukan tentang apa yang telah kita pelajari di pelatihan “santri indigo”?

Dari mulai pembekalan, pembuatan email, blog, dll kita sudah mendapatkan ilmunya di santri indigo, yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al Quran Modern
Buaran Pekalongan. salah saunya kita telah mendapatkan pelajaran tentang internet sehat, apa artinya? siongkatnya gunakanlah internet sebagai media yang benar-benar bermanfaat. jangan jadikan internet untuk melakukan hal yang negatif.

Kita harus gunakan pengetahuan itu untuk hal-hal yang positif, misalnya untuk menulis tentang dakwah, tentang pengetahuan Islam, pokoknya untuk pengetahuan Islam, biar dapat pahala. Jangan digunakan untuk hal yang negatif, jangan liat yang aneh-aneh, kaya yang “syur-syur gitu, heheh afwan…

Dunia internet seolah sudah di cap sebagai dunia yang penuh dengan hal negatif, buktinya kalimat “porno” lebih banyak ditemukan di internet dari pada kata “Islam”, untuk itu sudah semestinya kita umat Islam harus bisa membuat blog-blog yang islami, membuat artikel, tentunya yang islami. Hal ini untuk mengconter orang-orang orientalis yang berusaha merendahkan umat islam.

Maka mulai dari sekarang buatlah…..buat….buat BLOG sekarang juga,

Dakwah Islam di Dunia Digital




Oleh Miftakhul Ulum, Ponpes Asma' Chusna

"Tiga puluh tahun lagi, tidak akan ada koran dan buku," demikian kata seorang teman saya, beberapa waktu lalu. Pernyataan yang mengagetkan, sekaligus mengkhawatirkan ini, didasarkan pada analisis para pakar media. Koran dan buku, katanya, akan tergantikan oleh teknologi digital. Para penerbit pun ditaksir akan gulung tikar.

Mendengar pernyataan teman saya yang sedang kuliyah di UIN Riau ini menggugah hati saya sebagai seorang santri untuk mendirikan pesantren digital, artinya disamping santri melakukan aktivitas pengajian sehari-hari mereka juga diajari tentang bagaimana mereka bisa mengoperasikan internet. oleh karena itu Islam harus lebih digital," kata saudara saya M. Rozi Shofar -Santri Ponpes Asma' Chusna-.

Dunia kelak akan kian mengglobal. Semua serba berteknologi canggih. Tak menguasai teknologi, berarti ketinggalan kereta. Pertarungan dakwahpun akan lebih hebat terjadi di dunia maya (digital), bukannya di media cetak.

Untuk menghadapi era seperti ini, Islam -- terutama Islam pesantren -- harus bersiap diri. Inilah "masa depan" Islam. Al-hamdulillah, kini muncul kesadaran baru di kalangan santri. Banyak di antara mereka yang serius menekuni bidang eksakta di berbagai lembaga-lembaga, khususnya pada lembaga yang selalu menggugah kemampuan santri dalam berteknologi, seperti "SANTRI INDIGO" yang diselenggarakan oleh TELKOM INDONESIA kerja sama dengan REPUBLIKA, di Pondok Pesantren Modern Buaran Pekalongan.

Program Studi Ilmu Komputer, Teknik Informatika, Sistem Informasi, dan seterusnya, yang biasanya dinilai tabu bagi kaum sarungan, kini menjadi santapan mereka. Santapan yang sama lezatnya dan sama bergizinya dengan kitab kuning. Dikotomi ilmu dunia dan ilmu akhirat yang dilontarkan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), tengah mereka "terobos".

Baiknya lagi, Depag RI lekas menyadari kebutuhan ini. Melalui program Beasiswa Santri Berprestasi, Depag menggelontorkan miliaran rupiah untuk menguliahkan para santri di bidang eksakta � kendati penerimanya kebanyakan dari pesantren besar dan pesantren kecil di kampung-kampung, seakan tak berkesempatan dan terlupakan.

Islam Digital
Pertanyaannya, benarkah semua akan berubah menjadi digital? Melihat perkembangan yang ada, tidak mustahil ini jadi kenyataan. Jika kita mau meluangkan waktu sebentar untuk berselancar (browsing) di dunia digital, betapa informasi keislaman dari berbagai bidang tersedia di sana. Ibarat menu makanan, apapun yang ingin kita santap telah tersaji. Situs-situs keislaman -- dari yang bervisi keras, lunak, bahkan liberal -- semua ada.

Keserbatersediaan ini, pada gilirannya bisa menggulung eksistensi perpustakaan reguler yang ada. Juga mengancam eksistensi kitab kuning yang sehari-hari ditelaah para santri. Kitab kuning, yang khas dengan bau kertasnya, akan menjadi kenangan (semoga tidak pernah terjadi). Apalagi, kini telah muncul program canggih "literatur digital" semisal al-Maktabah al-Syamilah (berisi ribuan e-book kitab tafsir-ilmu tafsir, hadis-ilmu hadis, fikih-ushul fikih, teologi, akhlak, spiritual, bahkan aneka kamus Arab dan sebagainya).

Ada juga Maktabah al-Fiqh wa Ushulihi (berisi ribuan kitab fikih dan ushul fikih dari berbagai mazhab) dan al-Maktabah al-Alfiyyah li al-Sunnah al-Nabawiyyah (berisi ribuan kitab hadis), dan masih banyak lagi. Menggunakan "literatur digital" ini, dengan sangat mudah dan cepat, kita akan menemukan tema keislaman apapun yang kita inginkan. Inilah yang disebut era Islam digital.

Respon Santri
Bagaimana pesantren, yang kebanyakan ada di kampung-kampung, merespon hal-hal yang barangkali belum disadari, apalagi dibayangkannya ini?

Pertama, suka tidak suka, hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Siapapun, termasuk pesantren, tidak bisa berkelit. Inilah konsekuensi zaman serba global dan modern. Di satu sisi, hal ini perlu dikhawatirkan karena alasan-alasan di atas. Di sisi lain, ia akan memudahkan kerja dakwah Islam. Pesantren mesti mengambil sisi positifnya, dengan membuang sisi negatifnya. Ini sesuai kredo pesantren: al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik).

Kedua, kitab kuning harus tetap dilihat sebagai aset keislaman yang penting, terutama bagi pesantren, yang karenanya harus dipertahankan hingga "titik darah penghabisan". Tanpanya, kekhasan pesantren akan pudar. Ia tidak seharusnya tergantikan oleh apapun juga.

Ketiga, pesantren harus mengupayakan penanaman skill teknologi pada santri. Mungkin serba perlahan, karena ini membutuhkan ongkos tidak murah; baik materiil maupun moril (apalagi mungkin masih ada pesantren yang mengharamkan teknologi). Tapi tidak ada yang mustahil bagi pesantren. Dan tentu saja, negara harus mendukungnya. Melalui Depag misalnya, negara bisa memberi fasilitas teknologinya.

Keempat, pesantren harus mulai memikirkan dakwah Islam damai di dunia digital; dunia tanpa batas ruang dan waktu. Jangkauan aksesnya tak bisa dibatasi apapun. Jika pesantren bisa berdakwah melalui jalur ini, masa depan Islam dan pesantren tak lagi suram. Pesantren niscaya bisa bersaing dengan siapapun, untuk tujuan li i'lai kalimah Allah (untuk mengunggullkan kalimat Allah).

Dan al-hamdulillah, kini banyak pesantren besar, baik yang modern maupun tradisional, memiliki perhatian serius soal dakwah digital ini. Bahkan mereka punya situs sendiri. Sebut saja Ponpes Sidogiri Pasuruan, Ponpes Modern Gontor, Ponpes Buntet dan Ponpes Dar al-Tauhid Cirebon, Ponpes Darul Ulum Jombang, Ponpes Nurul Jadid Paiton, Ponpes Sunan Pandan Aran Yogyakarta, dan masih banyak lagi.

Mereka telah mulai menapaki kerja dakwah di dunia digital. Siapa menyusul? Wa Allah a'lam.[]